Site icon Inspirasi Muslimah

Pandemi dan Pemerintah yang Ditinggalkan

terhadap pandemi

“Aku sekarang golput kayak jenengan,” komentar teman akrab saya di Facebook.

Tentu saja saya paham bahwa sekarang bukan lagi pilpres, jadi maksud teman saya bukan artian “golput” yang sebenarnya. Ungkapan itu lebih kepada sikap untuk menjaga jarak dengan pemerintah.

Bukan tanpa alasan teman saya yang merupakan pendukung setia Pak Jokowi memilih sikap seperti itu. Sikap itu diambilnya setelah banyak pihak beramai-ramai menolak Undang-Undang Omnibus Law yang diusulkan pemerintah kepada DPR. Banyak kalangan mulai dari akademisi, mahasiswa, dan buruh, serentak mengambil sikap tegas dengan meramaikan tagar di sosmed #TolakOmnibusLaw dan juga #MosiTidakPercaya.

Organisasi Islam terbesar di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga tegas menolak beberapa pasal di UU Omnibus Law. Mungkin karena alasan ini pula lah, teman saya yang fanatik berat NU itu berani mengambil sikap berseberangan dengan pemerintah.

Menjaga Jarak dengan Pemerintah

Namun, terlepas dari cerita teman saya di atas. Fenomena di mana beberapa orang menjaga jarak aman dengan pemerintah sepertinya akhir-akhir ini sering saya temui. Bukan hanya teman akrab saya, teman-teman FB yang lain di mana dulunya saya kenal betul mereka pendukung setia pemerintah; sekarang sudah banyak yang mulai terang-terangan berani mengkritik pemerintah atau bahkan mundur menjadi pendukung setia.

Tentu saja, fenomena ini bukan hal yang negatif, sebaliknya justru ini adalah hal yang positif. Dari mereka yang kontra lah, pemerintah akan lebih berhati-hati dalam memutuskan kebijakan, dan sikap mereka ini pula lah yang akan menjadikan alat kontrol buat pemerintah ketika kebijakan pemerintah telah keluar dari keberpihakan kepada rakyat.

Hanya saja, sisi positif itu ternyata tidak berdiri sendirian. Ada sisi negatif dari adanya fenomena mundurnya para pendukung setia, apalagi ketika dalam masa pandemi. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah akan semakin meluas, dan mundurnya para pendukung setia akan berdampak negatif bagi keberlangsungan protokol kesehatan di era adaptasi kebiasaan baru. Saat di mana orang-orang tidak lagi percaya adanya wabah ini dan merebaknya hoax soal corona semakin meluas; saat itu pula lah para pendukung setia memilih berpangku tangan dan tak mau peduli lagi untuk membantu kebijakan pemerintah.

Lingkaran Pendukung 2014 yang Berguguran

Pada tahun 2014, saya adalah pendukung setia pemerintah, jadi, apapun kebijakan pemerintah selalu saya dukung. Maka, sudah semestinya lingkaran pertemanan saya tidak jauh-jauh dari pendukung Koalisi Merah Putih saat pra-pilpres 2014. Iya, lebih tegasnya saya dulunya adalah pendukung setia Pak Jokowi.

Pada tahun 2019 saya memutuskan untuk menjaga jarak dari pemerintah, namun lingkaran pertemanan saya tetap saya jaga sepenuh hati. Di beberapa status, saya berani terang-terangan berseberangan dengan beberapa pendukung pemerintah, sehingga banyak teman-teman saya yang menunjukkan sikap kecewa terhadap sikap saya ataupun terhadap sikap orang-orang yang berani berseberangan dengan pemerintah.

Akan tetapi, Oktober ini, entah kenapa sikap mereka sudah mulai berubah. Di lingkaran pertemanan FB saya saja, saya mencatat sudah lebih dari puluhan orang mengambil sikap mundur menjadi pendukung pemerintah. Ada banyak influencer, yang cukup berpengaruh dan dulunya pendukung pemerintah, kali ini terang-terangan melawan kebijakan pemerintah. Bermula dari masa kontroversi revisi UU KPK dan yang terbaru kebijakan UU Omnibus Law telah membuat banyak dari mereka mengambil langkah tegas. Menjauh dari pemerintah.

Millenial yang Ikut Bagian

Uniknya adalah suara millenial yang dulunya acuh terhadap perpolitikan, akhir-akhir ini semakin sering saya melihat mereka ikut bagian dalam dunai politik. Pada saat RUU KPK dulu diajukan oleh pemerintah misalnya, teman-teman STM ada di garda terdepan melawan pemerintah dalam demo besar-besaran di beberapa daerah.

Begitu juga pada saat UU Omnibus Law diketuk-palu oleh DPR, para pecinta K-POP, yang dulunya tak mau peduli soal politik, memilih turun ke jalan bersikap tegas untuk menolak UU Omnibus Law. Mereka membawa spanduk bertuliskan: “K-POP just hoby nationality still priority.” Walaupun ada beberapa grammar yang kurang tepat, tapi hal itu tidak menghilangkan pesan yang mereka ingin sampaikan. Bahwa kecintaan kepada negara ini adalah prioritas mereka.

Sehingga dampak negatifnya, ketika pemerintah tidak mendengarkan suara para millenial ini, pemerintah harus menanggung beban yang lebih berat. Ditinggal para pendukung setianya serta para millenial yang menjadi harapan besar pemerintah pun tak lagi mempercayainya. Jika bukan pada masa pandemik mungkin tidak ada masalah, namun jika ini terjadi pada masa pandemi apakah betul tidak akan ada dampak terhadap keberlangsungan era New Normal?

Dampaknya terhadap Pandemi

Entah saya benar atau salah, tapi yang saya saksikan gesekan di tengah masyarakat awam sangat kuat, apalagi saat pro-kontra menyoal Omnibus Law yang sangat tajam ini. Saya menyaksikan bagaimana kelompok yang kontra terhadap Omnibus Law jauh lebih banyak daripada kelompok yang pro.

Dan dugaan saya ternyata mendapat dukungan dari temuan Drone Emprit. Bahwa di Twitter kelompok yang kontra terhadap Omnibus Law jumlahnya kurang lebih 3 kali lipat lebih banyak daripada kelompok yang pro.

“Tapi kan, bisa saja yang di Twitter itu bukan orang, melainkan bot?”

Kalau memang begitu, kenapa pemerintah dan DPR tidak menunjuk para lembaga survei independen untuk mengkoreksi benar tidaknya pendapat mereka di kala pro-kontra pendapat terjadi sengit di antara rakyat. Ini sekaligus akan memperlihatkan bahwa pendapat DPR ataupun pemerintah adalah murni memperjuangkan pendapat rakyat bukan pendapat oligarki ataupun partai politik tertentu.

Pemerintah ataupun DPR bisa-bisa saja mengklaim “atas nama rakyat” namun jangan sampai melupakan fakta bahwa banyak orang ikut berunjukrasa di jalan-jalan memprotes kebijakan pemerintah ataupun DPR dengan jiwa nasionalismenya yang bergelora; fakta bahwa banyak orang yang telah merasakan kekecewaan yang sangat besar terhadap pemerintah dan DPR; juga fakta bahwa banyak orang di kalangan bawah sudah tidak lagi percaya kepada pemerintah. Fakta ini tentu tidak bisa dipandang sebelah mata.

Kenapa begitu? Apalagi untuk mempercayai pemerintah, sekedar untuk percaya kepada para pendukung pemerintah saja mereka enggan, kok. Artinya, kekecewaan mereka yang begitu besarnya menyebabkan mereka menjaga jarak terhadap pemerintah begitu juga terhadap siapapun yang mendukung pemerintah.

***

Tentu saya tidak akan terlalu kepikiran jika ini terjadi saat sebelum pandemi; namun jika ini terjadi di saat pandemi, apakah nantinya tidak akan membawa dampak terhadap semua kebijakan pemerintah menyoal pandemi? Orang-orang semakin abai terhadap semua kebijakan pemerintah menyoal pandemi, mengingat ketidakpercayaan mereka kepada pemerintah mengalahkan ketakutan mereka kepada wabah. Dan pemerintah pun sendirian “berperang” karena para loyalisnya sudah banyak yang meninggalkannya.

Hal yang lebih menguatirkan ialah saat orang-orang tidak lagi percaya bahwa vaksin yang sudah disiapkan oleh pemerintah itu aman. Dampaknya, orang-orang akan beramai-ramai menolak untuk divaksin. Jika itu yang terjadi, mau sampai kapan pendemi di Indonesia ini usai?

Bagikan
Exit mobile version