f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
hayati dan biola

Hayati dan Biola Kesayangannya (1)

Hayati bukanlah murid yang nakal. Melainkan termasuk kategori murid yang nurut dan berakhlak baik. Hanya saja ia memiliki keterbasan dalam menangkap pelajaran hitung-hitungan yang Pak Muhsin sampaikan, selaku guru Matametika yang masih memiliki keturunan darah priyayi. Ia terkenal sebagai guru yang sangat garang. Seringkali Pak Muhsin marah terhadap murid-muridnya yang sulit menerima pelajaran Matematika. Termasuk Hayati yang kerap menjadi sasaran empuk Pak Muhsin untuk menerima segala dampratan pedasnya. Rasanya tidak hanya itu yang menjadi alasan sikap Pak Muhsin sangat keras terhadap Hayati. Ada hal lain yang masih ia simpan rapat-rapat.

“Hayati..!! 8 dikali 8 berapa, jawab!!!.” Suara penuh emosi Pak Mushin sambil memegang penghapus papan tulis.

Hayati terdiam. Ia hitung perkalian tersebut menggunakan jari tangan. Belum sempat menjawab, penghapus papan tulis di tangan Pak Muhsin sudah melayang cepat mengenai muka Hayati. Air matanya menetes, tubuh beserta bibirnya gemetar. Ia tunduk tengadah sambil menyeka butiran air matanya. Dijawablah pertanyaan Pak Muhsin dengan suara tergagap-gagap diringi suara tangis yang tersedan-sedan.

“Kalau ditanya itu langsung dijawab Hayati, jangan malah nangis, dasar anak pembunuh.” Gerutu Pak Muhsin sambil matanya melotot.

 “Kau tidak pantas berada di sekolah ini Hayati.” Imbuh Pak Muhsin yang masih memelototi Hayati.

Hayati terdiam seribu bahasa. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya kecuali isakan tangis yang membuat tubuhnya semakin gemetar.

Teman-temannya seringkali mentertawakan. Ada satu teman yang kasihan terhadap Hayati yaitu Hasan. Di ruangan kelas 6 yang cat dindingnya mulai mengelupas itu selalu menjadi saksi sunyi bagi jiwa Hayati. Sekolahan tidak menjadikannya memiliki jiwa yang merdeka. Sangat berbeda ketika dirinya berada di rumah dengan ditemani biola kesayangannya.

Baca Juga  Mahkota untuk Ummi

Bunyi lonceng terdengar dua kali pukulan menjadi penanda waktu istirahat telah tiba. Hayati termenung di balik jendela kusam ruangan kelas 6 menyaksikan teman-temannya bermain dengan riang gembira. Ia kehilangan kebahagian di sekolahan. Dalam benaknya ingin sekali ia berhenti sekolah. Menghabiskan seluruh waktunya bersama biola kesayangan hadiah dari sang bapak. Apa boleh buat, ia juga memikirkan nasib ibunya yang hanya memiliki penghasilan di kampung ini sebagai penjual kayu bakar.

Bu Puji, guru Bahasa Indonesia Hayati bisa memahami apa yang Hayati rasakan. Setiap kali melintasi ruangan kelas 6 dilihatnya Hayati termenung sendirian. Sementara itu hati Bu Puji tersentuh serta prihatin dengan nasib yang Hayati alami. Dihampirilah Hayati yang masih berdiam diri di balik jendela yang kusam tak terawat itu.

“Kau tidak ikut bermain Hayati ?.” Tanya Bu Puji sambil menyentuh rambut Hayati yang lurus.

“Tidak bu.” Jawab singkat Hayati yang masih melihat teman-temannya bermain.

“Tidaklah suka engkau bermain seperti temanmu ?.”

“Suka bu.”

“Lalu ?.”

“Hanya saja bu, aku tidak berani.”

“Kenapa ?.”

“Katanya aku ini tidak pantas berada di sekolahan ini bu.” Jelas Hayati yang matanya mulai berkaca-kaca.

“Katanya siapa ?.”

“Kata mereka bu.”

“Cuma mereka.”

“Tidak bu.”

“Terus ?.”

“Kata Pak Muhsin juga bu.”

Bu Puji terdiam mendengar apa yang telah dikatakan Hayati. Dipeganginya pundak Hayati dengan lembut.

Hayati sudah terkenal sebagai anak seorang PKI. Dulu bapaknya merupakan tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh. Atas hasutan dan iming-iming uang dari salah satu tokoh PKI, membuat bapaknya terjerumus ke dalam partai bersimbol palu arit itu.

“Apakah seorang anak harus menanggung dosa bapaknya bu?” Tanya Hayati dengan wajah yang masih polos.

Baca Juga  Sekat

Bu Puji lag-lagi terdiam dalam pelukan yang semakin erat terhadap Hayati.

“Apakah dosa bapak itu sudah terlalu besar bu ?.”

”Apakah kesalahan bapak tidak bisa dimaafkan bu ?.”

“Kata Mak, bapak masuk PKI untuk berjuang bu.”

Mendengar berbagai pertanyaan Hayati, Bu Puji tersenyum berusaha menguatkan hati Hayati dengan berkata.

“Bapakmu hanya korban nak dan engkau jangan terlalu bersedih hati.”

Anak sekecil Hayati sudah mengalami guncangan hati yang sangat dahsyat.

“Hayati, bolehkah nanti ibu main ke rumahmu ?.”  Pinta Bu Puji sambil menunjukan senyum manisnya.

“Ibu tidak takut pergi ke rumah Hayati? Nanti ibu bisa jadi akan dijauhi oleh masyarakat”

“Tidak Hayati, ibu tidak takut.”

Bagikan
Post a Comment