f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
perang palestina

Perang dan Pemilihan

Aku sangat sangat sangat terlambat menyadari apa yang sedang terjadi di Gaza. Ketika suamiku sudah mulai memajang gambar semangka, aku bertanya ada apa?

“Israel dan Palestina udah perang.”

“Perang beneran?”

Betapa bodohnya pertanyaan itu. Tapi itu benar-benar pertanyaan spontan karena selama ini kita tahu sering terjadi kekerasan di Palestina, khususnya Gaza. Saking seringnya, sampai-sampai aku merasa itu bukan berita yang mengejutkan dan tidak lagi menimbulkan rasa marah.

“YA BENERAN LAH,” jawab suamiku sewot.

Selama satu setengah bulan, aku sangat fokus dengan suatu kasus kekerasan yang terjadi di wilayah aku bekerja. Satu bulan pertama, aku seperti 24 jam siap siaga untuk korban dan secara konstan melakukan koordinasi vertikal maupun horisontal.

Setelah penanganan kasus itu sudah berjalan seperti yang aku harapkan, bahkan lebih dari yang aku harapkan, barulah aku mulai tenang. Barulah aku mulai menyimak media sosial. Dan, barulah aku mengetahui keberadaan jurnalis-jurnalis seperti Plstia, Mtaz, dan B*san.

Sore tadi, aku pun menemukan tulisan Ahmed Art*ma, seorang penulis dan aktivis perdamaian Palestina. Ia menulis tentang kepergian anaknya. Jangankan membaca keseluruhan tulisannya, membaca judulnya saja sudah sesak rasanya dada.

Jangan kalian bayangkan tulisan Art*ma itu tulisan yang berat lagi ilmiah. Ia menulis seperti kita-kita menulis di Facebook. Ceritanya sangat personal dan tidak menutupi kerapuhan. Setelah membacanya, aku tidak bisa tidak berderai air mata.

Aku adalah seseorang yang awam dalam ilmu sejarah, geopolitik, dan hubungan internasional. Aku tidak tahu persis pada apa yang sebenarnya terjadi. Tapi dalam keawaman dan ketidaktahuan itu, posisi keberpihakan selalu mengikuti postulat sederhana: BERPIHAK PADA YANG PALING LEMAH. Dan, tentu mudah saja menilai siapa yang paling lemah dalam peperangan ini.

Baca Juga  Tauhid: Pilar Perlawanan Palestina

Sebagai seorang nakes, sulit bagiku membayangkan betapa frustrasinya menjalankan tugas medis di sana. Tak hanya jam kerja yang seperti tak berkesudahan, sekadar menjalankan tugas pun di bawah bayang-bayang kematian.

Sebagai seorang yang menderita penyakit kronis, sulit juga bagiku untuk membayangkan bagaimana kehidupan orang-orang dengan penyakit kronis di sana. Bagiku yang menderita penyakit kronis, menjalani keseharian yang aman tentram di Sleman saja sudah berat, apalagi hidup dalam suasana perang?

Debu dimana-mana, nggak mandi, terbatas akses terhadap makanan sehat.. Ya Allah, cuma membayangkan aja langsung gatal-gatal rasanya kulitku 😔

Jangankan orang-orang yang memiliki riwayat penyakit, orang-orang sehat saja pasti turun status kesehatan fisik dan mentalnya saat terpapar stress terus-terusan.

Seperti masyarakat dunia pada umumnya, aku juga bertanya-tanya apa yang bisa kulakukan. Rasanya begitu menderita saat menyadari aku seperti penonton film horor yang tak kuasa mematikan TV.

Tapi, mungkin aku tidak se-hopeless itu. Mungkin, tetap ada yang bisa kulakukan untuk membantu memperbaiki keadaan.

Beberapa minggu lalu, aku sudah declare pada suami akan memilih siapa pada suksesi kepemimpinan 2024. Aku memilih bacapres dengan visi misi kesehatan mental publik paling jelas (jarang ada yang sadar, even komunitas psikolog sekalipun!).

Tapi untuk saat ini, buatku isu kesehatan mental nasional boleh menunggu saat isu kemanusiaan dan promosi perdamaian dunia lebih mendesak untuk diperjuangkan. Maka, aku akan mencermati kembali PDF visi-misi yang sudah berseliweran sejak beberapa waktu lalu.

Regardless siapa yang memiliki visi misi kesehatan mental publik paling jelas, aku akan memilih siapapun yang memiliki visi misi dan keberpihakan paling jelas pada ‘si paling lemah.’

Apakah aku mementingkan isu negara lain dan mengabaikan kepentingan isu kesehatan mental di negara sendiri?

Baca Juga  Momentum Idulfitri : Membentuk Pribadi Saleh, Keluarga Sakinah, Masyarakat Rahmah dan Baldah Thayyibah

Tidak! Mendorong perdamaian dunia adalah bagian dari upaya menjaga kesehatan mental kita.

Kesehatan mental adalah yang utama, tapi kesehatan fisik (dan keselamatan nyawa) manusia adalah yang PALING PERTAMA, terlepas dari apapun ras, suku, dan agamanya.

Kesehatan mental kita tak kan pernah terjaga selama pembantaian di sana masih masif terjadi. Dengan teknologi informasi yang berkembang pesat sehingga perkembangan dunia begitu mudah kita ikuti, kita semua potensial mengalami secondary trauma.

So, please.. Support for #ceasefirenow!!

Bagikan
Post a Comment