f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
poligami

Menilik Wacana Poligami dalam Penanggulangan HIV/AIDS

Baru-baru ini diberitakan terkait lonjakan angka HIV/AIDS di Bandung, Jawa Barat. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bandung mencatat ada 5.943 kasus positif HIV di Bandung selama periode 1991-2021. Sebanyak 11 persen di antaranya adalah ibu rumah tangga (IRT) dan salah satu pemicunya adalah suami yang melakukan hubungan seks tidak menggunakan pengaman dengan pekerja seks. Kemudian, 6,9 persen atau 414 kasus positif HIV/AIDS terjadi pada mahasiswa. (Kompas, 30/08/2022)

Lonjakan kasus tersebut sontak mendapat perhatian serius dari banyak kalangan, salah satunya dari wakil gubernur Jawa Barat, UU Ruzhaul Ulum. Yang paling menggelitik penulis adalah mengenai wacana poligami yang digagasnya dalam rangka menangani kasus HIV/AIDS di Jawa Barat. Menariknya lagi, ketua MUI Rahmat Syafei, memberi tanggapan bahwa mengambil langkah poligami belum tentu solutif, dan bukan jaminan seseorang tidak terkena HIV/AIDS.

Sebagai seorang muslim, tentu umat Islam mengimani kebenaran adanya kebolehan poligami dalam syariat Islam. Sebagaimana tertera dalam surat an-Nisa ayat 3: “Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Ayat ini sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipahami secara terpisah. Perhatikan kelanjutan ayat yang seringkali dipotong sebagian kalangan. Maka jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka menikahlah dengan satu orang saja. Dalam tafsir Ibnu Katsir (2/212), bila khawatir poligami membuat seorang laki-laki tidak mampu berlaku adil di antara para istrinya, maka hendaknya ia mencukupkan diri menikahi satu istri saja. Juga dalam tafsir al-Qurthubi  (5/17-18) dikatakan, jika tidak mampu berbuat adil dalam poligami, hendaknya mencukupkan diri dengan satu istri. Sebab keadilan ini hukumnya adalah wajib.

Baca Juga  Berarti Perempuan Boleh Poliandri Dong?
Tentang Poligami dan Efektifitasnya di Tengah Lonjakan HIV/AIDS

Sebenarnya, usulan poligami bukanlah tanpa dasar. Pendapat itu muncul semakin kuat berkenaan motif pergaulan bebas yang melanda suami istri. Apalagi di antara pemicunya adalah suami yang berhubungan dengan pekerja seks.

Sebelum kepada pembahasan HIV/AIDS, terlebih dahulu perlu kita soroti bagaimana cara pandang suami istri dan berbekal apa pernikahan mereka. Dikarenakan poligami adalah pembahasan syariat, maka penulis akan memaparkan dengan pendekatan syariat.

Dalam Islam, ada istilah gadhul bashar (menundukan pandangan), yang tidak hanya berlaku untuk yang belum menikah, tapi juga berlaku bagi mereka yang sudah menikah. Artinya, ada yang salah terkait tidak diamalkannya gadhul bashar dalam pernikahan sehingga memicu perselingkuhan.

Padahal Rasulullah bersabda: “Jika di antara kalian menemui seorang wanita, lalu ia memikat hatimu, maka segeralah pulang datangi istrimu. Sesungguhnya, istrimu memiliki seluruh hal seperti yang dimiliki oleh wanita itu.” (H.R. Tirmidzi)

Hadis ini singkatnya sebagai warning bahwa bila tergoda wanita lain, segeralah pulang ke rumah mendatangi Istri. Inilah solusi dari Rasulullah menyikapi realita akan rumah tangga yang tak luput dari banyak godaan.

Dasar inilah yang paling krusial dilanggar oleh mereka yang terjerumus dalam perbuatan zina. Belum lagi jika pekerja seks tersebut memiliki penyakit HIV yang tidak hanya menularkan pada suami, bahkan suaminya juga yang bisa menularkan pada istrinya, begitu seterusnya. Alih alih menjadi solusi, namjn justru malah saling menularkan.

Sungguh yang menjadi inti persoalan adalah hasrat seksual. Itulah mengapa, istri (selama bukan dalam hal yang dimaklumi syariat), tidak diperkenankan menolak suami yang ingin menyalurkan hasratnya. Semua ini seolah terdapat korelasi bahwa baik suami maupun istri harus saling memahami dan menjalin komunikasi yang baik, termasuk dalam perkara yang sesungguhnya ini tidak bisa dianggap sepele.

Baca Juga  Pemikiran Fazlur Rahman tentang Poligami

Lantas seberapa efektifkah poligami berperan menangani kasus ini? Poligami bisa menjadi solusi apabila yang bersangkutan dapat berlaku adil. Umumnya, pelaku poligami di sekitar kita tidak mengindahkan aspek adil ini. Sehingga pantas lah bila rumah tangga mereka retak dan tercemari akibat kewajiban yang tidak dipenuhi, yakni kewajiban untuk berlaku adil.

Kemudian, kita gambarkan bahwa pengidap HIV yang diusulkan berpoligami itu kemungkinan besar dari latar belakang yang jauh dari agama sehingga membuatnya jatuh pada perzinaan. Prinsip adil ini semakin mengecil peluangnya bagi mereka yang tidak paham agama dan tidak mempunyai bekal pernikahan yang mumpuni.

Jelasnya, perselingkuhan dengan pekerja seks sebagai indikasi ketidakberesan ilmu yang dimiliki. Lantas dengan tanpa ilmu, ia diperintah poligami? Ini bukan persoalan rezeki, karena tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari rezeki pernikahan. Tetapi ini adalah persoalan putusan poligami yang sangat mungkin mendekati aniaya (zalim). Sedangkan Islam tidak merekomendasikan mereka dengan kriteria ini untuk berpoligami.

Itulah alasan tentang mengapa usulan poligami perlu dikaji ulang, khususnya dalam konteks pengidap HIV/AIDS. Justru pasangan seperti ini lebih membutuhkan asupan bekal pernikahan yang mumpuni, bukan malah menikah lagi di atas minimnya bekal pernikahan. Inilah sisi lain yang perlu didalami, yakni urgensi ilmu pernikahan, tidak hanya melihat dari sisi penanggulangan HIV/AIDS semata yang sangat mungkin menuai keraguan dari segi efektifitasnya.

Sebab menikah bukan persoalan seks semata, ia harus dimaknai komprehensif. Bila tujuan menikah hanya untuk pemenuhan kebutuhan biologis, maka ia telah memutuskan untuk mencederai pernikahannya. Padahal hakikat menikah yang sesungguhnya adalah sakinah mawaddah wa rahmah. Hakikat suami istri perlu direkatkan lagi, sebab mereka harus menjalin ikatan lebih dari sekedar terikat secara lahir, tapi juga batin, dan di semua sisi.

Bagikan
Post a Comment