f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
belajar

Ngapain Belajar Terus? Kaya Enggak, Capek Iya?

“Ngapain Belajar Terus? Kaya Enggak, Capek Iya”

Kalimat di atas saya jumpai pada postingan sebuah akun yang tak sengaja lewat di timeline Instagram saya. Dengan jumlah likes dan komentar ribuan, banyak orang yang merasa terwakilkan dan setuju dengan kalimat tersebut. Ternyata, cukup banyak orang yang berpikir bahwa belajar seharusnya menjadi sarana yang mengantarkan seseorang pada “Kekayaan”.

Tak sedikit orang yang mempertanyakan mengapa harus banyak-banyak belajar? Toh ujung-ujungnya banyak sarjana sekolah tinggi, yang menganggur tanpa pekerjaan dan imbalan sepadan. Dengan segudang ilmu yang sehidup semati diperjuangkan, pada akhirnya malah mereka jadikan penyesalan.

Menengoknya dalam kehidupan sehari-hari, cara berpikir seperti ini memang sudah cukup mengakar kuat dalam budaya kita. Salah satu contohnya adalah jargon andalan sebagian orang tua yang kerap mengucapkan kepada anaknya sebelum berangkat sekolah; “Yang rajin sekolahnya yaa nak, supaya kelak mendapat pekerjaan dengan gaji yang bagus.”

Sekilas, jargon demikian hanyalah harapan orang tua yang menginginkan kehidupan terbaik bagi anak-anaknya di masa mendatang. Terlalu sering kita mendengarnya sampai pernahkah terpikir oleh kita bagaimana dampak dan pemaknaan yang salah oleh putra-putri kecilnya?

Secara tidak langsung, seorang anak bisa berpikir bahwa tujuan dari ia berlajar di sekolah adalah untuk mendapat pekerjaan, uang, nan kaya raya. Hingga suatu saat, ketika sang anak tidak mencapainya, perasaan kecewalah yang tentu akan menyelimutinya.

Lebih buruknya lagi, seorang anak akan menyesalkan proses belajar yang telah dilaluinya. Bahkan, meragukan nilai yang amat berharga dari sebuah ilmu dan aktivitas belajar itu sendiri. Kekecewaan mereka atas ilmu karena harapan dan tujuan awal mereka dalam menuntut ilmu yang hanya berorientasi pada uang/kekayaan.

Baca Juga  Perjalanan Puan; Sebuah Refleksi dan Keresahan Bersama

Contoh lain, berbagai pertimbangan memilih jurusan kuliah remaja era kini yang lagi-lagi berorientasi pada uang dan kekayaan. Nyinyiran semacam “Jangan pilih prodi A atau kampus B, kelak susah mendapat gaji yang bagus lhoo!”

Demikian cara berpikir mengharuskan kaya setelah menuntut ilmu meresap dan mengakar dalam keseharian kita. Mulai dari lingkungan terdekat hingga lingkungan yang lebih luas, masih menyuburkan budaya merendahkan nilai ilmu sebatas sarana mendapatkan uang dan kekayaan.

***

Sebelum kita mengharapkan kekayaan dari belajar, bukankah secara sederhana dapat kita ketahui bahwa buah dari belajar (menuntut ilmu) adalah berilmu? Menjadi berpengetahuan adalah konsekuensi logis yang sepatutnya dicapai seseorang ketika menuntut ilmu, bukan menjadi kaya.

Poin yang ingin saya “garisbawahi” kali ini adalah hasil dari proses belajar itu sendiri, yang sering dimaknai amat sempit bahkan disalahartikan menuntut kita menjadi kaya. Amat menyayat hati, ketika hakikat ilmu dan aktivitas belajar nyatanya masih banyak dimaknai sebatas sarana untuk mencapai predikat “kaya” semata.

Saya tidak menyangkal realita bahwa kita memang membutuhkan uang guna memenuhi kebutuhan. Namun, menjadikan uang dan kekayaan sebagai satu-satunya tujuan utama dalam menuntut ilmu cenderung menjadikan seseorang menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkannya walau dengan cara yang amat picik nan tercela.

Padahal, menuntut ilmu merupakan hal yang amat esensial bagi setiap manusia, khususnya bagi seorang muslim. Hadits Riwayat Ibnu Majah “Tolabul ‘Ilmi Fariidotun ‘alaa kulli muslimiin” yang menegaskan wajibnya menuntut ilmu agaknya juga amat familiar di telinga kita.

Sejatinya, kita dapat merefleksikan secara sederhana manfaat dan nilai yang amat besar dari aktivitas belajar. Belajar dengan tidak hanya dimaknai datang ke kelas, mengerjakan tugas, dan duduk rapi saat guru menjelaskan. Terlalu sempit rasanya, jika kita hanya memaknai belajar sebatas itu.

Baca Juga  Al-Attas dan Nurcholish Madjid : Sekulerisasi Negara Islam
Esensi Filosofis Belajar adalah Perubahan

Makna mendalam dari proses belajar adalah perubahan. Berubah dari yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu, dari yang kosong menjadi berisi, dari yang nirmanfaat menjadi sangat bermanfaat. Dengan belajar, seseorang dapat mengubah diri, mengubah orang-orang di sekitarnya, hingga mengubah suatu peradaban menjadi lebih maju.

Lagi pula, bukankah setiap manusia harus terus belajar hingga akhir hayatnya? Karena setiap harinya, manusia selalu dihadapkan dengan dunia yang terus berubah dan ragam persoalan baru yang harus terus dipelajari untuk dapat beradaptasi.

Belajar, bukan tentang perlombaan siapa yang paling cepat meraih kekayaan atau kesuksesan. Belajar seharusnya menjadi cara seseorang untuk menikmati pengetahuan sekaligus memaknai kehidupan. Dan belajar adalah cara berbenah diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.

Lebih hebatnya lagi, belajar dapat membantu kita menyelesaikan beragam persoalan. Mulai dari persoalan mengenali diri sendiri, orang lain, hingga ragam persoalan dalam tataran yang lebih kompleks, seperti kemajuan teknologi dan informasi.

Melalui proses belajar yang tekun, seseorang juga dapat mengangkat martabat/kualitas diri. Ini merupakan janji Allah yang akan meninggikan derajat orang-orang yang menuntut ilmu nan cinta belajar, dalam Surah Al-Mujadalah ayat 11 Allah berfirman :

يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ

Yang artinya : “Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Q.S. Al-Mujadalah: 11)

Tentu masih melimpah ragam manfaat yang dapat kita peroleh dari belajar (menuntut ilmu), namun harapannya, tulisan ini dapat menjadi sekelumit penyemangat bagi siapapun yang sedang menuntut ilmu tanpa sebatas menjadikan uang sebagai tujuan utamanya.

Semoga kita termasuk dari para penuntut ilmu yang seiring dengan meningkatnya ilmu, meningkat pula amalnya, meningkat pula keimanan serta derajatnya di mata Allah Subhanahu Wata’ala.

Baca Juga  Ibu, Pelukis Pelangi Toleransi Keluarga

Aamiin Yaa Rabb..

Bagikan
Post a Comment