f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
jalan damai kekerasan seksual

Jalan Damai Kekerasan Seksual bukan Pilihan

Belum juga selesai dengan polemik dispensasi menikah usia dini, hadir berita-berita yang mengemuka terkait kekerasan seksual yang terus-menerus meningkat. Hari ini kasus kekerasan seksual bukan barang asing lagi. Bukan hanya terjadi di lingkaran masyarakat luas, tapi juga di kalangan mahasiswa. Bahkan orang-orang terdekat kita berpotensi menjadi pelaku melakukan itu, semuanya tiada lain karena merasa memiliki kuasa yang lebih.

Entah itu yang melakukan kyai kepada santrinya, atasan kepada bawahannya, dosen kepada mahasiswanya, senior kepada juniornya, guru pada muridnya termasuk ustaz pada anak ajarnya. Bahkan yang baru saja terjadi ialah Pak kades kepada mahasiswa KKN yang berlokasi di Magetan yang diwartakan oleh media-media lokal maupun nasional secara masif dan bombastis.

Maraknya Kasus Kekerasan Seksual

Kalau kita mau jujur berdasarkan data dari SIMFONI-PPA mulai dari 1 Januari 2021 hingga sekarang, telah terkumpul dengan total 1524 kasus dengan rincian 228 laki-laki sebagai korban dan 1389 sebagai korban. Artinya perempuan lebih rentan menjadi korban, meskipun pelaku kekerasan seksual tidak melihat kelamin tapi karena bentuk usahanya.

Anehnya, hampir dari setiap kasus kekerasan seksual yang terjadi, ujung-ujungnya berakhir damai. Contoh sebagaimana terjadi di salah satu kampus swasta, Universitas Gunadarma yang sempat viral itu yang berujung damai. Yang membuat abu-abu dan tidak ada titik terang bagi si korban. Pada 2019, hal yang sama juga menimpa mahasiswa UIN Maliki yang menjadi korban oleh dosennya pun berakhir damai. Kekerasan seksual yang menimpa enam remaja perempuan di bawah umur yang terjadi di Brebes juga mencapai mufakat damai. Masih ingat dengan kasus pelecehan seksual yang terjadi di Stasiun Ciamis? Merekam korban saat sedang berada di toilet, ujung-ujungnya polisis mengarahkan pada jalan. Mungkin karena pembuktiannya sulit, terlebih pelaku telah menghapus videonya.

Baca Juga  Kesetaraan Gender dalam Kepemimpinan Ikatan dan Persyarikatan

Beralih juga pada kasus dugaan penyekapan dan pemerkosaan yang menimpa siswa SMP di Riau yang pelakunya adalah anak Anggota DPRD Pekanbaru. Kasus itu pun berakhir damai setelah pencabutan laporan yang dilakukan di Polres setempat, dan banyak kasus serupa yang mengakhiri perkaranya dengan jalan damai, termasuk kejadian belum genap seminggu itu, mahasiswa KKN yang di Magetan juga beroleh damai.

Kasus yang Sering Berujung Damai

Kapan hari saya pernah meributkan soal kekerasan seksual yang berujung damai. Akhirnya bergulir sebuah pertanyaan, “Mengapa kekerasan seksual adalah musuh bersama?” Tanya seorang teman saat lagi kongkow di warung kopi. Saat itu paling tidak terdapat 10-an orang yang duduk melingkar memenuhi meja. Dari pertanyaan itu lahirlah ragam rupa jawaban dari opini kawan-kawan yang turut serta nimbrung.

Varian jawaban pun beragam, terdapat hal yang unik dari perbincangan ini. Bahkan ada yang melontarkan tanya begini, mengapa tidak berdamai saja? Bukankah kedamaian adalah hal yang adiluhung? Menjadikannya musuh sama dengan menumbuh-kembangkan dendam-dendam terselubung yang melahirkan musuh baru. Dengan begitu secara tidak langsung akan melahirkan perang yang tak berkesudahan, entah itu emosional maupun perang sosial.

Kalau sudah perang, bukankah hanya akan menyisakan luka di kedua belah pihak yang sama-sama rugi satu sama lain, sebagaimana sebuah adagium, ‘’menang jadi arang kalah jadi abu”. Hanya saja, adagium tersebut kurang tepat dengan persoalan ini.

Kekerasan Seksual yang Masih Tabu

Kalau melihat realita lapangan akan menunjukkan pengabaian hak atas korban. Alasannya pun sangat beragam. Demi menjaga nama baik, jurus andalan adalah selesai dengan baik dengan embel-embel atas nama kekeluargaan. Bukti yang tidak kuat, dan hanya selesai dengan uang ganti rugi sebagai jalan damai itu. 

Baca Juga  Korban Tindakan Pelecehan Seksual dalam Tinjauan Maqashid Syari'ah

Saya menduga kuat bahwa fenomena kekerasan seksual dan pelecehan seksual yang berujung damai lantaran penanganan kasus yang masih terbatas. Salah satu faktornya adalah merasa tabu. Betapa pun korban yang sangat dirugikan dan jelas menjadi korban yang tidak bersalah, terkadang masih dituduh tidak-tidak dan dicekoki beragam pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan. Kenapa baru lapor sekarang?, kamu pakai baju apa saat itu?, kenapa kamu tidak melawan atau jangan-jangan kamu merasa keenakan? Pertanyaan sejenis itu secara tidak langsung menghantam si korban di mana ia susah payah mengumpulkan keberanian untuk melapor. 

Dan ujungnya akan berakhir pada anggapan, toh tubuh wanita sejatinya hadir sebagai objek seksual bagi laki-laki yang boleh dilihat, disentuh tanpa izin bahkan diperkosa. Anggapan ini bertali erat dengan faktor pertama yang merupakan turunan dari jangkar patriarkis yang terlanjur mengakar dan menguat di sekitar kita. 

Jalan Damai bukan Solusi Ideal

Sadar atau tidak, jalan damai dari dulu seolah menjadi solusi yang paling manjur. Padahal solusi ini adalah upaya simplistis yang jauh panggang dari api penyelesaian problem. Apalagi pelakunya adalah mereka yang memiliki kuasa, seolah-olah segala persoalan akan selesai dengan uang dan backingan. Tidak pernah sedikit pun mempertimbangkan perspektif korban sebagai orang yang paling terdampak. Pengabaian terhadap trauma yang dialami sudah pasti sangat mengerikan, yang bisa berefek seumur hidup dan sangat tidak sepadan dengan ganti kerugian yang diberikan. 

Sahnya UU-TPKS adalah ekspresi perjuangan teman-teman feminis dan ikhtiar pemerintah untuk membela hak korban yang terabaikan untuk memperoleh hak yang sepatut dan seharusnya. Menghasilkan produk hukum yang mampu memberikan rasa aman pada korban di satu sisi dan memberikan efek jera pada pelaku seadil-adilnya. Kalau kita mau menerapkan Undang-undang ini secara ideal, tidak ada kata damai bagi para pelaku kekerasan seksual, kecuali telah mendapat hukuman yang setimpal.

Baca Juga  Pakaian Bukan Ukuran Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual

Jalan damai yang katanya sebagai win-win solution itu hanyalah omong kosong belaka yang sama sekali tidak menghadirkan hukum berkeadilan. Undang-undangnya sudah terang ada, tinggal bagaimana ekosistem yang ada mendukung korban atau tidak.

Betapa pun menempuh jalan keadilan begitu terjal. Saya yakin bila kita tegak bersama, bahu-membahu melawan ketertindasan, dan kesadaran penuh bahwa kekerasan seksual adalah tindak kejahatan yang tidak boleh selesai dengan jalan damai. Sadar atau tidak, satu-satunya jenis kedamaian yang berdampak buruk adalah akhir damai dari kekerasan seksual. 

Mari genggam erat persatuan melawan kekerasan seksual sebagai musuh bersama dan ciptakan ruang publik yang aman. Kekerasan seksual dapat menjelma dalam bentuk apapun, modus yang beragam, dan dapat terjadi di ruang nyata maupun digital. Semoga di kemudian hari tidak ada lagi kekerasan seksual yang berakhir damai.

Editor: Fitria Salsabila

Bagikan
Post a Comment