f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
netizen indonesia

Netizen Indonesia, Mari Berkawan dengan Teman-Teman Sedunia

Berawal dari kisah viral di Twitter tentang dua warga negara Amerika yang mengajak dunia internasional untuk tinggal di Bali di masa pandemi, hingga akhirnya mereka terusir dari Indonesia berkat kekuatan netizen Indonesia. Saya pun ikut kagum melihat kekuatan netizen Indonesia pada saat itu.

Namun makin lama netizen Indonesia menjadi jumawa. Bahkan sampai mendapat julukan sebagai netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara pun, bukannya berkaca, malah semakin jumawa. Tiap ada kejadian di mana terdapat–yang dirasa–penghinaan terhadap Indonesia, netizen Indonesia bergerak balik menyerang negara terkait. Sayangnya, penyerangan tidak elegan, bahkan jauh dari elegan, karena mereka asal menyerang dengan membabibuta.

Menyerbu Akun-Akun Mancanegara

Terdapat beberapa kejadian yang memperlihatkan kebar-baran netizen Indonesia. Sebagai contoh, penyerbuan akun BWF saat BWF memulangkan atlit badminton Indonesia tanpa memberi kesempatan bermain. Begitu panasnya kepala netizen Indonesia, sampai-sampai mereka salah menyerang orang. Semata-mata karena info dari akun fanpage badminton Indonesia, netizen Indonesia menyerang Stephen Fry, yang disangka sebagai service judge, padahal sebenarnya adalah seorang aktor komedian asal Inggris. Salah satu netizen Indonesia dengan nama akun Vexouroboros pun meminta maaf, “Maafkan netizen Indonesia, kami salah orang”. Syukurlah ada juga netizen Indonesia yang tidak norak dan berani meminta maaf mewakili netizen-netizen norak yang mudah terprovokasi.

Kejadian berikutnya adalah pasangan gay Thailand yang tidak salah apa-apa pada netizen Indonesia, tapi mendapat penghakiman dari netizen Indonesia. Hal ini mengakibatkan warga Thailand marah dan berencana menolak warga Indonesia datang ke negaranya. Separah apakah netizen Indonesia menuliskan komentar? Berikut contohnya “Binatang saja tau mencari betina. Ini dah kaya habis aja wanita di dunia”, “mau kiamat cuk” dan masih banyak komentar lain hingga komentar yang membawa-bawa Tuhan.

Baca Juga  Menutup Stigma Tabu Masyarakat terhadap Pendidikan Seksual

Alih-alih “sekedar mengingatkan”, layaknya hobi netizen Indonesia, komentar-komentar pedas tersebut malah membuat marah warga negara lain. Apakah netizen yang melakukan penyerangan tidak sadar akibat perbuatannya itu, bisa menimbulkan bencana pada warga Indonesia yang tinggal di Thailand? Selain dua kejadian di atas, masih banyak kejadian lain, itu hanyalah contoh dua kejadian, yang menurut saya, mencoreng nama baik Indonesia.

Berpikir Sebelum Berceloteh di Dunia Maya

Usia seseorang harus cukup dewasa untuk dapat memiliki akun media sosial, namun tidak dipungkiri bahwa kini banyak anak usia sekolah dasar dan sekolah menengah yang sudah memiliki media sosial. Anak-anak ini, yang masih belajar membedakan salah dan benar. Melihat penghakiman massal yang dilakukan netizen Indonesia, akan berpikir bahwa ini adalah hal yang wajar dan mereka pun mengikuti jejak salah tersebut. Kebiasaan menghakimi pencuri secara massal, rupanya dibawa-bawa ke dunia maya.

Kejadian di atas adalah contoh kelakuan norak di tingkat internasional, yang dilakukan secara massal. Namun, di lingkungan terkecil pun, diskriminasi dan penghakiman masih terasa kental. Perbedaan suku, agama, logat bicara, dan fisik masih sering menjadi suatu hal yang lumrah untuk menjadi bahan ejekan atau dicap dengan stereotipe tertentu. Contoh paling umum adalah di mana anak-anak akan mengejek temannya yang berbeda secara fisik. Kemudian tumbuh dewasa bersama media sosial, melihat warga di negara lain, walaupun belum pernah bertemu langsung, namun langsung percaya pada stereotipe warga negara tertentu. Jangankan percaya dengan stereotipe warga suatu negara, kerap kali bahkan percaya begitu saja dengan stereotipe sesama warga Indonesia, tapi beda suku atau agama.

Melihat ke belakang, sewaktu saya masih anak-anak, kerap kali terjadi perundungan pada anak-anak berbadan gemuk, bermata sipit, atau berkulit gelap. Beranjak dewasa, saya lihat adanya ketidaksukaan pada etnis tertentu. Sehinggga pada saat banyak orang mulai memiliki ponsel pintar, dan dengan kemudahan masuk ke jaringan internet, muncul keberanian untuk berceloteh di media sosial untuk menjelekkan warga negara lain, tanpa memikirkan akibatnya.

Baca Juga  Hubungan Erat Antara Gen Z dan Media Sosial Terhadap Perkembangan Indonesia : Bergerak atau Diam?

Rumah merupakan tempat pertama seorang anak mendapatkan pendidikan dan arahan. Di sinilah peran orangtua memberikan pemahaman yang baik, bahwa apa yang kita lihat itu belum tentu benar. Bahwa kita tidak boleh mudah menghakimi tanpa mengetahui yang sesungguhnya terjadi. Sehingga begitu anak mulai berkenalan dengan dunia luar, anak kita mulai mempraktikkan pemahaman yang ia dapat selama di rumah.

Perbedaan itu Pasti Ada

Mari kita ajarkan anak-anak kita untuk melihat dari hati, bukan semata-mata fisik atau hanya yang kasat mata. Bahwa perbedaan pasti ada dan Tuhan sengaja menciptakan perbedaan antara manusia agar makhluknya saling membantu. Mari ajarkan anak untuk menempatkan diri di posisi orang lain sebelum bertindak. Mari ajarkan anak-anak kita untuk tidak mudah menelan informasi mentah-mentah tanpa kroscek terlebih dulu. Dan mari ajarkan anak kita untuk tidak mudah menghakimi orang lain.

Harapannya engan mulai mengajarkan anak-anak untuk lebih memakai hati dan logik; kelak ketika mereka sudah dewasa, ketika mereka semakin banyak melihat warna-warni manusia, mereka menjadi pribadi yang tidak norak, tidak mudah terprovokasi. Ibarat pelangi dengan beragam warnanya, kehidupan pun akan lebih indah jika kita mau melihat perbedaan dengan lebih bijak. Bahkan, bisa saja netizen Indonesia mendapat gelar netizen paling sopan di dunia internasional.

Bagikan
Post a Comment