f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
keadilan gender

Memperjuangkan Keadilan Gender sebagai Korban Kekerasan Berbasis Gender

Secara pribadi, entah sejak kapan saya tertarik untuk mempelajari dan mendalami keadilan gender. Prinsip keadilan gender mungkin baru saya dengar sejak pandemi. Kebetulan semasa pandemi, kasus kekerasan berbasis gender semakin marak.

Sejak saya mengetahui prinsip keadilan gender, saya seperti menemukan sebuah ruang berpikir yang selama ini saya cari. Ruang yang aman, tidak naif, tetap masuk akal, adil dan rata bagi siapa pun pemikirnya.

Dengan mendalami prinsip keadilan gender, saya menemukan semangat untuk merealisasikan sebuah ruang yang saya impikan, ruang di mana laki-laki dan perempuan bisa hidup setara dan saling menghormati.

Maka saya mulai rajin membaca buku-buku tentang feminisme dan keadilan gender. Saya juga gencar mengikuti kajian gender Islam, konferensi dan seminar feminisme, konten kreator keadilan gender dan feminisme, serta mencari komunitas-komunitas keadilan gender di sekitar saya.

Namun, di balik semua upaya dan minat saya terhadap bidang tersebut, ada satu keresahan yang meliputi hati saya.

Bagaimana jika saya tidak bisa bersikap objektif dalam memahami keadilan gender?

Keresahan itu datang dari latar belakang minat saya terhadap bidang studi sosial tersebut. Saya, dengan jujur mengakui, bahwa saya adalah putri dari penyintas KDRT. Trauma yang datang dari keadaan keluarga saya bertransformasi menjadi sebuah semangat untuk mendekati dunia keadilan gender tersebut.

Semangat ini yang terkadang masih terlihat abu-abu di mata saya. Apakah ini semangat positif untuk bangkit dari duka masa lalu itu, atau justru semangat balas dendam terhadap pelaku yang telah mengacak-acak keluarga saya hingga kami tak berdaya seluruhnya seperti ini.

Di beberapa waktu, luka hebat itu terpancing dan kembali memenuhi diri saya. Rasa benci saya memuncak, baik terhadap pelaku atau diri saya sendiri. Saya menjadi terus-terusan menyalahkan diri sendiri karena tidak bangkit dengan berani waktu itu. Kebencian itu akhirnya saya pukul rata kepada semua gender yang sejenis dengan pelaku: laki-laki.

Saya jadi tidak bisa melihat laki-laki sebagai manusia, melainkan sebagai makhluk lain yang tidak seharusnya ada di dunia ini. Semangat mempelajari feminisme dan keadilan gender itu malah membuat saya bersikap man-hating dan selalu ingin perempuan unggul di atas laki-laki.

Baca Juga  Problematika Gender: Berhenti Saling Meninggi, Mari Saling Merangkul

Bukankah itu sama saja saya mengadaptasi sikap yang seharusnya diberantas dalam keadilan gender, subordinasi satu pihak?

Keresahan ini terjadi cukup lama, sekitar satu tahun. Kemudian, saya berkesempatan mengikuti Kajian Gender Islam oleh Bu Nur Rofi’ah. Saya pun menanyakan apa yang menjadi keresahan saya. Beliau menjawab, “Fokus pada nilai dari keadilan gender itu, Mbak Ainusshoffa.” Kira-kira jika disimpulkan, demikian jawaban beliau.

Fokus pada nilai dari keadilan gender. Fokus pada value dari fenomena sosial yang tengah dihadapi.

Kemudian, beberapa hari saya tafakkur memikirkan aktualisasi dari jawaban beliau. Saya menyusun poin demi poin, mengulik kembali value yang bisa saya ambil dari masa lalu saya, serta pemahaman saya tentang keadilan gender yang sudah saya pelajari selama ini. Akhirnya, saya menemukan dua langkah untuk meluruskan keresahan saya.

1. Berikan pengampunan terlebih dahulu dari luka masa lalu itu

Bagi siapapun kalian yang telah mengalami kekerasan berbasis gender, saya turut berduka atas luka yang membekas dalam hati dan ingatan kalian. Saya turut berduka atas kesedihan yang darinya kalian kerap menyalahkan diri sendiri. Saya turut berduka atas ketidak berdayaan yang darinya kalian harus kehilangan jati diri.

Memang tidak mudah dan butuh waktu yang lama untuk untuk mengampuni dan melembutkan diri sendiri atas kejadian itu. Saya sendiri butuh sekitar 10 tahun untuk akhirnya menyadari dan menerima dengan lapang kenyataan yang telah terjadi pada keluarga saya.

Karena sebelum memperjuangkan keadilan gender, kita perlu memperjuangkan keadilan bagi diri kita sendiri. Memberikan pengampunan terhadap diri sendiri karena harus mengalami kejadian mengerikan seperti itu, kepada pelaku, serta korban lainnya yang harus terlibat dalam cobaan tersebut.

Baca Juga  Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Indonesia

Namun, mengampuni pelaku tidak sama dengan memaklumi pelaku dan kesalahannya. Kezaliman tetaplah kezaliman. Prinsip kezaliman inilah yang harus kita perangi dan kita jadikan bahan pijakan untuk berjuang kembali. Jangan sampai kezaliman itu terulang kembali, baik dilakukan oleh laki-laki atau perempuan.

Stigma-stigma gender yang beracun itu juga musuh kita dalam memperjuangkan keadilan gender. Baik toxic masculinity atau toxic feminity, racun-racun itu telah melukai laki-laki dan perempuan dan tatanan masyarakat secara struktural. Racun ini musuh kita sebenarnya, alih-alih pelaku atau korban racun itu.

Barangkali inilah yang dimaksud Bu Nur Rofi’ah dengan fokus pada nilai. Fokus pada value, fokus pada apa yang harus diperjuangkan dan apa yang harus diberantas, bukan siapa yang dimusuhi.

2. Penuhi dirimu dengan hikmah kebijaksanaan untuk kembali berjuang

Setelah kita menyadari apa yang harus diperjuangkan, kita akan menemukan titik balik perjuangan itu lagi dalam diri kita. Pada saat itu, kita penuhi lagi dengan nilai dan hikmah kebijaksanaan. Dengan apa? Dengan ilmu.

Untuk mempelajari sebuah ilmu, kita perlu menyadari secara penuh nilai dan tujuan baik dari ilmu itu. Setelah kita memahami prinsip dan nilai dari keadilan gender, barulah kita bisa mempelajarinya lebih dalam dengan perspektif yang lebih lurus dan bersih dari motif apa pun selain menuntut ilmu. Demikian prinsip menuntut ilmu yang baik agar menghasilkan cara pandang yang lebih luas dan dan bijak, bukan agar kita menjadi unggul dari yang lain.

Semakin dalam pengampunan kita terhadap diri sendiri dan orang lain dari luka masa lalu, cahaya kebijaksanaan itu akan terlihat dan meliputi seluruh diri kita. Kita juga akan lebih menemukan jati diri kita sendiri. Siapa kita sebenarnya, apa yang kita cari, dan nilai apa yang ingin kita hidupkan untuk diri sendiri dan masyarakat.

Baca Juga  Kenapa Superhero itu Kebanyakan Laki-Laki, Ya?

Sampai pada hikmah kebijaksanaan itu, kita akhirnya siap memperjuangkan keadilan gender dengan perspektif yang bersih dan lurus, baik untuk laki-laki dan perempuan. Tidak lagi ada sarat dendam atau amarah, sehingga kita tidak mengulangi luka yang pernah kita rasakan ke pihak lain.

Tulisan ini akhirnya saya susun untuk merangkum seluruh jawaban yang saya temui, serta barangkali bisa sebagai jalan bagi kawan-kawan pejuang keadilan gender yang merasakan hal yang sama seperti saya.

Karena dalam menuntut ilmu dan memperjuangkan keadilan, diperlukan keikhlasan dan kelapangan hati dari diri sendiri. Semoga dalam ikhtiar perjuangan keadilan gender ini, kita senantiasa diberi kekuatan dan keridaan oleh Allah Swt. Aamiin.

Bagikan
Post a Comment