f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
ekstrovert

Mengapa Seseorang Bisa Overthinking?

Awal mula ayah saya meninggal dan mengidap gangguan stress paskatrauma, hampir setiap detiknya saya mengalami overthinking. Hampir setiap detik saya memikirkan soal kematian, dikit-dikit parno, yang diingat hanya bagaimana kalau saya mati, apa yang sudah saya persiapkan, bagaimana dengan ibu, selalu saja ada pertanyaan “what if…?”

Dalam Oxford dictionary overthinking adalah memikirkan sesuatu dengan berlebihan dan dalam waktu yang lama. Overthinking merupakan idiom dan dalam psikologi dikenal dengan think too much (Kaiser, et al). Biasanya hal ini berupa pikiran yang negatif tentang apa yang tengah dialami atau dirasakan.

Menurut Smith (2020), overthinking terdiri dari dua (2) bentuk, pertama, ruminasi atau terus-menerus memikirkan masa lalu. Ruminasi biasanya berkaitan dengan penyesalan dan rasa bersalah. Kalau dalam kasus saya ada penyesalan mengapa bekerja jauh dari orang tua, yang alhasil saya banyak kehilangan momen. Kedua, worrying, yakni memikirkan prediksi negatif/bencana tentang masa depan. Saya sungguh worrying, bagaimana jika saya mati dan ibu ku hidup sendirian. Siapa yang akan menjaga beliau, mengingat saya anak tunggal.

Semakin lama overthinking tentu memberikan efek. Efek ini ada dua macam yeast effect dan distorted lens effect. Yeast effect sendiri lebih kepada terjebak pada pemikiran yang berlebih, diawali dengan pemikitan tentang peristiwa tertentu, kemudian menyebar ke peristiwa atau situasi lain dalam hidup anda, selanjutnya pemikiran ini semakin lama akan semakin negatif.

Sementara distorted lens effect lebih kepada masalah menjadi lebih besar, terfokus pada apa yang salah atau buruknya situasi, menyalahkan situasi. Selain itu juga berpikir tidak ada acara untuk mengatasi situasi sulit tersebut (Hoeksema,2004).

Lantas mengapa seseorang bisa mengalami overthinking…?

Berdasarkan teori cognitive behavioural therapy, overthingking diibaratkan seperti segitiga yang terdiri dari 3 sudut/prinsip, pertama prinsip situasi eksternal yang merupakan sesuatu di luar kontrol diri individu. Prinsip kedua, kontrol yang kita miliki terhadap situasi internal atau bagaimana respon internal kita terhadap situasi ekternal.

Baca Juga  Victim Mentality

Selanjutnya adalah prinsip 3 yang merupakan situasi internal kita, merupakan hasil dari interkoneksi antara pikiran, perasaan dan perilaku. Pikiran: abstraksi yang ada di dalam otak, perasaan: suasana perasaan yang ada di hati, diikuti oleh respon fisiologis, dan perilaku: bentuk tingkah laku yang konkrit disa diobservasi (Wilding & Milne, 2013).

Sumber: Selfia Eka Sari

Situasi eksternal akan menyebabkan kita berpikir dengan cara tertentu yang mempengaruhi perasaan dan perilaku kita. Cara berpikir tertentu tersebut, juga akan menentukan bagaimana respon internal kita terhadap eskternal apakah adaptif atau tidak adaptif. Adaptif sendiri berarti apakah membantu kita dalam keseharian atau tidak adapted yang berarti sebaliknya, merugikan kita dalam keseharian.

Sedangkan situasi internal (biologis), ada peran amigdala dan hipokampus dalam pembelajar dan mengingat, korteks prefrontal yang berperan emosi, mood negatif yang akan mengaktifkan dan pikiran negatif yang bahkan tidak terkait, dan jika seseorang terlalu banyak berpikir pada saat suasana hati negatif, pikiran dapat dibanjiri dengan segala macam asosiasi negatif lainnya.

Nah, Rahmania begitulah kira-kira mengapa seseorang bisa mengalami overthinking. Sehingga balik lagi ke teori dikotomi kendali, yaitu fokus kendalikan respon internal kita saja.

Bagikan
Post tags:
Post a Comment