Site icon Inspirasi Muslimah

Mengapa Al-Qur’an dan Hadis Lebih Sering Membicarakan Laki-Laki?

membicarakan laki-laki

Ilham Ibrahim

Mengapa Tuhan sepertinya selalu berbicara kepada laki-laki dan bukan kepada perempuan? Pertanyaan ini muncul di benak banyak Muslim saat ini, meskipun terkadang mereka ragu untuk menyuarakannya. Tapi, pada kenyataannya, ini adalah salah satu pertanyaan tertua dalam sejarah Islam.

Seorang istri Rasulullah Saw., Ummu Salamah mempertanyakan mengapa hanya kalangan laki-laki saja yang disebutkan di dalam Al-Quran. Pertanyaan lebih lengkapnya dapat dilihat di kitab Musnad Ahmad bin Hanbal dan sejumlah kitab tafsir lainnya. Pertanyaan dari perempuan yang terkenal cukup kritis tersebut langsung dijawab melalui wahyu dari Allah Swt. dalam QS. Al Ahzab ayat 35:

اِنَّ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمٰتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ وَالْقٰنِتِيْنَ وَالْقٰنِتٰتِ وَالصّٰدِقِيْنَ وَالصّٰدِقٰتِ وَالصّٰبِرِيْنَ وَالصّٰبِرٰتِ وَالْخٰشِعِيْنَ وَالْخٰشِعٰتِ وَالْمُتَصَدِّقِيْنَ وَالْمُتَصَدِّقٰتِ وَالصَّاۤىِٕمِيْنَ وَالصّٰۤىِٕمٰتِ وَالْحٰفِظِيْنَ فُرُوْجَهُمْ وَالْحٰفِظٰتِ وَالذّٰكِرِيْنَ اللّٰهَ كَثِيْرًا وَّالذّٰكِرٰتِ اَعَدَّ اللّٰهُ لَهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا

Sesungguhnya muslim dan muslimat, mukmin dan mukminat, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan penyabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kemaluannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, untuk mereka Allah telah menyiapkan ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 35).

***

Muhammad Thahir Ibn Ashur, seorang juris Maliki terkenal dalam kitab Tahrir wa al-Tanwir ini mengomentari tentang ayat yang muncul dari kritikan Umm Salamah di atas. Turunnya QS. Al Ahzab ayat 35, kata Ibn Ashur, menunjukkan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an dan Sunah itu mencakup laki-laki dan perempuan; kecuali aturan-aturan yang memang khusus bagi satu kelamin.

Sejak zaman sahabat, para cendekiawan Muslim telah mensintesis ajaran-ajaran dari ayat Allah, Sunah Nabi, dan wawasan mereka ke dalam kaidah-kaidah fikih (qawaʿid fiqhiyah). Kaidah ini berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara idealisme hukum dengan realitas sosial. Lebih dari itu, kaidah-kaidah fikih ini adalah ketentuan hukum yang bersifat umum yang mencakup laki-laki maupun perempuan.

Misalnya, kaidah ‘kesulitan itu mendatangkan kemudahan’ (al-masyaqqatu tajlib al-taisir). Kaidah ini bersumber dan terinspirasi dari firman Allah dalam QS. al-Hajj ayat 78 dan QS. al-Baqarah ayat 185. Berdasarkan kaidah ini, hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan bagi mukallaf (subyek hukum baik laki-laki maupun perempuan); maka syariat Islam memberikan keringanan dan kemudahan.

Laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan setara di depan hukum. Perempuan yang berbuat salah akan mendapatkan sanksi atas pelanggaran yang telah dilakukannya sebagaimana laki-laki. Para pencuri, perampok, koruptor, baik laki-laki maupun perempuan akan mendapat sanksi atas kesalahan yang diperbuatnya (QS. al-Maidah: 38).

***

Di luar metodologi interpretasi hukum, pakar linguistik asal Persia Imam Sibawaihi dalam karyanya Al-Kitab mengungkap alasan mengapa kata-kata yang konotasinya maskulin (mudzakkar) selalu mencakup untuk kata feminin (muannats). Menurutnya, karena versi feminin dari kata benda dan kata kerja dalam bahasa Arab sering kali lebih panjang dan lebih rumit jika dipakai dalam syair, maka kebanyakan menggunakan versi maskulin—yang di dalam kata tersebut sudah mencakup unsur feminin. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga Al-Qur’an dan Hadis.

Misalnya kata ganti “kum” (kalian mudzakkar/maskulin) dapat berarti sekelompok laki-laki atau kelompok campuran laki-laki dan perempuan. Sementara “kunna” (kalian muannats/feminin) hanya bisa menjadi sekelompok perempuan (atau sekelompok hal yang secara gramatikal feminin). Begitu pula dengan “huwa” dan “hiya“, dan seterusnya. Misalnya hadis tentang tata cara sujud:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ وَلَا يَبْرُكْ بُرُوْكَ الْبَعِيْرِ

Dari Abu Hurairah ia berkata: “Apabila salah seorang di antara kamu bersujud maka agar meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya dan jangan berdekam seperti mendekamnya unta”. (HR. Abu Dawud).

Meskipun hadis di atas menggunakan kata ganti maskulin “kum”, berdasarkan penjelasan Imam Sibawaih di atas dapatlah ditetapkan bahwa tara cara sujud yang diterangkan oleh Hadis tersebut berlaku baik bagi laki laki maupun perempuan.

***

Memang pada prinsipnya semua kaidah hukum itu berlaku sama, namun terkadang juga ada pengecualian. Misalnya, ketentuan-ketentuan tentang haid dan batas aurat. Semua aturan haid dan perintah memakai jilbab hanya berlaku untuk perempuan. Namun ini tidak dapat kita pandang sebagai diskriminasi sebab ada pula perintah yang secara khusus bagi laki-laki, misalnya: sunat atau khitan.

Meski ada pengecualian pada beberapa teknis, perempuan dan laki-laki sama-sama sebagai hamba Allah, keduanya memiliki kedudukan setara dan memiliki fungsi ibadah. Laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk beriman dan beramal salih (QS. An-Nahl: 97). Mereka berdua memiliki kesempatan dan wewenang sama menjalankan fungsi dalam mengelola, memakmurkan dunia dan memimpin sesuai dengan potensi (QS. At-Taubah: 71).

Bagikan
Exit mobile version