f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
anak belajar

Orang Tua dan Pendidikan Jarak Jauh; Sebuah Refleksi Singkat

Pekan pertama merasakan pengalaman bekerja di rumah atau Work from Home (WFH), saya tersentak mendapati suara keras dari rumah sebelah; “Koe iki, dolan wae! tugase durung dikerjakno!”. Amarah yang ditutur dalam bahasa Jawa itu artinya, “Kamu ini main saja! Tugas belum juga dikerjakan!” Disertai suara tangisan anak yang begitu keras.

Suara itu cukup memecah konsentrasi saya ketika mengerjakan tugas kantor. Maklum, saya hidup di lingkungan perkotaan yang jarak antar satu rumah dengan rumah lainnya hanya sejengkal tanah saja. Ibarat kata, tetangga menggeser meja, kami bisa merasakan getarannya.

Suara keras itu tidak asing bagi saya. Lengkingan suara itu berasal dari rumah tetangga yang sedang memarahi anaknya karena tugas-tugas sekolah belum dikerjakan. Mengerikan sekali membayangkannya. Sesuatu yang saat ini menjadi hal wajar, setelah satu tahun menjalani belajar dari rumah dengan pendampingan orang tua.

Tantangan Orang Tua Menjadi Pendamping Belajar Anak

Peristiwa itu mungkin terjadi tidak hanya di rumah tetangga saya saja tapi juga di banyak rumah. Orang tua tertekan karena berharap banyak dapat menggantikan posisi guru. Padahal tugas orang tua sebenarnya bukan untuk menggantikan tugas guru. Jelas! Tugas guru sudah pasti dan mempunyai standar kompetensi tersendiri. Sederhana saja, tugas orang tua sebenarnya hanya mendampingi dan sesekali memberikan motivasi. Itu saja cukup. Selebihnya bagaimana proses dan hasilnya kita sesuaikan pada kemampuan masing-masing anak.

Persepsi salah orang tua di masa belajar secara daring ini adalah untuk menggantikan posisi guru. Hal ini membuat orang tua tertekan. Terlebih dengan situasi ekonomi yang tidak menentu saat ini. Anak bisa-bisa menjadi pelampiasan kekesalan orang tua karena sulitnya mencari nafkah di masa pandemi.

Baca Juga  Cintai Ortu, Yuk!

Tetangga saya yang memarahi anaknya tadi lalu menyampaikan curhatannya kepada saya, “Stress e, Mbak, kapan ta sekolah ki mlebu? Wes aku ra dong opo pelajarane, anak e malah do mung dolan wae gaweane!”. Keluhan yang dituturkan dengan bahasa Jawa yaitu artinya, “Stress, Mbak, kapan sih sekolah masuk? Aku tidak paham pelajarannya, anaknya juga malah cuma main saja!”.

***

Kekecewaan tersebut karena orang tua mengalami tekanan dan merasa tidak paham materi pelajaran. Padahal, tugas untuk memahamkan materi sebenarnya bukan tugas orang tua. Bayangkan ketika tugas itu harus dijalankan orang tua. Saya langsung membayangkan betapa tidak adilnya pendidikan di Indonesia jika tugas ini dijalankan di setiap rumah. Mereka yang mempunyai orang tua dengan pendidikan tinggi, akses terbuka untuk membaca buku dan mengakses internet pasti akan berbeda dengan orang tua yang mempunyai kemampuan biasa aja dengan segala keterbatasan akses informasi.

Belum lagi pengetahuan yang diajarkan di era Soeharto pasti berbeda dengan pengetahuan yang diajarkan setelah era reformasi. Ada kesenjangan pengetahuan antar generasi. Pantas saja orang tua merasa tertekan kalau tugas memahamkan anak juga dibebankan kepadanya.

Bahkan ada celotehan di luar sana, orang tua lebih galak dari guru di sekolah. Saya kemudian berpikir, aktivis pendidikan banyak menggembar-gemborkan, “Lawan kekerasan pada anak. Adili pelaku kekerasan terhadap anak!” Tapi seringkali kita tidak sadar sebagai orang terdekat dengan anak, kitalah yang paling banyak melakukan kekerasan itu.

Kematangan Emosi

Kita merasa menjadi yang paling berhak dan bertanggung jawab atas semua tindakan anak. Lalu, kita bisa bersikap semena-mena padanya. Tidakkah kita sadari bahwa anak memiliki jiwa dan berhak menentukan sikapnya dalam setiap keadaan sehingga mampu memilih jalannya sendiri? Ya, pasti orang tua mempunyai alasan klasik, anak belum mengerti tanggung jawab dan harus diarahkan.

Baca Juga  Empat Hal yang Menyadarkan Pentingnya Pendidikan Islam dalam Keluarga

Alasan itu benar, tapi jangan terus menjadi pembenaran untuk menuntut anak dengan standar kita, orang dewasa. Pernahkah kita berpikir bahwa anak juga mempunyai hak untuk didengarkan dengan penuh perhatian dan hak untuk tidak dihakimi dengan semua keterbatasan pemikiran kita? Ketika anak belum mencapai sebuah standar, sejenak dengarkan apa alasan atau ceritanya, tanpa menghakimi atau melakukan penilaian. Lalu, sebelum meresponnya berikan diri ini jeda waktu untuk berpikir dengan bijak. Cukupkan diri untuk menjadi pendengar yang baik, berikan jeda waktu untuk memberikan respon bijak yang penuh kasih sayang.

Perlu kita ingat tugas untuk belajar semata-mata bukan untuk anak saja. Orang tua juga butuh belajar bahkan harus lebih keras daripada anak. Belajar seperti yang orang tua butuhkan? Belajar mengenai kematangan emosi. Sudah itu dulu saja. Bayangkan berapa banyak anak yang merasa depresi atau gagal dalam hidupnya karena menjadi korban. Korban siapa? Korban dari orang tua yang belum siap mentalnya menjadi “orang tua”.

Matang secara emosi yang bagaimana maksudnya? Meski bukan psikolog atau filsuf, saya termasuk orang yang suka membaca buku bergenre kebijaksanaan. Matang secara emosi yang saya maksud adalah bagaimana diri ini bisa mengetahui, mengakui, dan menerima apa yang sedang ia rasakan. Lalu mengontrol emosi yang muncul dengan tidak berlebihan. Sehingga kita bisa memikirkan respon yang dapat kita kendalikan. Sebut saja saya banyak berguru pada konsep mindfulness dan filosofi teras.

Orang Tua Pembelajar

Konsep mindfulness ini memberikan kita pemahaman untuk sadar dan hadir secara utuh di waktu sekarang tanpa memberikan penilaian. Selanjutnya, beri jeda untuk berpikir dan memberikan reaksi yang penuh cinta kasih. Sedangkan konsep filosofi teras ini mengajarkan kita tentang batasan apa yang bisa kita kendalikan dan tidak bisa kendalikan dan bagaimana bereaksi pada dua keadaan tersebut. Konsep itu cukup membantu kita menghadapi masa pandemi. Di mana kita berhadapan dengan segala ketidakpastian namun harus tetap tahan banting.

Baca Juga  Gangguan Kecemasan : Hal yang Lumrah Bagi Pelajar?

Kembali lagi, banyak orang tua menuntut anak untuk terus belajar, mengerjakan tugas ini itu. Tapi sudah sadarkah, orang tua juga perlu belajar. Satu hal yang saya ingat, seribu nasihat akan kalah dengan contoh yang baik. Sederhana saja, contohkan menjadi orang tua pembelajar sehingga anak dengan riang gembira pun akan menjadi anak yang senang belajar.

Bagikan
Comments
  • Mi fitriana

    Mantaaapp

    Maret 21, 2021
Post a Comment