f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
pendidikan

Memvaksin Virus Predator di Lingkungan Pendidikan

Masih dalam euforia memperingati hari hak asasi manusia yang jatuh setiap tanggal 10 Desember. Mari kita sejenak berdoa sebagai solidaritas yang mungkin kita lakukan terhadap korban hak asasi manusia di manapun mereka berada; baik yang masih hidup maupun yang telah berpulang. Kiranya, pemulihan, keadilan, dan kebenaran bisa mereka dapatkan.

Tidak lupa juga kita harus berterima kasih kepada setiap orang yang peduli untuk merawat kemanusiaan agar tak terhunus pedang kebiadaban. Kepada mereka mari kita bersatu padu untuk tetap belajar, berempati, dan ber-keadilan. Kita tergemparkan dengan serangkaian kasus kekerasan seksual.

Selama ini kita ketahui institusi pendidikan adalah tempat yang jauh dari pikiran apalagi tindakan yang menjurus ke arah kekerasan seksual. Tapi dari serangkaian peristiwa yang terjadi belakangan; kita juga harus menyadari tidak ada ruang yang aman untuk siapapun terlepas dari kekerasan seksual. Ironisnya, orang-orang terdekat yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melawan segala bentuk kekerasan seksual justru menjadi pelakunya sendiri.

***

Data terakhir dari Komnas Perempuan antara periode Januari sampai Juli 2021 sebanyak 2.500 kasus kekerasan. Merujuk catahu 2020 yang tercatat hanya 2.400 kasus. Menurut Komnas perempuan (2021) kondisi nyata kekerasan seksual di masa pandemi yang cenderung meningkat namun terkesan seperti gunung es. Karena sifatnya yang seperti gunung es sulit untuk dideteksi menyebabkan kekerasan seksual di dunia pendidikan; yang termasuk kekerasan di ranah publik jarang terungkap lewat data secara lengkap.

Ketika saya bertanya ke beberapa petinggi di Kementrian Pendidikan Nasional baik di level daerah maupun pusat, mereka tidak mengetahui secara pasti ada atau tidaknya pendataan kasus kekerasan seksual di ranah pendidikan. Tapi, dari komnas perempuan dalam laporan lengkapnya terkait kekerasan seksual di ranah publik mencatat periode 2015 hingga Agustus 2020 ada 51 kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan.

Baca Juga  PJJ Lebih Butuh Perhatian Mas Menteri Dibanding POP

Tentu saja jumlah  data yang sangat kecil makin menguatkan kalau kejahatan seksual di ranah pendidikan baik itu di level sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi sangat sulit untuk dideteksi. Padahal menurut Mas Nadiem selaku Menteri Pendidikan, 77% dosen dan staff menyatakan bahwa kekerasan seksual itu pernah terjadi di kampus (CNN, 2021).

Tiga Faktor Pembeku

Dua tahun lalu vice Indonesia merilis dokumenter berjudul Are Indonesian Universities Failing to Protect the Victims of Sexual Assault? Saya merekomendasikan kita semua untuk melihat kembali dokumenter itu untuk mendapatkan gambaran akar masalah yang selama ini terjadi.

Nadya Melati, salah satu aktivis mengungkapkan faktor sistematis  pada level sistem pendidikan itu sendiri selain keterancaman  pada level korban dan ketidaktegasan pada level hukum yang telah membuat terjadinya pembekuan kasus-kasus kekerasan seksual di ranah pendidikan tinggi.

Itupun masih belum termasuk kasus-kasus di level pendidikan bawahnya yang tidak pernah terungkap secara pasti dengan data. Tentu saja ini mengkhawatirkan kalau kita sebagai masyarakat hanya berhenti pada level tahu namun tidak sadar akan keterancaman ini. Potensi akan kerabat, anak, teman, bahkan diri kita sendiri yang masih menempuh pendidikan sangatlah mungkin.

Saya mencermati masalah pembekuan ini diperkuat di tiga level utama pendidikan. Pertama yakni pada level birokrasi yang berdogma mengutamakan nama baik dengan sebisa mungkin menutupi kasus-kasus yang bisa mengancam reputasi lembaganya. Pada level ini, kampus sebisa mungkin tidak hanya membungkan suara korban. Tetapi mengintimidasi setiap gerakan yang mencoba membuka cela atas nama indispliner.

***

Di level kedua, terkait dengan advokasi yang cenderung menyederhanakan solusi dengan jalan damai. Solusinya hanya sebatas memaafkan dan memohon maaf atas nama jalur kekeluargaan. Sehingga kasus-kasus seperti itu tidak dapat diangkat ke ranah hukum. Padahal jalur kekeluargaan pada kasus kekerasan seksual seperti menamam ranjau; yang kapan saja akan meledak dalam bentuk traumatis berkepanjangan pada korban.

Baca Juga  Atas Nama Perjuangan Sad Boy, Mari Menolak Pola Kaderisasi Sugar Daddy

Hal itu terjadi karena tiadanya pemulihan dan tetap bebasnya pelaku tanpa ada sanksi sosial. Apalagi hukum yang bisa berpotensi menjadi predator kembali. Di level pelaku, tentu saja ada relasi kuasa yang kuat apalagi budaya kampus yang patron-klien; menempatkan yang satu pihak lebih superior dari yang lain.

Relasi kuasa selalu bermain pada ketergantungan korban pada si pelaku dan pada akhirnya dari sinilah pelaku memanfaatkan si korban untuk menuruti nafsu bejatnya. Setelah si korban menuruti nafsu bejatnya, si korban akan terjebak pada lingkaran setan yang menjebak korban pada dua ketergantungan. Pertama, ketergantungan di bawah keterancaman baik secara psikologis maupun fisik; atau ketergantungan secara halus seperti halnya Stockholm syndrome yang menimbulkan pengharapan dari korban ke pelaku.

Memvaksin Virus KS dari Ruang Pendidikan

Merebut ruang pendidikan menjadi aman kembali dari kekerasan seksual bukanlah perjuangan yang mudah; tapi selalu ada kemungkinan-kemungkinan yang dapat kita ciptakan asalkan kita semua tahu, sadar lalu dengan berkomitmen penuh berbasis pada sikap yang zero tolerance ; terhadap kekerasan seksual apapun bentuknya.

Memvaksin akal agar perbuatan dan ucapan menjadi baik,harus sesegara mungkin dilakukan dengan langkah pertama ialah agar tidak  sekedar beropini soal pakaian sebagai pemicu utamanya apalagi ini dan itu salah Yahudi, tapi mampu  berpikir dari perspektif  keilmuan yang sifatnya kritikal.

Langkah yang pertama memiliki dua fungsi, (1) memutus budaya menjadikan korban sebagai pelaku, (2) menghakis mitos tentang kekerasan seksual. Perihal  mitos, saya sepakat dengan Kelly Oliver dalam bukunya berjudul  Hunting Girls: Sexual Violence from The Hunger Games to Campus Rape  (2016) yang menceritakan mitos-mitos tentang pemerkosaan yang selalu terjebak pada logika victim blaming  akibat publik di jerat pada serangkaian asumsi, seperti “Kalau terjadi pemerkosaan maka cewek itu salah di…………….. (Tergantung pada sisi mana yang digunakan untuk mencari kesalahan korban)”.

Baca Juga  Mencintai Ibu, Menyayangi Orang Tua

Langkah kedua, memvaksin cara berpikir yang rasional dan berkesadaran untuk beranggung jawab. Dalam hal ini tentu tidak cukup hanya dengan menjadikan peristiwa-peristiwa kekerasan seksual sebagai “diskursus” tapi harus mampu ke arah tindakan yang berani secara moral. Hidupkan semangat respondio ergo sum (aku bertanggung jawab maka aku ada), beriringan dengan semangat cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada).

***

Pendidikan harus mampu menginternalisasi cara berpikir yang tercerahkan dan bertindak yang terkontrol agar lepas dari anomali yang hipokrit. Langkah ketiga, berani merubah cara pandang beragama yang memihak kepada yang tertindas  merespon banyaknya ujaran menyalahkan korban dengan membawa-bawa narasi agama.

Saya sepakat dengan Moeslim Abdurrahman dalam bukunya berjudul ‘Muslim yang Memihak’ tentang penekanan pada kesalehan yang berani melawan segala bentu dehumanisasi. Lebih lanjut beliau menulis “agama harus memiliki fungsi kritis, jangan terjebak pada sublimasi dan katarisis yang malah tidak membangkitkan perlawanan terhadap kemungkaran sosial” (2015).

Di sinilah pentingnya dakwah dialektis yang tidak hanya menyediakan problem-solving tapi juga problem-posing ; untuk membongkar kedok muslihat jahat nan hipokrit punya. Kita memang butuh pandangan agama yang lebih kritis agar kita mampu berempati terhadap para korban. Langkah keempat, perkuat regulasi yang zero-tolerance terhadap segala bentuk kekerasan seksual. Tentu dibarengi dengan birokrasi yang baik dan sumber daya manusia yang berintegritas.  

Bagikan
Post a Comment