f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kegelapan

Kegelapan, Tidak Tersingkap dengan Sendirinya

Tanggal 21 April yang lalu, kita diingatkan lagi dengan frasa “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Kita mengakrabi frasa itu dari judul buku milik tokoh penting emansipasi perempuan, Raden Ajeng Kartini. Frasa itu begitu akrab di telinga, terngiang-ngiang sejak duduk di bangku sekolah. Tapi, siapa yang mengira, frasa itu mengandung pembelokkan makna di dalamnya?

Dalam edisi aslinya, surat-surat Kartini yang oleh JH Abendanon bukukan dengan judul “Door duisternis tot licht”, bermakna perjuangan dalam gelap untuk mencapai terang. Jadi, terang dicapai setelah berjuang dan bahkan menderita dalam kegelapan (Wibisono, hal. 98).

Namun, dalam terjemahan kelompok yang menamai “Empat Bersaudara” dan Armijn Pane, frasa judul mengisyaratkan hal lain; terang hadir seolah-olah dengan keniscayaan, sesuatu yang otomatis terjadi.

 ***

Pengingat ini mungkin sudah kita dengar jauh-jauh hari, terlepas dari judul yang merepresentasikan arti atau tidak, memuat semangat dan nilai keluhuran, dan pemikiran Putri Bupati Jepara itu mengalir sampai hari ini. Ia bak pelita yang menerangi sekian perjuangan perempuan.

Lalu, apakah kemudian kegelapan itu sudah tersingkapnya seluruhnya? Atau, kalaupun masih ada, ia akan tersingkap dengan sendirinya?

Tidak. Kegelapan itu, bagaimanapun, telah bertransformasi.

Setahun belakangan, kegelapan itu menjelma kepungan virus yang merenggut cahaya, alias kebebasan kita. Ia mengancam diri dan mengubah sekian aspek dalam kehidupan kita. Satu tahun berlalu, tapi kabar penurunan tampak jauh panggang dari api.

Dan seolah semua itu belum cukup, kaum perempuan yang merupakan poros penting dalam pembahasan ini, mesti menghadapi persoalan yang seolah berulang dari tahun ke tahun. Berita tak henti-hentinya menghadirkan luka: pemerkosaan, putus sekolah, dan perkawinan dini.

Kita diingatkan, dari data yang dihimpun Kemen PPN/Bappenas, terdapat 400–500 anak perempuan usia 10–17 tahun berisiko menikah dini akibat pandemi Covid-19. Perubahan sistem belajar anak-anak menjadi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), turut memengaruhi maraknya praktik pernikahan dini ini. Sebagai imbas dari perubahan proses belajar, anak memiliki keleluasaan pergaulan, tanpa terkecuali pergaulan bebas yang jurangnya hamil  sebelum menikah

Baca Juga  Qasim Amin: Pejuang Emansipasi Asal Mesir

Saat kondisi seperti itu sudah terjadi, pengambilan keputusan singkat pun kerap menjadi satu-satunya jalan. Bahwa menikah secara dini bisa menjadi solusi dan menjauhkan keluarga dari deraan rasa malu. Terbukti, terdapat 34.000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan kepada Pengadilan Agama pada Januari hingga Juni 2020, yang 97%-nya dikabulkan (katadata. co.id, 16/9/2020).

 ***

Kemudian, faktor lainnya, seperti ekonomi, juga tak kalah berperan dalam mendulang naiknya persentase angka pernikahan dini. Bagi keluarga yang memiliki permasalahan ekonomi yang kompleks, apa lagi gempuran pandemi yang memberi imbas dalam kondisi finansial mereka, orang tua memutuskan menikahkan anaknya lekas-lekas.

Mereka menganggap, anak yang tidak sekolah menjadi beban, dengan penurunan penghasilan keluarga. Oleh sebab itu, pernikahan mengisyaratkan pemindahan beban tersebut kepada orang lain.

Keberadaan aturan yang belum merata pun memberi pengaruh. Saat ini, kendati pemerintah telah merombak Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) pada tahun 2019, dan menaikkan batasan usia pasangan 19 dan 16 tahun menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan, tetapi pada pelaksanaannya, belum seluruh daerah mengaplikasikan peraturan ini dalam peraturan daerah mereka.

Aturan itu baru dimiliki Provinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu Peraturan Daerah (Perda) Pencegahan Perkawinan Anak di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang diterbitkan pada tanggal 29 Januari 2021 lalu. Keefektifan undang-undang ini pun lantas menjadi pertanyaan; sebab data yang ada sejauh ini menunjukkan kalau Pengadilan Agama (PA) seluruh Indonesia masih memberikan izin kepada puluhan anak menikah setiap harinya (Detik.com, 4/12/2020).

Pencegahan dari Poros Pendidikan

Menyikapi masalah ini, sangat disayangkan bahwa Kementerian Pendidikan (Kemendikbud) tampak belum memberi perhatian khusus. Padahal, keterlibatan mereka menjadi penting, di samping peran keluarga dalam pencegahan pernikahan dini ini.

Baca Juga  Refleksi Hari Kartini

Misalnya, Kemendikbud bisa mempertimbangkan lagi pendidikan reproduksi berkelanjutan bagi para peserta didik. Anak-anak tidak cukup hanya diberi pengetahuan soal organ reproduksi beserta segala kaitannya dari mata pelajaran biologi saja.

Lebih dari itu, pendidikan reproduksi juga mesti dibarengi dengan pemberian impuls pengetahuan sosial beserta segala dampak buruknya.

Tak lupa, peran ini mesti melibatkan guru, orang tua, dan Bidang Konseling anak-anak. Sebab, pengetahuan soal bahaya dari pernikahan dini harus menjadi pemahaman mendasar oleh semua pihak.

Tugas ini mungkin tampak berat, apalagi mengingat sekian masalah pendidikan hari ini seperti berubahnya karakter para peserta didik dan berkurangnya semangat mereka untuk belajar, belum juga terselesaikan dengan baik. Bahkan, isu ini masih menjadi masalah yang rata dialami seluruh peserta didik di Indonesia.

Namun, kita tidak bisa menafikan bahwa urgensi pencegahan perkawinan dini ini penting adanya. Bertahun-tahun yang silam, RA. Kartini berjuang di tengah keterbatasan ruang dan kungkungan aturan feodal demi tercapainya pendidikan yang layak bagi kaum perempuan.

Perjuangannya tak sia-sia, semangatnya mengalir sepanjang masa. Tapi perlu kita ketahui, ia tidak menunggu gelap berakhir dengan sendirinya dan sinar terang itu tersingkap dan jalan keluar terbuka dengan lebar. Ada usaha yang keras, upaya berjalan meniti ruang gelap, dan usaha memantik pelita kecil.

Sekarang, pelita itu hidup di dalam benak perempuan-perempuan Indonesia. Angin senantiasa berusaha mematikannya. Tapi jelas, kita tidak ingin pelita itu mati begitu saja, dan masa depan perempuan Indonesia kembali menemukan gelapnya pengetahuan dan sempitnya kebebasan. Semangat Kartini bukan saja soal kesetaraan gender, lebih dari itu, ia bernilai spirit untuk menjamin masa depan yang lebih baik.

Bagikan
Comments
  • Kalau di lingkunganku, masalah perempuan bukan lagi pernikahan dini. Mereka yang kurang secara ekonomi memutuskan untuk merantau cari uang sendiri. Kadang juga mereka merantau atas desakan orang tua juga sih, tapi karena mereka mayoritas kurang memahami pengelolaan keuangan maka ujungnya juga berantakan. Diriku masih yakin bahwa masalah utama kita terletak pada pendidikan

    April 26, 2021
Post a Comment