f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
lagu tidur

Lagu Tidur 2

Ada hari di mana kita begitu dekat dengan doa, harap-harap cemas menunggu jawaban. Tapi, terkadang kita lupa. Bahwa tidak ada, adalah jawaban.

Aku habiskan malam terakhir dengan berdiri di depan cermin. Memandang lekat-lekat perempuan yang tengah tersenyum kecil itu. Sembari berkata, teduh nian mata yang sedari tadi menari ini. Bercengkerama ringan pada diri sendiri tentang perjalanan panjang yang belum jua menemui tujuannya. Seperti cahaya, manusia yang terang akan meredup juga, begitupun sebaliknya. Manusia yang redup akan terang juga. Wahai Pukat, bila suatu hari kamu harus pergi. Semoga kamu tidak lupa jalan pulang yang sesungguhnya, pada dirimu sendiri. Suara Ibuk berbisik pelan melalui hati. Pada akhirnya, aku harus segera beranjak merebahkan tubuh dan terlelap. Untuk menjemput pagi beserta pulangnya. Mengikuti Buzz Lightyer, menuju tak terbatas dan melampauinya.

***

Terminal Jombor, Yogyakarta, 26 Agustus 2024.

Udara pagi yang seharusnya suci dari nafas manusia-manusia munafik. Nahasnya kali ini,  harus disesaki dengan bentuk yang sedikit berbeda. Itu adalah knalpot-knalpot  bus yang sudah hidup sejak subuh tadi. Pagi-pagi sekali, riuh klakson juga turut meramaikan setiap sudut terminal, mendebarkan ruh yang sebetulnya masih sempoyongan untuk berebut kursi dengan pemudik lain. Bersama hati yang tenang dan ucap syukur dua kali lipatnya, aku duduk pada posisi cukup strategis, amat nyaman. Ajang bersandar, sebelum akhirnya tertidur lelap karena tiupan nyenyak perjalanan menuju pulang. Aku memandang layar telepon, kemudian bertukar kabar dengan keluarga di rumah. Meninggalkan kabar bahwa aku sedang dalam perjalanan sebagai perantau.

Aku menghela nafas lega. Sembari menunggu tiupan angin mana yang akan menidurkanku. Aku termenung memperhatikan jalan yang lengang, kehidupan-kehidupan yang runyam, pertemuan juga perpisahan yang tidak bisa dielak. Rasa-rasanya aku ingin melingkarkan peluk pada diriku sendiri, menyadarkannya bahwa ada pintu-pintu kecil dalam kepala seseorang. Celah ternyaman menyandarkan penat, Tuhan menjadikannya teduh. Agar mampu berlindung dari manusia yang gemuruh. Dan di dalam kepalamu, itu ada, ada itu. Kaki tangan Tuhan yang mengiringi hidupmu.

Langit menjadi biru sekali, seperti tengah tersenyum kepadaku sambil berucap, selamat pulang Pukat, hati-hati di jalan. Ah tipuan belaka, mana ada awan seperti itu. Yang dengan gagahnya menjadi ramah pada kehidupan yang melelahkan.

Tapi, lagi dan lagi, aku selalu jatuh cinta untuk kesekian kalinya pada sebuah perjalanan. Sesekali, perjalanan mencoba membuatmu mawas, untuk kemudian memperhatikan sekitar, kamu dapati tiang listrik yang seakan menunduk. Berupaya memperlihatkan cinta-cinta yang tersembunyi  dengan harapan, ketika malam terangnya akan selalu menyala. Sesekali lagi, perjalanan mencoba membawamu terbang pada ingatan yang menyenangkan, apalagi perjalanan pulang ke rumah. Setibanya nanti, akan kamu dapati rumah yang ramai dengan cinta serta kasih sayangnya yang betul-betul memenuhi seisi rumah. Kamu jumpai kakak juga adik, kamu jumpai lagi abah juga Ibuk, diiringi pernyataan dan pertanyaan khas dari orang tua. Meski sudah berlalu beberapa tahun, nampaknya perasaan akan ingatan itu masih sangat jelas untuk dinikmati kembali.

Baca Juga  Stigma Covid-19 yang Membunuhnya

Aku rebahkan kembali tubuhku pada kursi bus yang sudah menanti punggung. Aku biarkan juga mataku turut terlelap, lalu satu dua tiga empat lima enam dan aku berkelana kembali dalam mimpi. Tenggelam pada imajinasi hidup yang aku ciptakan sendiri. Berlari ke sana kemari hanya untuk menjumpai pujaan hati. Berucap salam, menciumi tangan renta yang merawatku dalam doa. Sambil menopang pundak, dada yang semakin sesak, beriring hembusan nafas yang kian berat dan tidak beraturan. Aku berucap lirih, Ibuk aku pulang.

***

Aku terbangun cukup kelimpungan mendapati Jepara dan hiruk pikuknya. Lalu aku berkabar dengan sanak saudara, Aku sampai, jemputlah sekarang, jangan biarkan aku menunggu dengan penat dan dahaga yang menggantung di tenggorokan.” Ucapku di telepon pada Nurmas. Beberapa menit kemudian, Nurmas tiba dan melambai-lambai tinggi sambil berteriak, “Yoeboeee hehe, Mbaaaak, sebelah sini”. Aku tertawa kecil mendengar teriakan Nurmas. Di atas motor, kami tidak berbincang lama. Sekedar bertanya, ada cerita apa?. Aku perhatikan lekat-lekat Nurmas yang santai memecah keramaian, membawa motor melaju seperti terbang. Nampaknya si kecil satu ini sudah tumbuh lebih gagah dari sebelumnya persis sematan pada dirinya, si cerdik.

Motor biru yang kami kendarai berhenti tepat di depan rumah. Gerbang yang dulunya hanya memiliki satu corak warna, kini memiliki perpaduan besi yang menjadikannya sedikit lebih tertutup dan rapi. Tidak ada yang lebih murni dari aroma rumah, senantiasa menyeruak tiap kali jeda perjalanan hidup seorang anak manusia. Setelah puluhan hari dipukul rata oleh kegagalan, dilucuti oleh hinaan, dan diusir jauh oleh penerimaan. Aku dapati lagi diriku yang berdiri cukup kaku untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Aku menyadari beberapa hal, bahwa untuk tahun-tahun yang lalu, ternyata kehilangan telah merubah hampir seluruh hidupku, bukan hanya hidupku, melainkan rumahku. Batinku merintih pedih, harap-harap cemas untuk tahun berikutnya. Aku menggenggam erat-erat tanganku sendiri, menguatkan getar kaki yang sedari tadi menolak melangkah. Diam-diam aku berdoa untuk rindu yang tidak bisa aku jawab. Tapi, rumah tetaplah rumah. Hendak seribut apapun itu. Hendak seburuk apapun itu, ia tetaplah rumah. Yang melahirkan ribuan cinta dan kasih.

Siapa yang tetap bisa mencintai gelapmu selain dirimu? Siapa yang tetap bisa mencintai rapuhmu selain dirimu? Yang mempersilahkanmu menjadi anak kecil dan bermanja ria dari dewasa yang pura-pura. Yang tidak akan membiarkanmu terlunta-lunta oleh kegagalan dunia dan tidak akan membiarkanmu menikmati sedih sendiri. Dan yang akan merawatmu penuh dengan doa. Maka rumah dan pulang adalah jawaban paling tepat. Abah, Kak Eliana, Kak Amelia, Kak Burlian, Nurmas dan Soke. Enam kelopak cinta yang sudah menunggu.

Baca Juga  Perempuan dan Bayangan KDRT

Maka aku putuskan untuk tertatih-tatih melangkah, jiwa yang sempat sempoyongan itu kini dengan bahagianya menikmati wajah baru rumah kecintaannya. Ternyata semua tengah berbenah, bersih-bersih dengan seksama pada setiap sudut rumah. Membuang sisa-sisa kenangan usang yang menyakitkan, membawa pergi jauh-jauh dendam dan kepedihan. Lampu-lampu yang mulanya redup, kini sudah terang kembali. Karena Abah ganti dengan yang baru. Bahkan gorden-gorden jendela sudah kembali dengan jati dirinya, bersih dan memesonakan satu ruangan. Ruang tamu atau mungkin seisi rumah sudah siap untuk disesaki dengan canda tawa dan pelukan.

Nikmatnya kebersamaan adalah ketika tidak lagi menyadari bahwa waktu ternyata sudah cepat berlari. Tidak mudah dan nyaris aneh, tapi begitulah cara cinta bekerja. Ramainya rumah hari itu, adalah sumbu hangat yang kesekian kali hidup. Ditemani ikan teri juga satu teko teh, hidangan raya yang lebih dari raya. Pada malam yang rindang, yang sesak oleh rasa syukur.

Di tengah-tengah perbincangan Soke berceletuk ringan, “ternyata, besok adalah tahun ke-3”. Belum memahami apa maksud Soke, tapi kami semua diam seketika, beradu tatap satu sama lain. Mencoba berbicara dengan mata, sebagai isyarat murni dari surgawi. Untuk kesekian kali, rindu yang tidak terbendung itu mengetuk. Meronta-ronta dipersilahkan masuk, dan mengacak-acak keheningan. Semua diam sejenak, menelaah kembali apa yang sebenarnya sudah terjadi dan apa yang tengah mereka hadapi. Yang jelas, manusia-manusia itu tidak tahu harus menjawab rindu dengan apa. Harus berdamai yang bagaimana. Hingga pada akhirnya hanya menyisakan isak tangis dan dada yang penuh. Tidak ada kupu-kupu beterbangan dalam perut. Apalagi rona merah jambu pada masing-masing pipi.

Kami tersenyum getir, dan kembali pada perjamuan meja makan.

***

Dengan tangan terkepal, pagi-pagi sekali Pukat beranjak pergi. Sedang Abah, Kak Eliana, Kak Amelia, Kak Burlian, Nurmas dan Soke di rumah saja. Menikmati pagi yang biasa, ada yang menyiapkan makan, masih merapikan tempat tidur, beranjak menuju kamar mandi, juga Abah yang tengah menyisir rambut Ibuk. Memperhatikan setiap helai uban yang dulunya pernah hitam, tidak cukup bagi Abah untuk memperhatikan satu menit, karena perlu bertahun-tahun untuk memperjuangkannya, menjadikannya utuh sebagai pendamping hidup. Itulah mengapa setiap helai tidak bisa dinilai oleh apapun. Cantik nian cintaku satu ini. barangkali seperti itu batin Abah tiap kali mendapati Ibuk telah menjadi miliknya.

Mari kita lihat Pukat. Betul adanya, Pukat pergi. Barangkali menuju ramainya pasar untuk membeli perbekalan rumah, barangkali mencari kesejukan hati, atau barangkali menjumpai sang kekasih yang tengah terbaring tiada bersuara di antara tanah dan rerumputan. Harap-harap cemas Pukat pada hari Sabtu yang baik. Yang akan menguap menjadi tempat tidur, nyaman untuk burung-burung cantik, dan kembali menghampiri dalam mimpi. Meski daun telinga gatal bermiang, meski pedih menggigit kulit, Ia tak peduli, asal bisa berjumpa, (satu lagi) meski dalam mimpi.

Baca Juga  Toxic Parents: You’re Not Alone

Tidak ada yang tahu atas apa yang Pukat perbuat pagi-pagi itu, tapi berdasarkan kabar langit, Pukat sekedar berkeliling dan menikmati sejuk pagi. Tiba-tiba saja Pukat sudah di rumah, mendapati keluarganya tengah berkumpul dan menikmati sarapan. Pukat hanya berdiri, tidak berucap apapun, tidak mendengar apapun, meski sudah diketuk berkali-kali dengan panggilan namanya.  Dengan hati yang tak gentar, panas yang menyesakkan dada hingga tenggorokan, sebab hati yang nanar itu terharu bukan main. Pukat menyadari kekalahan-kekalannya, pedih sekali perasaan Pukat menatap harapan keluarganya. Tiada terbendung sedih Pukat kali ini, bahkan bulir air mata sudah siap memenuhi wajahnya. Ia sekali lagi terperangkap dalam kekosongan yang menariknya kembali.

Tidak bisa lagi, Pukat harus merelakan tangisan itu berlari-lari, menuruni kantung mata dan pipi. Membiarkan Pukat terlena sejenak dalam kesedihan, kepedihan, kekalahan, kekecewaan, hingga keputusasaan. Sembari menyekanya berulang kali, Pukat berdoa dengan sesenggukan. Sampai-sampai basah kuyup doa Pukat dibuatnya. Satu dua tiga tangisan mengantarkan Pukat pada baik-baik saja, seolah-olah memeluknya. Hingga akhirnya, Pukat harus benar-benar merengguk ikhlas dan penerimaan diam-diam.

Ia terisak dalam waktu yang cukup lama, Abah, Kak Eliana, Kak Amelia, Kak Burlian, Nurmas juga Soke mulai terdesak juga oleh perasaan sama persisnya dengan Pukat. Maka, sudah bisa dibayangkan bagaimana sesak dan bergemuruhnya satu rumah itu. Gemetar sendi dan tulang-tulangnya, mengerat peluh dingin dari segenap rongga bulunya. Belum sampai meluap-luap Pukat akhirnya berucap, bahwa Ia rindu pulang ke rumah dan memanggil Ibuk. Tidak mengapa bila belum ada yang bersahut, asal kebiasaan itu bisa kembali dimiliki Pukat. Hanya itu, amat sederhana namun sangat tidak mungkin. Ia menyadari, bahwa selama ini Pukat diayunbuaikan dan dilengah-lengahkan oleh kesenangan semata, keikhlasan yang tidak nampak aslinya. Pukat terduduk lesu, meratapi kepedihan kesekian kalinya.

Lirih Pukat mulai bersuara, Ibuk, Ibuk, dan Ibuk.

Ibuk, maaf kami terlambat menyadari bahwa selama ini Ibuk kepayahan menjalani hidup.

Sekali lagi, Pukat memanggil sebutan itu, Ibuk. Semuanya hening, tersisa remahan rindu untuk kehidupan yang ke-3 ini.

*Adapun nama-nama tokoh diambil dari novel-novel karangan Tere Liye.

Bagikan
Post a Comment