f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
Muslimah

Muslimah Teladan Tak Pongah Gelar

Mozaik hidup priyayi muslimah ini saya temukan tak sengaja di beberapa kesempatan ketika membaca buku. Sosok yang cerdas, elegan, pintar mengaji dan baca tulis latin-Arab. Potensi sang tokoh dari 141 tahun silam ini banyak dirindukan lelaki agar ada pada diri perempuan idamannya masa kini. Terutama seperti kemampuan Sang Raden Ayu, dalam mengaji dan mengerti baca-tulis Arab.

Sebetulnya, banyak pahlawan perempuan di Indonesia, seperti Dewi Sartika. Saya pribadi baru mengetahui tokoh perempuan ini. Itupun sekitar tiga tahun lalu, saat membaca materi dan soal tes CPNS tentang Raden Dewi Sartika, seorang perintis pendidikan kaum perempuan. Saya belum pernah membaca buku tentangnya, dan yang lebih saya kenali hanyalah R.A. Kartini. Sementara Kartini sendiri adalah tokoh yang paling sering singgah di kelas-kelas, semasa saya SD hingga SMA dulu. Bahkan fotonya terpajang rata di sekolah-sekolah yang ada di tanah air. Sebagaimana rata dan serentaknya perempuan dalam berbatik dan berkebaya. Sebagai wujud euforia kesetaraan, yang digaungkan hingga kini, tepatnya saban 21 April.

***

Namun, bila ingin menuntut harus sama dengan kaum laki-laki, sesuai teladan, selayaknya perempuan pandai mengaji; tak hanya itu saja, Kartini yang bergelar priyayi malah ingin dipanggil nama lahirnya tanpa embel-embel Raden Ayu. Sementara di desa saya, Gumukmas-Jember, ibu-ibu yang baru pulang umrah tak akan menoleh sebelum disapa “Umi”. Bila Kartini adalah suri teladan, saya pikir sudah saatnya perempuan tak merasa berkasta rendah daripada lelaki. Atau merasa lebih unggul dengan gelar “Umi”, “Hajah”, dan “Ustazah” atas laki-laki dan perempuan lainnya.

Apalagi jika ia seorang muslimah, hatinya dituntut untuk tawadhu. Lantaran pesan Allah, semua kedudukan manusia itu sama, yang membedakan hanya pada iman dan ketakwaan saja. Maka tak ayal, judul novel biografi karangan Pramoedya Ananta Toer “Panggil Saja Aku Kartini”, mengejawantahkan kerendahan hati sang pahlawan. Ada banyak kesan yang bisa kita temukan dalam buku itu. Terutama kesan cerdas dan elegan. Saya tidak sedang membahas resensi karyanya, melainkan sekadar menukil mozaik Kartini dari lintas referensi.

Baca Juga  Aktivitas Hari Tanpa Smartphone

Cerdas, adalah potensi yang membuat Kartini mampu menggerakkan orang-orang di Semarang untuk mendirikan yayasan Kartini. Sekolah untuk para perempuan sejak tahun 1922 atau 19 tahun setelah beliau wafat. Meskipun sejak usia 12 tahun, ia terkurung di dalam rumah, demi persiapan menikah, beliau tak tinggal diam dalam sekat kamarnya. Justru itu adalah kesempatannya membaca, belajar dan menulis surat. Kegiatannya menulis surat membebaskan pikirannya, menembus sekat-sekat ruangan, menuju benua Eropa. Tepatnya surat itu diterima teman-teman korespondensi di Belanda, termasuk sahabat penanya, Rosa Abendanon. Tak hanya surat, buah pikirannya juga telah mendarat di Belanda dan dimuat pada majalah De Hoansche Lelie.

***

Beliau juga sosok yang agamis. Dari silsilahnya, beliau putri Raden Mas Sosroningrat dan Ngasirah. Kakek dan nenek dari jalur ibunya, adalah seorang guru agama yang bernama Nyai Haji Siti Aminah dan Kiai Haji Madirono. Dengan silsilah keluarga yang religius tak ayal beliau mampu membaca Al Qur’an. Sehingga menurut saya, wawasan keIslamannya setara dengan pahlawan dari Aceh, Cut Nyak Dien.

Selain bisa berbahasa Belanda, Kartini juga mampu menulis bahasa Arab,  termasuk baca-tulis Arab Pegon. Mozaik ini saya temukan saat membuka lembaran Ensiklopedi Islam Internasional karya Iwan Gayo. Pada halaman Kartini, disebutkan bahwa beliau adalah pelopor untuk adanya terjemahan Al Qur’an versi Arab Pegon. Sejarah ini dimulai saat Kartini mengaji dan mendalami Surat Al Fatihah dibawah bimbingan Kiai Sholeh Darat di pelataran Pendopo Kabupaten Demak. Pada masa itu, kolonial membatasi pribumi belajar termasuk mengerti isi Al Qur’an. Agar terjemahan tersebar, tulisan latin tak digunakan untuk terjemahan, melainkan menggunakan Arab Pegon.

Arab Pegon sendiri merupakan tulisan Arab dengan imbuhan beberapa aksara menyesuaikan artikulasi bahasa Jawa. Kartini turut andil dalam penyebarannya, dan terjemahan ini berhasil lolos dari pengawasan kolonial. Para penjajah sebetulnya amat takut, kalau-kalau orang islam mengerti kitab sucinya, umat Islam pribumi bisa-bisa akan berbudaya lebih maju. Bahkan umat Islam di negeri ini bisa “mendahului zaman” kala itu. Kejadian lebih dari seabad yang lalu itu, berkebalikan dengan kondisi saat ini. Di mana perempuan yang belajar ilmu agama, mengaji Al Qur’an atau istikamah menjaga kehormatannya, akan mendapat label “sok suci” dan “ketinggalan zaman”. Padahal justru perempuan yang hijrah, akan terangkat kemuliaannya dari sisi agama maupun dari sudut pandang “perempuan berpendidikan”.

Baca Juga  Cuti Ayah dan Upaya Pengasuhan Anak yang Lebih Seimbang
***

Kartini memang sosok elegan. Justru elegannya terletak pada kebersahajaan, dan wawasan agamanya tentang kesetaraan gender. Kesahajaannya terlihat di dunia barat. Kartini dikenal wanita pribumi tanpa gelar yang tulisan-tulisannya menginspirasi perempuan-perempuan di negeri Belanda itu. Istilah yang tepat menggambarkan fenomena ini adalah “Panggil aku Kartini saja”, di mana nama Kartini, juga jadi nama penanya.

Elegannya beliau juga tampak dari perlawanannya terhadap adat, bahwa perempuan “di bawah” itu keliru. Sejak ia mendapatkan batasan untuk meraih pendidikan lebih tinggi di usia remaja hingga menikahi Bupati Rembang, ia mampu menunjukkan kepada orang-orang di sekitarnya bahwa ia bisa melakukan pekerjaan laki-laki. Hal ini pernah ditunjukkan dalam layar lebar, oleh Dian Sastrowardoyo. Dalam film, sang suami Kartini, Raden Adipati Joyodiningrat ternyata telah mengizinkan dirinya, berkirim surat atau artikel ke lintas benua. Ketika karsa perempuan kala itu ditekan, berbeda dengan Raden Ayu yang mampu meyakinkan sang suami bahwa perjuangannya tak pernah bermaksud merendahkan martabat lelaki. Melainkan martabat perempuan, mampu hidup berdampingan dengan kaum adam. Namun usahanya yang belum usai untuk mengentaskan martabat perempuan itu, justru takdir mendahuluinya. Di mana Kartini wafat pada usia 25 tahun, paska melahirkan buah hatinya.

***

Meneladani Kartini bisa kita mulai dengan menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Saya lihat, banyak perempuan muslimah yang menganut ideologi sang pahlawan ini. Di mana perempuan agamis, tak peduli dengan gunjingan dan cibiran orang, saat menunjukkan jati diri yang Islami. Tak malu ketika giat menimba ilmu, mengaji, dan istikamahnya menjaga kehormatan. Meskipun pada akhirnya label “sok alim” akan terus menekannya. Label “sok Arab” bisa jadi sering mampir ke telinga perempuan yang mencoba salihah. Bagaimanapun, dunia ini butuh muslimah yang tangguh; berdaya menyuarakan aspirasinya, tanpa perlu punya gelar terlebih dahulu. Bila pun bergelar raden, muslimah tak akan pongah dengan apa yang disematkan, melainkan akan duduk sama rata dengan perempuan lainnya.

Bagikan
Post a Comment