Site icon Inspirasi Muslimah

Pendidikan Toleransi: Pintu Masuk Menuju Keluarga Sakinah Mawaddah wa Rahmah

pendidikan toleransi

Mohammad Wildan Kurniawan

Menjelang buka puasa, saya menulis tulisan ini di ruang tamu, di samping istri saya yang sedang menonton kanal Youtube kesukaannya. Di hadapan kami, menu buka puasa sudah siap dinikmati. Dua gelas teh hangat manis, pisang kapok bakar yang ditaburi mesis dan selai stroberi, sebungkus kurma, dan segelas air putih untuk istri saya.

Menu di atas adalah untuk iftar saja, alias menu berbuka. Menu utama kami; ca kangkung telur puyuh, ayam bakar beserta sambal dan lalapannya, serta dua kerupuk “kriuk” sudah tersaji di meja makan. Siapa yang menyiapkan semua? Tentu saja bukan saya. Semua itu adalah hasil kreasi tangan terbaik ciptaan Allah yang melekat di diri istri saya.

Azan magrib tiba, kami pun menyudahi aktivitas masing-masing dan menyegerakan untuk berbuka. Di tengah momen buka puasa, saya bertanya kepada istri saya tentang toleransi dalam keluarga. “Toleransi ya misalnya aku sudah selesai masak makan siang, kamu pulang kantor beliin aku es krim,” katanya singkat. “Loh itu kan apresiasi, bukan toleransi,” jawab saya. “Iya, toleransi kan memahami. Kamu paham dan kita bersepakat kalo salah satu tugasku menyiapkan makanan untuk keluarga. Nah, bentuk pemahaman itu kan bisa juga dengan memberikan apresiasi.”

Setelah istri saya bilang begitu, saya hanya mengangguk. Perut saya sedang berusaha mencerna pisang bakar mesis, dan di saat bersamaan otak saya bekerja mencerna apa yang barusan istri saya sampaikan.

Lepas salat tarawih, saya melanjutkan tulisan ini. Kali ini saya sendirian. Istri saya sedang berlatih yoga. Karena bi idznillah, bulan depan ia akan melahirkan anak pertama kami. Kegiatan yoga ini butuh konsentrasi dan fokus yang maksimal, jadi saya biarkan ia berkomunikasi dengan jabang bayi di rahimnya.

Menyikapi Perbedaan dalam Keluarga

Toleransi bagi saya bukan hal baru. Khususnya dalam pernikahan. Karena ibu dan almarhum bapak saya saja sejak dulu sudah mempraktikannya. Bapak saya berasal dari keluarga NU kental. Ibu saya Muhammadiyah tulen. Mereka menikah. Singkat cerita, di usia pernikahannya yang belum lama, penentuan 1 Syawal Muhammadiyah dan Pemerintah berbeda. Muhammadiyah lebaran lebih dulu. NU mengikuti Pemerintah.

Bapak saya mengikuti ibu saya lebaran lebih awal. Sesuai tradisi, setiap lebaran, keluarga dari ibu saya akan silaturahmi ke keluarga bapak di lereng gunung Slamet dekat pemandian air panas Guci. Tiba di sana, kakek, nenek, dan saudara bapak ternyata masih berpuasa. Tapi mereka menyambut kami dengan sangat baik. Senyum lebar, ucapan selamat lebaran, dan lebih istimewa lagi karena mereka sudah menyiapkan hidangan khusus untuk kami.

Tidak sampai di situ, Om saya mengajak kami berwisata ke Guci. Kami tidak kuasa untuk menolak. Tiba di Guci tidak ada pengunjung lain selain kami. Jadilah objek wisata ini seperti milik pribadi.

Nah, cerita tadi menjadi salah satu bagian bentuk toleransi sesama umat Islam yang secara nyata ada di dalam keluarga. Dan saya meyakini, banyak di luar sana memiliki pengalaman dengan iklim serupa. Tapi salah besar jika toleransi diukur hanya sebatas perbedaan kultur sosial atau perbedaan amaliyah ibadah. Toleransi lebih daripada itu. Ia melekat dalam setiap aktivitas kemanusiaan.

Mendidik dengan Toleransi

Dalam pendidikan toleransi ada transfer value yang melekat. Nilai-nilai ini adalah kebaikan, kebenaran, equal (kesetaraan), dan kemaslahatan. Prof. Haedar Nashir pernah menyampaikan bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah membentuk kemuliaan akhlak dan kemajuan.

Saya sangat setuju. Karena seseorang yang terdidik niscaya akan diliputi dengan akhlak yang terpuji. Hal ini sangat relevan dengan salah satu alasan diutusnya Nabi Muhammad Saw. di muka bumi, yaitu menyempurnakan akhlak. Juga bersifat kemajuan, yang berarti pendidikan bersifat dinamis. Selalu ada ruang dan waktu untuk belajar.

Di awal pernikahan, saya dan istri tidak secara khusus membagi tugas dan peran kami dalam keluarga. Ada peran yang yang hanya bisa dikerjakan istri saya, begitu pula sebaliknya. Dan ada juga peran yang bisa kami kerjakan secara bersama-sama.

Saya ambil contoh kondisi hamil, melahirkan, dan menyusui. Peran dan tugas itu mutlak hanya bisa dikerjakan oleh istri. Tetapi bukan berarti sebagai suami kita diam saja. Bentuk toleransi yang bisa kita kerjakan adalah dengan memberikan perhatian lebih, menyiapkan akomodasi untuk periksa kehamilan rutin, dan berusaha selalu ada di sampingnya dalam kondisi apa pun. Ketika bayi itu lahir, tugas membesarkan dan mengasihinya adalah milik kedua orangtuanya.

Begitu pula mencari nafkah. Dalam Islam, memang suamilah yang memiliki kewajiban untuk mencari nafkah bagi keluarga. Namun, tidak menutup kesempatan bagi seorang istri yang ingin bekerja untuk membantu mencukupi nafkah keluargnya. Selama terjalin komunikasi yang apik antara suami dan istri, pertimbangan matang yang sudah dipikirkan, tentu tidak jadi soal jika istri ikut membantu suami mencukupi kebutuhan keluarga dengan bekerja.

Toleransi yang Ideal

Mari kita bersepakat bahwa salah satu makna toleransi adalah menerima dan memahami. Menerima kondisi melalui pemahaman yang muncul dengan diawali komunikasi dua arah yang aktif. Tidak menggurui satu kepada yang lain, tidak memaksakan ego untuk segalanya dituruti.

Konsep memahami dalam toleransi bisa sangat luas. Tapi yang utama adalah pemahaman bahwa Allah Swt. menciptakan makhluk dengan karakter yang beragam. Tugas kita adalah memahami dan menerimanya dengan lapang dada tanpa sambat.

Contoh lain adalah di rumah saya ada dua sepeda motor. Setiap pagi saya keluarkan di halaman, malamnya saya masukkan lagi. Saya tidak mungkin membiarkan istri yang sedang hamil besar untuk geser-geser sepeda motor. Karena beban motor yang berat, dan ketangkasannya dalam mengendalikan kendaraan juga tidak sebaik saya.

Hal lain seputar aktivitas fisik seperti mencuci piring dan baju, menyetrika, menyapu dan mengepel lantai, merapikan rumah, bagi saya dapat dikerjakan siapa saja. Maksud saya, semisal ada piring kotor yang belum dicuci, ya sebagai suami tidak harus menunggu istrinya untuk mencucinya, begitu sebaliknya.

Karena toleransi terhadap hal-hal kecil begini, akan menjadi besar ketika kita sudah terjun di masyarakat. Pengalaman untuk memahami dalam jenjang waktu dan proses yang kontinyu akan membentuk karakter. Ketika kita sudah selesai dengan masalah toleransi dalam lingkup keluarga, maka kita akan siap untuk menghadapi sikap toleransi di masyarakat dengan kultur dan dinamika yang lebih kompleks.

Sebagai penutup, semoga dengan wujud pendidikan toleransi ini, tujuan dari pernikahan yaitu membentuk keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah dapat dicapai, lengkap dengan rida dari Allah Swt. yang menaungi.

Penulis : Mohammad Wildan Kurniawan (Seorang penulis yang tinggal di Kroya, Jawa Tengah)

Bagikan
Exit mobile version