f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
the holy woman

Memaknai Kembali Kesucian Perempuan dalam Novel The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz

Ini kali pertama saya membaca karya sastra Pakistan. Tentu saja, novel The Holy Woman ini, saya harap, bisa menjadi “penglaris” yang akan memantik keingintahuan kita semua, termasuk saya, untuk membaca karya-karya sastra dari belahan dunia lainnya.

Kesan yang buku ini berikan cukup menyedihkan sekaligus menyadarkan saya bahwa ternyata, ada banyak sekali tradisi aneh di dunia ini. Salah satunya adalah tradisi Syahzadi Ibadat atau Perempuan Suci, fenomena menikahkan seorang perempuan dengan kitab suci Al-Qur’an, yang menuntut pengabdian seluruh hidup terhadap keyakinannya.

Fenomena ini, ternyata, masih berlangsung di beberapa daerah di Pakistan. Menjadi adat turun-temurun di kalangan bangsawan untuk menjaga harta dan kekayaannya. Menurut keyakinan mereka, seorang putra atau anak laki-laki lah yang berhak menjadi ahli waris penuh atas kekayaan orang tua mereka. Sehingga, jika putra mereka mati, posisi tersebut dilimpahkan kepada putri perempuan mereka dengan syarat menjadi Syahzadi Ibadat.

Perempuan Suci, Sucinya Di Mana?

Zarri Bano, tokoh utama dalam novel ini merupakan perempuan terpelajar dari kalangan bangsawan, juga seorang feminis yang kerap memperjuangkan hak-hak perempuan. Ironisnya, ia terlahir dalam lingkungan yang amat patriarkis. Kemudian, saat adik laki-lakinya meninggal dunia, ia dipaksa menjadi ahli waris penggantinya, dengan menjadi seorang Perempuan Suci.

Harga yang harus dibayar Zarri untuk menjadi ahli waris adalah sifat alamiah keperempuanannya. Haram baginya untuk menikah, melirik dan mencintai laki-laki, apalagi mengandung seorang bayi dalam rahimnya. Kendatipun ia tak menginginkan seluruh tanah dan kekayaan orang tuanya, ia tak punya pilihan lain. Ia harus mengubur sifat kodrati perempuannya untuk sepanjang hari beribadah, berdakwah, dan berserah.

Seorang perempuan suci, dalam tradisi ini, diyakini sebagai seorang ulama besar yang patut mendapat keagungan, ketenaran, dan penghormatan. Karena ia akan menghabiskan seumur hidupnya untuk mempelajari ilmu agama, menghadiri berbagai konvensi muslim di seluruh dunia, dan beribadah sepanjang nafasnya.

Tradisi ini tentu bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Islam tidak mengenal adanya konsep biarawati layaknya beberapa agama lain. Islam bahkan mendukung perempuan muslimah untuk menikah. Keluarga, diyakini menjadi unit terkecil yang akan mempererat persaudaraan dan meningkatkan keimanan.

Baca Juga  Mengenal Istilah High Value Woman

Menurut dugaan saya, segelintir oknum bangsawan yang tamak itu memanfaatkan konsep Tazkiyatun nafs (pemurnian diri), dalam ajaran tasawuf Islam. Ini merupakan usaha membersihkan hati dan jiwa dari segala hal negatif, menjauhkan sifat iri dan dengki, sehingga dapat bersungguh-sungguh dalam beribadah.

Namun, tentu saja, pemahaman pemurnian diri dan kehidupan zuhud itu tidak selayaknya dibawa terlalu jauh untuk memuluskan kepentingan pribadi. Yang diuntungkan dari tradisi ini, tentu saja para lelaki, yang terlampau mencintai hartanya dibanding menghargai kemanusiaan. Mereka tidak rela jika hartanya itu diwariskan kepada selain keluarga murninya, sekalipun suami putri mereka sendiri.

Proses pengabdian dan pemurnian diri seharusnya diikuti dengan kemauan dan keikhlasan orang yang akan mengabdi. Ia bukan syariat–aturan–yang mau tidak mau harus dilaksanakan. Islam, bahkan tidak memerintahkan seorang perempuan untuk menolak fitrahnya, apalagi menikah dengan Al-Qur’an. Hidup seimbang dengan mengusahakan kebaikan dunia dan  akhirat merupakan anjuran utama dalam Islam.

Fenomena Syahzadi Ibadat atau Perempuan Suci ini seakan menyangkal kehidupan dunia dan membuat saya terus bertanya, kesucian seperti apa yang para penggagasnya maksud? Karakteristik suci seperti apa yang mereka tetapkan? Paksaan memakai burqa (gamis yang menutup seluruh bagian tubuh kecuali mata), larangan menikah, dan tuntutan menikam identitas diri sepertinya lebih pantas disebut sebagai penindasan ketimbang kesucian.

Saat kesucian disamakan dengan meniadakan pilihan, saat itu lah seorang manusia suci sebenarnya berhenti menjadi manusia merdeka. Betapa biadab, orang-orang yang menjadikan kesucian agama layaknya bungkus kemasan makanan busuk.

Harta, Tahta, Menindas Wanita

Salah satu kekhawatiran yang dialami oleh perempuan kebanyakan saat menikahi lelaki kaya adalah menghilangnya kekuatan mereka. Entah karena harta atau kedudukannya, perempuan amat rentan ketika berada dalam kondisi yang tidak setara. Tidak setara untuk mendapat kesempatan menyampaikan pendapatnya, mengutarakan perasaannya, dan memutuskan pilihannya.

Dalam novel ini misalnya, saat Zarri diputuskan untuk menjadi perempuan suci, pendapat ibu dan adik perempuannya tidak digubris oleh ayah dan kakeknya sama sekali. Seakan-akan, takdir anggota keluarga perempuan dalam keluarga hanyalah menurut atas semua keputusan laki-laki. Padahal, dalam mempertimbangkan tanggung jawab dan konsekuensi menjadi perempuan suci, pendapat dan perasaan anggota keluarga perempuan lainnya sangat dibutuhkan.

Baca Juga  Perdamaian Dunia : Perempuan Harus Ambil Peran

Sebagai seorang ibu, tak terhitung berapa kali Syahzada membujuk suami dan ayah mertuanya untuk membatalkan rencana Syahzadi Ibadat untuk Zarri. Ia tak sanggup melihat anaknya tidak menikah seumur hidup dan terus berada dalam burqa hitam sepanjang hari. Melihat anaknya tak akan menimang anak dari rahimnya dan merasakan indahnya cinta kemudian hari.

Sayangnya, saat Syahzada mengutarakan pendapatnya, ia justru mendapat ancaman talak tiga dari sang suami. Ia didoktrin untuk mendukung segala keputusan suami sebab laki-lakilah kepala rumah tangga. Belum lagi Ruby, adik Zarri yang kelak justru dinikahkan dengan tunangan kakaknya, Sikander. Tanpa memikirkan perasaan kedua kakak-beradik itu.

Pokoknya, dalam novel ini, semua berjalan atas kehendak laki-laki, semau-maunya laki-laki.

Orang Tua Kolot, Bikin Semua Repot

Selain fenomena perempuan suci yang menjadi isu utama dalam novel ini, peran orang tua kolot juga menjadi hal yang menarik untuk disoroti. Setidaknya, ada dua kisah cinta yang berlangsung sepanjang alur novel ini. Jika diperhatikan, empat orang muda-mudi pakistan yang sedang kasmaran dalam buku ini memiliki kemiripan, sama-sama gagal menikah karena ulah orang tua mereka.

Cinta Zarri dengan Sikander, harus dikubur hanya karena keinginan konyol Ayahnya yang menuntutnya menjadi perempuan suci. Kasih Firdaus dan Khawar, pun harus dilenyapkan karena dendam masa lalu orang tua mereka. Tampaknya, usaha para orang tua kolot itu untuk menjaga izzat (kehormatan) keluarga, hanyalah dalih semata untuk menyuburkan ego mereka.

Kehormatan keluarga mana yang mereka perjuangkan, ketika anak-anak mereka justru merana, terkekang oleh keputusan sepihak yang mereka tetapkan. Para orang tua yang mengambil bagian terlalu besar dalam hidup anak mereka, memandang anak mereka sebatas pelengkap hidup mereka saja. Tidak sebagai manusia yang memiliki pilihan dan jalan hidup sendiri.

Hidup seorang anak dalam keluarga bangsawan yang tiran, sepertinya jauh lebih buruk dari kehidupan seorang anak dari keluarga tukang ikan yang sederhana.

Baca Juga  Alpha Female, Profil Perempuan Inspiratif

Saya tak sanggup membayangkan kondisi psikologis Zarri, yang dipaksa oleh ayah, kakek, dan pamannya untuk menjadi perempuan suci, saat ia telah memutuskan untuk bertunangan dengan pujaan hatinya. Ia juga harus mengubur minatnya di bidang fashion dan dance. Mengubur seluruh bagian dari hidupnya dan menjadi orang yang sepenuhnya asing bagi dirinya sendiri.

Kemudian setelah lima tahun, saat Zarri sudah mulai terbiasa dengan kehidupan sucinya yang baru, ia justru dipaksa menikah dan kembali diharapkan menjadi wanita normal. Zarri, dipaksa untuk menyangkal identitasnya berkali-kali. Orang tua macam apa mereka ini? Apakah mereka pikir anak mereka itu lilin mainan yang bisa dibentuk sesuka hati?

Begitupun orang tua Khawar, yang tidak memberikan izin untuk anaknya menikahi perempuan yang dicintainya, Firdaus. Hal itu dilatarbelakangi oleh rasa dendamnya kepada Fatima, Ibu Firdaus, yang pernah menolak lamaran suaminya. Ibu Khawar merasa kerap tersaingi dan bersumpah akan membencinya seumur hidupnya.

Sebab tak mendapat izin menikah, Khawar pun minggat dari rumah meninggalkan ibunya selama satu tahun. Tindakan Khawar dapat dimaklumi, seorang ibu yang diharapkan memiliki sifat kedewasaan justru masih kekanak-kanakan dengan menyimpan dendam puluhan tahun lamanya. Padahal, tidak ada alasan untuk menolak Firdaus karena ia adalah perempuan yang cantik dan terpelajar.

Permasalahan semacam di atas sebenarnya tidak akan terjadi jika orang tua menyadari porsi dan perannya. Menjadi orang tua seharusnya bukan menjadi majikan yang mengatur kehidupan bawahannya. Orang tua, idealnya, menjadi penunjang kebahagiaan sang anak. Siap punya anak, berarti juga siap mendahulukan kebahagiaan anak dibanding kebahagiaan diri sendiri.

Jadi, tolong, jangan punya anak kalau cuma ingin dijadikan alat melanggengkan kekuasaan dan kekayaan. Anakmu itu, kelak akan merasa bahwa harga dirinya hanya seharga lembaran kertas atau sebidang tanah (Hanya jika sang anak punya harga diri).

Bagikan
Post a Comment