f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kehamilan tidak direncanakan

Memahami Ibu dengan Kehamilan yang Tidak Direncanakan

Pernahkah Rahmania berjumpa dengan ibu hamil yang terlihat seperti malu dengan kehamilannya? Bisa jadi ibu tersebut sedang mengalami KTD (Kehamilan yang Tidak Direncanakan). Biasanya sikap menutupi terlihat dengan keengganan saat ditanya soal kehamilannya, atau sengaja memakai baju yang ditujukan untuk menutupi perut besar ibu hamil.

Sayangnya, pada ibu hamil yang terkesan menutupi kehamilannya, orang-orang di sekitar si ibu justru akan kepo. Biasanya, mereka ingin tahu banget, kenapa sih kok si ibu terkesan nggak mensyukuri kehamilannya? Kenapa sih, punya suami, kok malu dengan kehamilannya? Jangan-jangan begini, jangan-jangan begitu. Lalu bergulirlah aneka narasi, asumsi, hingga opini dari orang-orang di sekitar sang ibu. Padahal, perlukah itu?

Saya pernah mengalami hal yang saya sebutkan di atas. Pada saat itu, saya hamil untuk yang kedua kali dan merasa belum siap dengan kehamilan saya. Saat itu saya merasa bahwa anak pertama saya belum siap untuk menjadi kakak. Haknya untuk minum ASI selama dua tahun saja belum terpenuhi. Saya pun mengalami ketidaknyamanan terhadap kehamilan kedua saya. Rasa bersalah yang begitu besar terhadap anak pertama membuat saya semakin kesulitan untuk menikmati kehamilan kedua.

Tak hanya perasaan belum siap dan merasa bersalah yang menghantui. Saat itu, saya juga mencemaskan persalinan yang akan saya hadapi nantinya. Maklumlah, persalinan pertama saya tak bisa dikenang sebagai momen indah yang bebas trauma. Tapi segala rasa tak nyaman itu kurang bisa dipahami oleh beberapa orang di sekitar saya.

Hal tersebut, sebenarnya wajar dialami oleh ibu mana pun. Alasan mengapa seorang ibu tak siap dengan kehamilannya, padahal bukan kehamilan pertama bisa sangat beragam. Ada yang biasa-biasa saja seperti alasan saya di atas. Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD) memang tak selalu berarti hamil di luar pernikahan. KTD bisa terjadi juga dalam sebuah pernikahan. Bisa juga, ibu punya alasan yang lebih berat seperti masalah finansial yang tak stabil, KDRT yang tertutupi, trauma pasca persalinan, korban kejahatan seksual, dan lain-lain.

Baca Juga  Mewujudkan Ketahanan Keluarga di Masa Pandemi

Sayangnya, alasan-alasan dan perasaan ketidaksiapan ibu, biasanya tak tervalidasi dengan baik. Lingkup sosial di sekitar ibu acapkali mendesak agar ibu lekas bisa menerima kehamilannya. “Harusnya senang, dong. Ini kan anugerah.” atau yang kekinian, dengan menautkan pada kesadaran soal kesehatan mental: “Hati-hati anakmu bisa trauma sejak dalam kandungan, lho.” Kalimat semacam itulah yang biasanya terucap. Tidak keliru sih, tapi apakah perlu?

Terkadang, bahkan bisa lebih parah lagi. Si ibu dipaksa untuk bisa bersyukur dengan dipaksa melihat kondisi lain di luar dirinya. “Bersyukurlah, lihat si anu, sudah sekian tahun belum diberi momongan.” Sepertinya ucapan-ucapan itu wajar, ya? Saking seringnya kita mendengar di luar sana. Bahkan, bisa jadi, kita pun pernah mengucapkannya. Padahal bisa jadi, buat si ibu yang kondisi hormonalnya tidak stabil, kalimat itu justru sangat menyakitkan.

Pemaksaan akan penerimaan kehamilan sebenarnya dapat menjadi momok yang menyeramkan. Apalagi jika rasa bersalah dari kondisi tertentu menghantui si ibu. Bukannya mempermudah ibu untuk menerima kehamilannya, pemaksaan dari lingkungan hanya akan membuatnya semakin terpuruk dan memperlama proses penerimaan kehamilannya. Hal itu bukan hanya saya saja yang mengalami. Dalam forum dan komunitas pendukung ibu dan anak, Rahmania dapat dengan mudah menemukan bagaimana seorang ibu hamil merasa tersiksa akibat ditekan oleh lingkungannya.

Sebenarnya tanpa dipaksa, nurani ibu untuk melindungi janinnya biasanya muncul, kok. Meski berkesan tidak suka jika kehamilannya dibahas, toh kebanyakan ibu tetap berusaha menjaga kesehatan janinnya. Keengganan ibu untuk membahas kehamilannya, kesiapan, dan segala detail terkait perasaannya merupakan hal biasa. Mungkin mereka yang mendesak para ibu itu merasa memiliki kepedulian terhadap janin yang ibunya terlihat cuek. Mungkin juga rasa empati yang besar membuat seseorang tak sadar telah menghakimi sang ibu alih-alih menunjukkan dukungan yang lebih hangat.

Baca Juga  Menanamkan Jiwa Tauhid pada Anak Sejak Belia

Cara memberi dukungan untuk ibu yang bersikap tak acuh sebenarnya tidak sulit. Hindari topik yang membuat raut muka si ibu menjadi masam. Bukankah terhadap janin yang belum terlihat saja, kita mampu mengasihani? Maka, seharusnya lebih mudah juga untuk memahami ibu yang mimik mukanya jelas terlihat. Sangat tak bijak untuk mendesak seorang ibu hamil menjawab mengapa belum menerima kehamilan atau mengapa perutnya ditutupi. Ingin tahu, ya, boleh saja, tapi jangan sampai melanggar batasannya.

Jika Ibu tersebut merasa nyaman, tentu ia akan bercerita pada Anda. Selain menghindari topik kehamilan, Anda juga bisa menunjukkan sikap peduli yang lebih konkrit. Misalnya dengan bersikap ramah dan tak curi-curi pandang ke arah perut melulu. Apalagi jika kita berteman dengan si ibu. Kita bisa memberi dukungan dalam bentuk perhatian kecil, seperti menawarkan makan atau minum, menanyakan kabarnya, mengajaknya bercerita tentang hal yang disukainya, dan hal-hal sederhana lain yang dapat menghangatkan hatinya.

Hamil memang anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun, faktanya, untuk menerima anugerah pun manusia bisa saja mengalami kesulitan. Marilah kita berlomba-lomba untuk menjadi manusia yang mengedepankan empati dan simpati. Terlebih jika Rahmania adalah seorang perempuan. Siapa lagi yang mampu memahami perempuan jika tak dimulai dari kaumnya terlebih dahulu.

Bagikan
Post a Comment