Site icon Inspirasi Muslimah

Kuliner Ramadan dan Kualitas Puasa Kita

kuliner ramadan

Tak lama lagi bulan Ramadan tiba. Suasana khas Ramadan di kampung saya tentu akan kembali lagi terasa. Sejak pagi sampai larut, kampung saya bagai kampung surga. Ya, pagi menjelang sahur, kami, orang-orang kampung dibangunkan oleh suara tarhim dari corong masjid.

Usai subuh, kajian keagamaan digelar di masjid, musala dan majelis taklim. Orang-orang kampung berduyun-duyun menuju majelis ilmu. Anak-anakpun begitu riuh ikut memeriahkan hari-hari di bulan suci. Mereka ada yang membuat mainan baru. Juga bermain petasan.

Bila sore menjelang, begitu banyak orang-orang berjualan berbagai menu minuman dan makanan. Orang-orang pun begitu antusias membelinya.

Ramadan rasanya sebagai moment perayaan kuliner. Sore menjelang maghrib, setiap rumah telah menyiapkan segala keperluan untuk berbuka puasa. Meja makan rasanya begitu penuh dengan  berbagai varian santapan. Perut kosong seharian rasanya harus diisi segala yang ada di depan mata.

Apalagi di zaman sekarang ini, masa ketika media sosial bagitu gencar merangsek ruang-ruang privat tiap orang. Sejak pagi telah berseliweran segala jenis minuman dan makanan yang begitu menggoda mata. Bahkan bukan hanya menu ala kampung. Menu-menunya terkesan keren dan kemasannya ‘eye catching.’ Rasanya kalau tidak membeli akan sangat merugi karena tidak bisa dijadikan bahan untuk eksistensi diri di media sosial.

Menu-menu yang tidak kampungan tapi telah masuk kampung, seperti boba, es kopi, kebab, rokupang, nugget, sate taichan, ayam geprek mozarella dan masih banyak beragam menu milenial yang sangat digandrungi kawula muda. menu-menu inilah yang sangat berpotensi menambah eforia gempita Ramadan.

Hakikat Puasa Ramadan

Ramadan saat ini tidak hanya momen merayakan kuliner. Tetapi lebih dari itu, yaitu bisa pamer kuliner di media sosial kepada siapa saja.

Begitulah, setiap bulan Ramadan, orang-orang di kampung memperlakukan bulan suci sebagai bulan berpesta. Perut boleh kosong seharian. Tapi sejak maghrib hingga waktu sahur mulut tak bisa diam mencicipi beragam makanan.

Saya selalu bertemu dengan tetangga yang shalat tarawih berjama’ah di masjid. Setiap kami berjalan bersama menuju rumah, selalu yang dibicarakan adalah kekenyangan makanan. Sudah begitu, sepulang dari tarawih mereka tetap akan melanjutkan untuk menghabiskan makanan yang memang stoknya masih banyak. Mumpung belum imsak, katanya.

Ya, setiap bulan Ramadan tiba, masyarakat di kampung saya selalu begitu. Mereka sudah tidak peduli dengan hakikat puasa. Mereka hanya memeriahkan bulan suci dengan ragam kuliner.

Bila kita merunut sejarah diwajibkannya puasa, tentu kita bisa mafhum bahwa ibadah puasa diwajibkan pada tahun kedua Hijriyah bersamaan dengan turunnya wahyu dari Allah yang sekarang tertulis dalam Surat Al Baqarah ayat 183.

Dalam ayat itu Allah mewajibkan orang-orang beriman untuk berpuasa sebagaimana umat sebelumnya yang juga diperintahkan untuk berpuasa. Semua itu bertujuan agar pelaku puasa menjadi orang yang bertaqwa.

Untuk memaknai taqwa sendiri, tentu akan begitu banyak muncul tafsir aktualisasi taqwa. Ya, setidaknya, setiap hari Jum’at saat khutbah, khatib selalu mengingatkan jama’ah untuk meningkatkan kualitas taqwa. Biasanya taqwa diartikan sebagai upaya untuk melaksanakan segala perintah Allah dan semaksimal mungkin meninggalkan segala bentuk larangan-Nya.

Bila kita membaca Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 133 dan 134, kita bisa mendapat informasi bahwa ciri-ciri orang bertaqwa itu di antaranya adalah orang yang mau menafkahkan hartanya baik pada saat lapang maupun sempit, orang yang mampu menahan amarahnya ketika marah dan orang yang mampu memaafkan orang lain.

Yang jelas, orang berpuasa bukanlah orang yang otomatis mendapat predikat taqwa. Apalagi dalam ayat perintah puasa itu Allah memakai jenis lafadz mudhari’, yaitu lafadz yang menunjukkan ruang waktu yang kontinyu dan atau akan datang. 

Ramadan hanyalah ruang pendidikan untuk bertaqwa. Ramadan hanyalah kawah candradimuka agar setiap pelaku puasa bisa mendapat derajat taqwa yang di luar Ramadan harus terus diperjuangkan.

Maka di sinilah dilematisnya Ramadan di kampung saya. Masih banyak orang yang memperlakukan Ramadan dengan kuliner. Di satu sisi, kesan yang ada pada masyarakat bahwa Ramadan bukanlah waktu untuk merefleksikan diri memaknai puasa dengan empati pada orang-orang yang dalam kesehariannya susah makan. 

Harusnya momentum Ramadan dimaknai secara zahir dan batin. Secara zahir, pelaku puasa harus mampu menahan segala hal yang membatalkannya. Secara batin, pelaku puasa harus mampu memaknai secara filosofis bahwa puasa adalah semata-mata ibadah pada Allah. Juga sebagai bentuk refleksi diri dan empati kepada orang-orang yang yang lemah. Betapa susahnya mereka menjalani hidup di dunia ini. Dengan begitu akan muncul rasa kasih kepada sesama.

Sangat relevan sekali apa yang pernah disampaikan oleh Al Ghazali terkait dengan kategori orang puasa. Al Ghazali membagi tiga kategori orang puasa, yaitu puasanya orang awam, puasanya orang khusus atau orang khawas dan puasanya orang super khusus atau khawasul khawas.

Puasanya orang awam hanyalah menahan segala hal yang membatalkannya. Dia tidak makan tidak minum dan tidak melakukan hal-hal yang membatalkannya. Yang puasa hanyalah jasadnya. Mungkin saya termasuk jenis manusia seperti ini.

Khawas dan Khawasul Khawas

Adapun puasanya orang khusus atau orang khawas, mereka tidak hanya mampu menahan haus dan lapar saja. Tetapi seluruh anggota tubuhnya berpuasa.  Matanya berpuasa dengan menahan pandangan yang bisa merusak nilai puasa. Mulutnya berpuasa dengan menahan untuk tidak berbicara yang menyakiti hati orang lain. Telinganya berpuasa dengan tidak mendengarkan pembicaraan yang tidak bermanfaat. Juga anggota tubuh lainnya berpuasa agar tidak mengurangi nilai puasanya. Puasa yang dilakukan oleh orang dalam kategori ini adalah puasanya para wali, yaitu orang-orang yang dipilih Allah menjadi kekasih-Nya.

Sementara puasanya orang yang super khusus atau khawasul khawas adalah orang-orang yang melakukan puasanya orang awam dan orang khusus dan mereka sudah tidak memikirkan nanti akan berbuka dengan apa. Mereka sudah memasrahkan seluruhnya kepada Allah. Puasa yang dilakukan oleh orang dalam kategori ini adalah puasanya para nabi.  

Orang-orang kampung yang melaksanakan ibadah puasa dengan masih belanja begitu banyak menu makanan tiap sore, tentu masih dalam kategori puasa orang awam. Tetapi menurut saya, sekalipun masih dalam tataran puasa orang awam bukan berarti sebagai orang awam an sih. Nyatanya, di kampung saya yang beragam profesi itu banyak melaksanakan apa yang menjadi ciri orang bertaqwa tadi, yaitu menafkahkan hartanya baik saat lapang maupun sempit. 

Nyatanya banyak masyarakat yang dengan suka rela dan senang hati untuk memberikan segala menu minuman dan makanan di masjid dan mushala menjelang maghrib. Di jalan pun begitu banyak komunitas anak muda yang dengan rela berbagi kuliner kepada masyarakat yang lewat. Bahkan usai shalat tarawih, masjid dan musala selalu terdengar lantunan ayat Al Qur’an yang juga para pembacanya disediakan minuman dan makanan dari masyarakat.

Masyarakat saat ini memang harus benar-benar cerdas memperlakukan Ramadan. Jangan sampai upaya meraih taqwa terganggu dengan gebyar kuliner yang diunggah di media sosial.

Bagikan
Exit mobile version