f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
politik perempuan

Mengambil Ghirah Perjuangan Tokoh Politik Perempuan

Dalam buku ‘Perempuan di Parlemen: Bukan Sekadar Jumlah’ dituliskan bahwa seorang perempuan harus siap menghadapi kenyataan bahwa ketika ia menjadi seorang politisi, ia tidak akan berhenti menjadi perempuan. Yang harus digarisbawahi, keperempuanan inilah yang justru harus ditempatkan lebih dulu karena ia mengandung berbagai potensi kreatif dan kekuatan intelektual.

Kemampuan mengambil keputusan dan menerapkannya bukanlah keputusan khusus gender, melainkan sifat alami manusia. Kita dapat memaknainya demikian: seorang laki-laki memegang kekuasaan adalah wajar, dan begitu pula seorang perempuan memegang kekuasaan adalah alami –bahkan mungkin seharusnya demikian. Buku karya sejumlah penulis yang terbit tahun 1998 dalam versi bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 2002 itu sudah dua puluh tahun berlalu. Namun, rasanya kalimat itu masih sangat sesuai untuk menggambarkan posisi perempuan di dunia politik saat ini.

Berbicara soal politik dan perempuan tak akan ada habisnya. Mungkin juga tak akan menemukan titik terang yang paling ideal yang diamini oleh berbagai pihak dengan beragam perspektif di dunia. Perspektif dan stereotipe yang timpang tentang perempuan menjadikan hal ini tak akan pernah selesai. Itu pula yang menjadikan peran perempuan di ranah politik menjadi hal mewah di sebagian negara, bagi sebagian orang atau kelompok tertentu.

Platform Aksi Beijing 1995, sebuah kesepakatan negara-negara PBB yang melaksanakan Convention on Elimination of All Forms Discriminations Againts Women (CEDAW) mengidentifikasi adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam pembagian kekuasaan, serta kurangnya mekanisme pada semua level dalam upaya memajukan perempuan.

Islam, Perempuan, dan Politik

Jika dirunut lebih jauh lagi, perihal problem laki-laki dan perempuan sudah ada sejak zaman jahiliyah. Sebelum Rasul lahir, perempuan ibarat tak punya makna. Kelahirannya dihinakan, tak sedikit kisah bayi perempuan lahir lantas dikubur hidup-hidup. Peran perempuan pun dinilai sebatas reproduktif: untuk meneruskan keturunan.

Baca Juga  Healing Ala Rasulullah: Menilik Kembali Peristiwa Isra Miraj

Namun, Rasulullah diutus sebagai sang pencerah. Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan memang masih terjadi di era kepemimpinan Rasulullah. Tapi sejarah menuliskan, beberapa perempuan di masa itu sudah mempertanyakan perihal ketidakadilan gender yang mereka alami. Sebut saja pertanyaan seputar perbedaan upah kerja antara laki-laki dan perempuan, frekuensi penyebutan laki-laki dan perempuan di Al-Qur’an, hingga protes kaum hawa kepada Rasul tentang bidang pengabdian yang lebih sempit dibandingkan laki-laki.

Artinya, pemahaman tentang ketidaksetaraan gender bukan hal yang baru-baru ini terjadi. Jurnal Kajian Gender dan Anak An-Nisa terbitan tahun 2017 bahkan menuliskan jelang kematian Nabi Muhammad, Aisyah beserta istri-istri Nabi yang lain membuat keputusan yang mengandung dimensi-dimensi politis. Begitu pula putri Nabi, Fatimah yang turut memperjuangkan kepentingan politik suaminya, Ali.

Di zaman Rasulullah pun, turut sertanya kaum perempuan dalam hijrah sejatinya bertujuan politis. Dalam peperangan, mereka, kaum perempuan itu, berjihad dengan caranya: merawat yang terluka, memberikan minum untuk para prajurit, hingga mengantarkan pejuang perang yang terbunuh ke Madinah.

Dalam hal lain, ambillah contoh Ummu Salamah yang memberikan sumbangsih saran kepada Rasul pada peristiwa Hudaibiyah dan perang Hunain. Di masa selanjutnya, yakni di masa kepemimpinan Umar bin Khattab, seorang perempuan memprotes adanya batasan mahar pernikahan yang ditetapkan oleh Umar. Akibat tentangan itu, Umar pun menarik keputusannya. Dari kisah sekilas tersebut, kita dapat menyimpulkan, peran perempuan terhadap pemerintahan sudah ada sejak zaman Rasulullah.

Bagaimana dengan masa sekarang? Kesetaraan gender sudah menjadi diskusi di berbagai belahan dunia dan peran perempuan diperjuangkan agar suara dan kepentingannya pun lebih mendapat perhatian. Namun, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Prof Dr Hamdi Muluk MSi mengatakan, tidak ada hubungan gender dalam kecenderungan memilih. Artinya, banyaknya pemilih perempuan tidak menjamin besarnya keterpilihan politisi perempuan dalam pemilihan umum.

Baca Juga  Berguru pada Hatim Al-Asham

Pernyataan tersebut bisa kita tarik garis lurus dengan kenyataan di Indonesia. Hasil sensus penduduk 2020, jumlah penduduk perempuan di Indonesia mencapai hampir 50 persen. Sementara, kuota keterwakilan perempuan dalam politik dalam undang-undang setidaknya 30 persen. Dari kans tersebut, Komisi Pemilihan Umum RI menyebut keterwakilan perempuan baru terisi 20,8 persen. Bahkan, di dunia, keterwakilan perempuan dalam parlemen hanya mencapai angka 14 persen. Angka ini bisa menjadi lebih kecil di negara-negara di mana peran perempuan di ranah publik belum begitu banyak, seperti Arab Saudi.

Ghirah Perjuangan Perempuan yang Patut Kita Tiru

Namun demikian, beberapa perempuan dari kelompok minoritas di dunia berhasil membuktikan diri bahwa ia mampu menduduki kursi politik demi memperjuangkan suara orang banyak. Memperingati Hari Perempuan Internasional, berkenalan dan atau mengingat tokoh politik perempuan kiranya dapat memanggil ingatan kita kembali, bahwa perjuangan perempuan untuk menyuarakan berbagai kepentingan masih harus terus berlanjut.

Shahana Hanif

Nama Shahana Hanif masih hangat di berbagai pemberitaan. Sebab, ia menjadi perempuan Muslim pertama yang terpilih menjadi Dewan Kota New York, Amerika Serikat pada akhir 2021 lalu.  Selain Muslim, Shahana Hanif juga menjadi perempuan pertama keturunan Asia Selatan yang terpilih. Dibandingkan lawannya, ia mengantongi perolehan suara mayoritas, yakni mencapai 89 persen.

Terpilihnya Shahana Hanif tidak serta-merta. Meski memiliki darah Bangladesh, sebelum pemilihan berlangsung ia menghabiskan waktu selama tujuh bulan untuk belajar bahasa Bangladesh. Tujuannya, tentu agar bisa berbicara lebih banyak tentang kepentingannya memperjuangkan suara orang-orang di komunitasnya.

Shanana Hanif memang memfokuskan diri untuk memperjuangkan masalah pelecehan di tempat kerja dan soal perumahan. Pada bulan Januari 2022, Shahana Hanif menjadi anggota dewan Asia Selatan pertama yang mewakili domisili tempat tinggalnya, yakni Distrik Brooklyn.

Baca Juga  Wajah Beragama di Media Sosial
Azrin Awal

Perempuan keturunan Pakistan ini sama halnya dengan Shahana Hanif, terpilih menjadi perempuan pertama yang menjadi anggota dewan kota mewakili distrik tempat tinggalnya pada pemilihan November 2021 lalu. Azrin Awal terpilih menjadi anggota Dewan Kota Minnesota, Amerika Serikat. Pun, Azrin Awal berasal dari Bangladesh.

Ia pertama kali pindah ke Minnesota untuk kuliah pada enam tahun lalu. Terpilihnya Azrin Awal sebagai anggota dewan di sebuah kota yang mayoritas berkulit putih, menunjukkan kapasitas Azrin Awal yang bukan orang kulit putih untuk dapat menyuarakan kepentingan orang-orang dari komunitasnya. Ia sudah siap membawa aspirasinya terkait problem iklim, perumahan yang terjaangkau, hingga masalah inklusi.

Benazir Bhutto

Sejarah politik dunia tak bisa lepas dari nama Benazir Bhutto. Berbagai ulasan telah menyebut, ia adalah perempuan pertama di dunia yang menjadi perdana menteri Pakistan. Ia menjabat selama dua kali, yakni pada 1988-1990 dan 1993-1996.

Pemikiran dan tindakan Benazir kerapkali mendapat tentangan dan kritikan dari kaum Muslim Pakistan. Sebab, pemikirannya dinilai terlalu modern bagi negara yang mayoritas penduduknya Islam tersebut. Namun demikian, ia banyak mendapat dukungan dari barat, sebab dinilai memperjuangkan hak-hak perempuan.

Dewi Sartika

Sebagai perempuan, mungkin kita tidak bisa menikmati indahnya mengenyam pendidikan bila saat itu Dewi Sartika tidak memperjuangkan pendirian sekolah di Bandung. Meski bukan secara langsung berpolitik, tapi kegigihan Dewi Sartika untuk meluluhkan hati bupati Bandung saat itu, Martanegara berujung indah.

Tahun 1904, sekolah yang diperjuangkan oleh Dewi Sartika secara resmi berdiri, bernama Sakola Kautamaan Istri. Bermula di Bandung, menyebar ke beberapa kota di Jawa Barat, dan hingga kini kita bisa merasakan manfaatnya: perempuan yang memiliki akses mengenyam pendidikan.

Bagikan
Post a Comment