f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
sekolah

Memahami Anak yang Pamit ke Sekolah Tetapi Tidak Pernah Sampai

Sosial media semakin bising dengan pemberitaan manusia yang mulai berbuat di luar nalar. Jika warga internet sudah bertutur; ‘dunia lagi kenapa sih?’, atau sudah merumuskan kalimat; ‘sebenar-benar tanda akhir zaman’, barangkali itu memang tanda bahwa perbuatan yang dilakukan telah melampaui batas. Sorot berita yang tak pandang umur dan profesi, terkadang membuat tercengang karena tak terbayang dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya memerangi perbuatan demikian. Banyak berita-berita yang naik ke permukaan, yang beberapa menambah sederet kasus kelam dunia pendidikan; tak hanya pendidikan sekolah, justru yang utama pendidikan keluarga.

Saya masih ingat betapa masa akhir perkuliahan saya sebagai mahasiswa pendidikan, pernah sedemikian dilema disebabkan berita-berita tentang kondisi pelajar masa kini. Ditambah pengalaman ‘berkesan’ saat praktik lapangan terbimbing; membuat saya terus mencari-cari peluang atau pekerjaan yang bisa dilakukan anak pendidikan selain menjadi guru sekolah.

Pengabdian seorang guru tidak bisa dianggap remeh; melewati pertentangan soal pilihan sedari awal, bertempur dengan banyak hal yang mengikis idealismenya pelan-pelan saat dalam perjalanan; dan harus tetap tabah mengabdi tanpa alpha mengurusi keluarga sendiri.

Tiga bulan awal setelah lulus, saya ikuti saran seorang teman; menjadi guru les–yang soal bayaran, katanya lebih setimpal. Pernah dalam satu hari, saya membimbing anak yang lokasinya hampir-hampir seperti menyeberangi provinsi, lanjut di ujung barat kabupaten tempat saya tinggal, kemudian ke ujung timur petang harinya. Dalam perjalanan itu saya harus transit makan atau pun sholat di masjid, sekaligus menunggu pergantian waktu. Tidak masalah bukan, asal bayaran setimpal. Saya terus ingat apa yang teman saya katakan.

Namun demikian, karena menjadi guru ini adalah pilihan saya sendiri, kehilangan justru saya rasakan kala bayaran sudah di tangan. Saya menilik ke dalam diri sendiri; nampaknya bukan ini yang utama saya cari. Akhirnya jasad ini tergerak untuk mencari informasi lowongan pekerjaan lagi; dan qodarullah, saya diberi kesempatan untuk mengajar Matematika di pondok pesantren selama dua tahun; yang tempatnya di luar radar saya sebelumnya. Meski saya harus berkendara 44 kilometer total untuk pulang pergi, setiap hari (lebih jika harus mengajar atau piket di unit SMA Putri), barangkali harus begitu dulu cara Allah memahamkan saya bahwa tidak semua pelajar negeri ini punya masa depan suram sebagaimana yang ditakutkan. Masih ada jutaan anak sesungguhnya, yang berjibaku serius dengan ilmu, berjuang melayakkan diri untuk menegakkan kebenaran. Sibuk mengkaji kalimat-Nya, mengesampingkan segala macam kesenangan untuk menjadi generasi pelurus di masa depan.

Baca Juga  Perangi Corona dengan Welas Asih

Meski begitu, saya tidak sesali keputus-asaan saya tempo dulu. Saya syukuri justru, karena sedikit banyak, himpunan kisah yang mengayakan sudut pandang saya bertambah. Tentang kisah seorang siswa yang saya kunjungi di ujung barat kabupaten tempat saya tinggal, yang saya temui sehabis siswa di perbatasan provinsi, adalah yang paling berkesan sejauh ini.

Telah dua tahun lebih sejak Ibu siswa tersebut bercerita dengan lapang dada tentang hal yang menimpa sang anak; kepiluan raut muka dan getaran suaranya masih bisa saya ingat.

Yoyo (bukan nama sebenarnya), adalah anak laki-laki yang menyenangkan dalam pandangan saya pertama kali. Renyah saat diajak berinteraksi, serta antusias saat diajak belajar dan diskusi. Di pertemuan les yang terakhir itu (saya pun lupa bagaimana muasalnya), Sang Ibu bercerita perihal kepindahan sekolah sang anak.

Masuk di sekolah favorit se kecamatan tempat ia tinggal– bahkan termasuk salah satu yang unggul di tingkat kabupaten; Yoyo pun bercita-cita masuk ke sana awalnya, tak pernah terfikirkan akan berhenti di tengah jalan. Menjadi pendiam setelah sebelumnya selalu antusias bercerita soal pengalaman di sekolah, adalah perubahan yang terlalu kontras untuk tidak disadari Sang Ibu. Meski telah berupaya, tak ada sepenggal kisah pun yang Yoyo ceritakan. Namun demikian, Sang Ibu mengaku Yoyo tetap bersikap baik kepadanya. Hanya sisi antusiasnya untuk berbagi cerita yang musnah, meski raut murung anak laki-laki itu pun sebenarnya kerap terlihat.

Sang Ibu tetap sabar menunggu sang anak terbuka. Hingga kemudian, terdapat guru yang datang ke rumah, melapor jika Yoyo telah sering absen dalam kurun waktu tertentu. Sontak Sang Ibu kaget.

“Saya bilang ke gurunya… ‘nggak mungkin, Bu… saya sendiri yang mengantar Yoyo, menyaksikan dia sampai ke gerbang sekolah setiap pagi’.” Sang Ibu mengulangi perkataannya pada waktu itu, “Saya kenal anak saya baik, memang tidak suka kalau aneh-aneh, dan mungkin sisi itu yang temannya nggak suka. Saya ungkapin kekecewaan saya ke sekolah. Saya titipkan anak saya, besar harapan, tetapi malah begitu.”  

Baca Juga  Teknologi Teleporter dalam Al-Qur’an

Setelah kunjungan tersebut, negosiasi penuh dilema dan air mata berlangsung antara Yoyo, Sang Ibu, dan pihak sekolah. Yoyo bersikeras untuk tidak ingin kembali ke sekolah itu lagi, pun tidak mau membagi apa yang sebetulnya terjadi barang sedikit. Sempat mencetuskan ingin ikut Nenek di luar pulau, karena Sang Ibu pernah menawarkan demikian, bahkan telah mengemasi barang-barang ke dalam koper. Pun pihak sekolah tetap berupaya mempertahankan anak didiknya.

Pada hari yang telah cukup tenang, Yoyo diajak Sang Ibu mengunjungi sebuah sekolah swasta yang jaraknya lebih jauh jika dibanding sekolah sebelumnya, berharap anaknya tetap tinggal bersamanya dan segera menemukan tempat baru untuk bersekolah lagi. Secara administrasi, posisi Yoyo yang telah di akhir semester kelas 8 dan tidak sedang dalam masa pergantian tahun ajaran, agak sulit bagi sekolah yang ditinggalkan maupun yang menerima. Namun Sang Ibu bilang, meski harus mengulang kelas tidak masalah. Setelah bersepakat dengan berbagai pihak, termasuk Yoyo, pindah lah ia di sekolah tersebut meski pada beberapa bulan awal, status Yoyo masih tercantum sebagai siswa di sekolah sebelumnya.

“Lega adalah ketika dia mulai cerita soal pengalamannya di sekolah lagi. Bahkan dia minta, ‘Mama aku mau celananya dipotong.’, karena di sana kan celana sekolahnya pendek, Mbak,” jelas Ibu Yoyo dengan nada tenang di akhir ceritanya, “Dan sampai sekarang, saya nggak tahu apa yang sebetulnya terjadi sama anak saya.”

Tiga hal yang membuat saya salut pada Ibu Yoyo; tidak buru-buru melayangkan pertanyaan yang menekan, bahkan tak memaksa sedikit pun agar anak terbuka; menyadari ada banyak kemungkinan yang dapat terjadi, tidak melulu soal apakah karena anak nakal atau tidak; mementingkan kenyamanan anak alih-alih mengutamakan ambisi bertahan di sekolah favorit.

Baca Juga  Sekisah Duka sekolah Daring

Prasangka buruk sering kali terlontar saat anak memiliki masalah perilaku. Sebab dari masalah tersebut lebih penting untuk dianalisa, daripada sibuk mengeluarkan justifikasi, di mana sinergi antara orang tua dan sekolah dibutuhkan. Pada masalah anak yang pamit ke sekolah tetapi tidak pernah sampai, atau bahkan tidak mau pergi ke sekolah sama sekali, boleh jadi tidak sesederhana mengatakan bahwa anak tersebut malas. Jika perilaku tersebut tergolong school phobia, bukan hal aneh sebetulnya karena anak yang mengalami hal tersebut tidak sedikit.

Faktor-faktor yang biasa menimbulkan school phobia antara lain; kenyamanan dan keamanan yang seharusnya terjamin di lingkungan sekolah tidak dirasakan–dan ini pun dapat terjadi karena banyak sebab seperti sistem sekolah, guru, dan teman sebaya; interaksi sosial antarsiswa; dan interaksi antara anak dan orang tua–apakah orang tua sering membanding-bandingkan prestasi atau memberikan tekanan soal hasil akademis, dan lain sebagainya.

Setiap pihak memiliki tugas dan peran masing-masing, di mana kesadaran untuk saling memberikan rasa nyaman dan aman harus dimiliki setiap orang tua dan pendidik. Di sekolah, anak tidak hanya bertemu dengan guru, tetapi juga teman sebaya. Mereka saling berinteraksi, dan kerap kali interaksi ini lah yang paling besar memberikan pengaruh secara psikis dan perilaku. Apabila masing-masing telah mengalami pendidikan dan pola asuh yang baik, tidak ada rasa khawatir, meski kondisi ideal tersebut sulit berlangsung dengan latar belakang masyarakat yang beragam. Namun perubahan-perubahan besar selalu dimulai dari hal-hal kecil. Tidak ada yang dapat kita lakukan kecuali dengan memulai membangkitkan kesadaran tersebut dari diri sendiri.

Bagikan
Post a Comment