f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
madrasah

Menjadi Madrasah Pertama bagi Anak, Pantaskah Saya?

Pagi ini, tidak sengaja membuka catatan lama ketika mengikuti seminar parenting, kurang lebih seperti ini bunyinya “… Ketika memilih Sekolah Islam untuk anak, bukan berarti orang tua lepas tangan tentang pendidikan agama anak. Bagaimanapun, orang tua harus juga ikut aktif (dalam mendampingi anak)…”. Pikiran saya langsung mengingat kejadian tadi malam, ketika saya sedikit kecewa dengan anak saya yang berusia 7 tahun karena belum lancar mengaji. Dan tentunya, saya lebih kecewa lagi ketika mengingatnya, mengapa saya bisa berpikiran seperti itu? Sedangkan kenyataannya, memang saya kurang mendampinginya belajar di luar sekolah. Di catatan selanjutnya, ada pernyataan bahwa “Anak lebih banyak meniru, daripada mendengar”. Kembali saya bertanya pada diri saya sendiri, “Apakah kami (orang tuanya), sudah memberi contoh yang baik, sejauh ini ?”. Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban selanjutnya muncul bersahut-sahutan di kepala saya.

Antara Keinginan dan Kenyataan

Saya adalah seorang ibu yang bekerja di luar rumah dan saat ini sedang melanjutkan pendidikan. Di saat yang sama, saya ingin menjadi ibu yang bisa : 1). Menyelesaikan pekerjaan dengan baik, yaitu menjadi mahasiswa yang “on the track”; 2). Mendampingi anak sampai anak menjadi pandai dari segi akademik dan terampil dari segi non-akademik; 3). Memastikan kondisi rumah dalam keadaan rapi dan bersih; 4). Mengatur keuangan dengan baik; 5). Menjadi istri dan menantu yang baik; 6). Menjadi tetangga yang baik, dan sebagainya.

Namun kenyataannya, ada keterbatasan dalam setiap manusia. Meskipun bisa melakukan beberapa pekerjaan sekaligus (multitasking), saya tiba-tiba merasa multitasking adalah pekerjaan yang berat. Bisa dibayangkan, dalam waktu yang sama, pikiran kita dipaksa untuk fokus pada berbagai hal sekaligus.

Baca Juga  Jangan Ge-er Jadi Ibu Zaman Sekarang!

Betapa lelahnya otak kita, betapa lelahnya sel-sel dalam tubuh kita yang menerima mandat dari otak untuk melakukan berbagai hal. Belum lagi ketika pertambahan usia tidak diimbangi dengan asupan nutrisi yang baik bagi tubuh dan faktor-faktor lainnya, menjadikan tenaga tergerus, tidak lagi se agresif pada saat muda. Akibatnya, tubuh akan lelah, namun masih banyak list target kegiatan yang belum dilakukan. Dan bagi saya yang terbiasa hidup dengan merencanakan semua hal, akan timbul semacam rasa insecure terhadap diri sendiri. “Mengapa saya seperti ini?”, “Ternyata saya tidak seperti dulu lagi”, “Mengapa saya menjadi lemah dan mudah lelah?”, “Jika seperti ini, apakah saya bisa disebut ibu dan istri yang baik?“ dan masih banyak pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benak saya.

Buku yang pernah saya baca berjudul “Happiness Inside” karya Gobind Vashdev menuliskan bahwa sebagian besar manusia lebih suka “mengenyangkan” bagian leher ke bawah. Padahal bagian leher ke atas juga perlu “dikenyangkan”. Maksudnya adalah pikiran kita juga perlu diupdate dengan informasi-informasi baru sehingga kita tercerahkan, tidak hanya berfokus dengan insecure, tapi berfokus pada apa yang harus dilakukan (problem solving). dr. Aisah Dahlan dalam kajian-kajiannya juga sering menyampaikan bahwa informasi-informasi yang didapatkan (seperti tentang cara memahami watak anak, perbedaan karakter laki-laki dan perempuan) juga perlu dibaca atau disimak lagi berulang-ulang agar kita tidak hanya “mengetahui”, namun dapat “memahami” dan “mempraktikkan” dengan baik dan benar.

Saya juga percaya bahwa mengubah pemikiran tidak semudah membalikkan telapak tangan. Demikian pun dengan saya. Untuk kembali menyemangati diri agar segera “move on” dari kondisi yang sedang tidak baik-baik saja, membutuhkan effort yang luar biasa, terutama support system yang baik dari keluarga. Di saat tersebut, yang bisa dilakukan adalah tetap berprasangka baik karena Allah berprasangka sesuai prasangka hambaNya. Seperti yang telah Allah ingatkan dalam QS. Al-Baqarah: 216 bahwa “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.

Pantaskah saya menjadi madrasah pertama untuk anak saya ?

Ada percakapan dari drama yang berjudul “Reply 1988” yang menyentuh hati saya, ketika anak merasa sangat kecewa kepada kedua orang tua nya, sang ayah berkata bahwa dia juga tidak terlahir sebagai Ayah dan ini juga pertama kalinya dia menjadi orang tua. Begitu pula kita sebagai orang tua. Masing-masing kita juga terlahir sebagai anak yang tumbuh dan berkembang di lingkungan yang berbeda-beda. Ketika terhubung dengan ikatan pernikahan pun, akan butuh banyak sekali penyesuaian antar pasangan yang memiliki latar belakang berbeda. Terlebih lagi ketika menjadi orang tua, semakin kompleks tanggung jawab yang diemban.

Baca Juga  HAM Perempuan Menurut Tariq Ramadan

Oleh karena itu, alih-alih terus mempertanyakan “Apakah saya pantas atau tidak menjadi madrasah pertama untuk anak saya?”, saya lebih memilih untuk “take action” untuk memantaskan diri menjadi madrasah pertama untuk anak. Suami dan istrilah yang menginginkan lahirnya seorang anak. Atas izin Allah lah setiap detail proses terjadi sehingga anak terlahir, tumbuh, dan berkembang. Oleh karena itu, sudah sepatutnya orang tua memantaskan diri untuk menjaga, mendampingi, dan mempersiapkan anak yang telah Allah percayakan menjadi mandiri agar siap menjalani kehidupan yang telah ditakdirkan. Dan tentunya, berhenti menyalahkan diri sendiri ketika ada sesuatu yang terjadi tidak sesuai dengan yang diinginkan. Karena “Tidak sehelai daun pun yang gugur tanpa seizinNya”.

Kembali lagi ke catatan ketika saya mengikuti kuliah parenting, tertulis bahwa “Kesuksesan bukan diukur dari seberapa pintar anak, tapi seberapa tangguh anak dalam menghadapi kegagalan”. Menjadi orang tua adalah pembelajaran sepanjang hayat, sehingga tidak ada cara selain terus meng-update informasi dan meng-upgrade diri. Stop insecure, go ahead.

Bagikan
Post a Comment