Site icon Inspirasi Muslimah

Kotak Kejujuran

kejujuran ibu

“Apa ini, ibu?”

Ibu memberiku sebuah kotak, semalam sebelum aku berangkat menuntut ilmu di kota M.

“Kotak kejujuran. Kamu harus terus jujur.”

Aku menerimanya – terbuat dari dus bekas barang. Dilapisi kertas kado berwarna merah jambu. Ukurannya setengah kali dus hape kebanyakan.

“Ibu tau ini pesan yang berat. Tapi kamu harus berusaha, nduk.”

“Tapi..ngga perlu dibawa-bawa kali bu?”

“Bawa saja. Jangan sampai hilang. Sekali kamu ngga jujur, kamu harus menambal dengan lakbam hitan di salah satu sisinya. Kecil saja. Sebagai peringatan.”

Meski tidak setuju aku tetap membawanya.

***

Aku beruntung. Sebuah sekolah SMP swasta menerimaku sebagai guru honorer. Saat itu aku semester akhir. Aku harus berjuang keras membagi waktu dan tenaga agar kuliah dan mengajar bisa jalan beriringan. Sudah hampir dua tahun, aku mengajar di sekolah ini. Meski bukan sekolah unggulan, aku menikmatinya.

Aku ingat, hal yang paling aku tekankan sejak aku datang adalah kejujuran. Aku bilang, kejujuran adalah segalanya. Di depan murid yang masih polos itu, aku jelaskan bahwa negara kita terpuruk karena korupsi. Pejabat yang korupsi itu tidak mengenal kejujuran dalam mengemban amanah rakyat. Bukan berarti aku sendiri tidak berat. Aku juga sering tersandung masalah kejujuran ini.  Aku jadi ingat kotak kejujuran yang diberikan ibu. Kini kotak itu penuh noda hitam di sekujur permukaannya.

Biar aku jelaskan darimana noda hitam itu berasal. Yang kuingat, aku pernah berbohong kepada Sita, teman kosku ketika ia hendak pinjam uang. Aku tidak tega karena pada saat yang sama, aku harus bayar kuliah. Lalu, aku berbohong pada pacarku ketika ia mengajakku nonton. Aku bilang aku sedang ada tugas kuliah padahal aku malas keluar. Terus, aku bohong ketika ditugaskan piket hari Senin, dengan alasan aku ada kuliah pagi. Sesungguhnya yang terjadi adalah aku tidak akan bisa bangun pagi dan mengejar kereta paling pagi dari tempatku. Dan tentu saja masih banyak lagi.  

***

Yang lebih parah adalah aku mulai menakar-nakar jenis kebohongan itu. Yang ini berat, ini ringan. Hei! Kebohongan tetap kebohongan, kan? Sama saja. Aku mulai berdalih bahwa dalam situasi dan kondisi tertentu bohong dibolehkan. Tapi..jujur ya, apakah kebohonganku di atas termasuk yang dibolehkan tidak? Aku malu sendiri untuk menganalisanya. Yang jelas, tekadku satu sekarang: Aku tidak mau berbohong lagi.

Hari-hari berjalan seperti biasa. Aku berupaya sekuat tenaga untuk jujur. Setiap kali aku berlaku jujur, aku ingat ibu. Tersenyum padaku. Saat-saat itu aku seperti mendapat kekuatan untuk terus jujur. Sejak itu, teman-teman kampus, kos, ngajar tidak mau macam-macam sama aku. Seolah-olah aku pejuang kejujuran dengan bendera di tangan.

Aku bangga, merasa menjadi anak ibu yang manis. Aku senang bisa menjaga nasehat ibu. Itu berlangsung enam bulan. Tiap malam sebelum tidur, aku pandangi kotak kejujuran yang setiap hari makin cantik saja. Tambalan lakban hitam yang dulu sempat menghiasi seolah-olah pudar. Mungkin karena perilaku jujurku.

Bukan hal yang mudah. Apalagi sebelumnya aku dikenal ‘baik’. Saat ujian adalah saat aku obral murah kebaikanku. Hampir separuh teman-teman sekelasku, aku biarkan dengan leluasa mencontek jawaban ujianku. Tentu saja, mereka mengira aku akan seperti itu lagi. Suatu hari, ada ujian mendadak dari dosenku yang terkenal ‘killer’. Mereka semua tenang-tenang saja. Mereka pikir akan dapat contekan dariku sebagaimana biasa. Namun yang terjadi sungguh mengejutkan mereka. Aku menolak,. Setelah kejadian itu, separuh kelas memusuhiku. Mereka tidak mau mengerjakan tugas denganku. Aku sendirian. Aku harus terus maju. Ini seperti sebuah peperangan bagiku dan aku tidak bisa mundur. Sekali tekad dicanangkan, aku pantang menyerah.

***

Aku tidak bisa tidur. Telpon tadi siang benar-benar membuatku gelisah. Aku baru saja sembuh dari sakit. Tiga hari aku tidak mengajar. Bu Wati, wakil kepala sekolah, menelponku. Setelah basa-basi menanyakan keadaanku, ia langsung mengutarakan maksudnya.

“Dea mau kan, membantu saya?”

Aku terdiam.

“Dea..halo..halo..Dea??”

Aku menjawab lemah. Tanganku mencengkeram telpon itu kuat-kuat.

“Saya pikir-pikir dulu ya bu?”

“Tidak perlu, Dea. Kami sangat butuh pertolonganmu. Sekali ini saja.”

Klep. Telpon diputus dari seberang. Aduh, bagaimana ini? Tugas apa ini? Ini pembodohan kolektif. Ini penyerangan besar-besaran terhadap kubu kejujuranku selama ini. Aku tidak percaya dengan telpon barusan. Mungkin aku sedang mimpi? Berulang kali aku mencubit lenganku. Sakit. Aku pun mencubit lagi agak keras. Aww.. sakit. Ini nyata. Aku tidak mimpi. Apa yang harus aku lakukan? Aku pandangi kotak kejujuran yang masih tetap pada tempatnya semula.

***

“Kotak, jawab aku. Kenapa susah banget ngelindungin kamu. Tau ngga, sejak kamu dititip ibu kepadaku, hidupku jadi susah.”

Aku menyesal telah berkata seperti itu. Kotak itu diam saja. Aku sangat ingin kotak itu berbicara.

“Gini aja deh..kalo kamu jadi aku, kamu ngapain? Aku bingung nih. Kamu tau, kan? Bu Wati wakil kepala sekolah. Aku bisa saja dipecat jika tidak menuruti kemauannya. Dipecat mungkin engga. Tapi akibatnya aku ngga akan dikasi jam ngajar. Ini sama aja ngga dapat penghasilan, kan? Kamu tau, aku harus ngobatin ibu. Ini satu-satunya sumber penghasilanku. Emang sih, bisa aja cari kerja lagi. Tapi, ngga langsung dapet, kan? Trus makan, bayar kuliah, bayar kosan, kirim ibu dan bantu adik-adik darimana??”

Aku merasa tak berdaya.  Manusia bisa saja khilaf dan melakukan kesalahan. Tapi, aku kan, tidak khilaf? Aku tahu betul kemauan bu Wati bertentangan dengan nilai-nilai luhur pendidikan. Hanya karena prestise sekolah? Berlaku curang meluluskan siswa-siswa? Aku tetap tidak bisa menerimanya. Tapi..aku bisa apa? Ujian akhir nasional sebulan lagi.  Aku jadi malas ke sekolah.

Hanya datang, mengajar dan menghindari obrolan dengan guru lain. Aku juga berusaha keras tidak bertemu dengan bu Wati. Untungnya, beliau sedang ada rapat koordinasi di luar kota selama seminggu. Terasa bisa sedikit lega. Tidak bercerita pada siapa-siapa perihal telpon bu Wati tempo hari. Aku menyimpannya sendiri. Membuatku sangat terbebani.

Hari-hari terasa sangat menyiksa. Aku bukan seperti orang yang mau ujian terus takut tidak lulus. Bukan. Lebih dari itu, aku merasa seperti TKI yang hendak menghadapi hukum pancung di negeri orang. Beginikah rasanya para TKI yang kurang beruntung itu?? Jadi babu di negeri orang, mengalami pelecehan seksual, menderita penganiyaan fisik, mengalami luka batin dan juga diperkosa di bidang hukum, lalu tidak mendapat perlindungan negara. Tragis. Mungkin deritaku ini belum seberapa. Siapa yang bisa aku percaya? Aku benar-benar merasa sendiri di dunia yang galau ini.

***

Dua minggu sebelum ujian, ibu telpon aku. Tumben.

“Ibuuu…gimana kabar ibu? Semua sehat?”

Aku tidak bisa menahan kegembiraanku. Telpon ibu seperti oase di padang pasir. Apalagi di tengah kondisiku sekarang ini. Aku sebenarnya ingin cerita, tapi sebaiknya tidak. Aku takut hanya akan menambah beban ibu saja.

“Baik, Dea. Kamu baik-baik saja, kan?”

“Iya, bu.”

Aku tersenyum terpaksa.

“Gimana kotak ibu?”

Deg! Aku tidak menyangka ibu akan tanya ini. Aduh, bagaimana? Itu yang kini sedang jadi masalahku. Aku teringat bu Wati… rencana curang itu.. Aku tertegun.

“Dea…kamu..bisa jaga amanah ibu, kan?”

Suaranya cemas penuh harap. Rasanya aku sangat ingin menangis. Tapi aku menahan air mataku. Aku atur nada suaraku senormal mungkin.

“Dea??”

“Ya..ya..Dea usahakan bu..eh..anu..bu..Dea agak pusing nih, bu. Cuma kecapean. Ibu jangan lama-lama telponnya. Nanti bayarnya, mahal, loh.”

Aku berbohong sekaligus lega bisa mengalihkan kecurigaan ibu. Akhirnya ibu menutup telpon. Aku menghambur ke kamar dan menangis.Aku tidak jujur pada ibu. Di kamar, aku merasa kotak itu tertawa padaku.

***

Seminggu sebelum ujian aku sakit. Gejala tipes, begitu kata dokter. Aku harus istrahat. Aku tidak mengajar selama tiga hari. Mungkin karena stres atau bisa jadi ini peringatan, pikirku. Nah, mungkin juga ini jalan.Aku kan bisa saja pura-pura sakit. Toh juga kata dokter harus istrahat. Tapi, bagaimana kalau aku sudah sembuh pas ujian itu? Aduh..aku tetap bingung.

Kenapa sih, harus ada ujian? Nilai yang kita peroleh nanti juga tidak jadi ukuran kecerdasan si anak, kan? Okelah ada pendapat yang menyatakan bahwa ujian untuk mengukur kemampuan siswa juga sejauh mana materi yang disampaikan oleh guru itu sampai. Tapi..tetap saja, tiap daerah memiliki kondisi belajar yang berbeda-beda, kan?  Ah, peduli amat dengan semua itu. Masalahku bagaimana? Aku belum menemukan jalan keluar, tapi aku meyakini satu hal, “jujur adalah ketenangan, bohong adalah keraguan.”

***

Hari H.

Kata orang, perilaku hidup terkait dua hal. Value dan belief. Nilai dan keyakinan. Aku tahu tidak jujur itu salah. Sudah aku putuskan aku akan jujur. Apapun resikonya, harus aku hadapi. Hasilnya? Nilai ujian murid-muridku tidak seperti yang diharapkan. Ada lima orang yang tidak lulus. Entah kenapa, semua pihak seperti menudingku dan menganggap ini adalah kesalahanku.

Apalagi bu Wati yang jelas ia tidak mau menyapaku, bahkan melihat wajahku. Siang itu, selepas pengumuman hasil ujian nasional, aku pulang dengan perasaan campur aduk. Aku tahu apa yang bakal terjadi pada diriku. Aku tidak akan mungkin mengajar lagi disitu.

Sampai di kosan, aku langsung tertidur. Entah berapa jam aku tertidur. Aku terbangun ketika pintu kamarku diketuk Sita, sahabatku.

“Dea, ada yang nyariin tuh.”

“Sapa?” Aku masih ngantuk. Tubuhku rasanya pegal semua.

“Ngga tau..kayaknya orang tua dengan anak-anaknya gitu. Ada sepuluh orang.”

Aku terkejut. Siapa, ya? Rasanya aku tidak punya janji. Selama aku kos disini, aku belum pernah menerima tamu kecuali kakakku yang datang menjenguk. Aku langsung cuci muka dan menemui mereka di ruang tamu kosan.

Di sana, wajah lima muridku yang tidak lulus beserta ibu dan ada juga yang beserta ayah mereka duduk di kursi ruang tamu. Sebagian berdiri karena tidak cukup. Mereka memandangiku dengan tatapan benci dan marah. Salah seorang pria bertubuh besar berkata dengan tegas, “Ibu harus memertanggungjawabkan perbuatan ibu ini!”

Bagikan
Exit mobile version