f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
bunuh diri

Gen Z Rentan Bunuh Diri: Kita Harus Apa?

Isu kesehatan mental menjadi isu yang tengah ramai menjadi perbincangan publik. Mulai dari obrolan santai di warung kopi hingga ke forum-forum ilmiah seperti seminar. Seiring dengan berkembangnya media informasi dan banyaknya praktisi, akademisi, penyintas, influencer atau public figure yang memberikan edukasi kepada masyarakat terkait kesehatan mental, maka sudah sepantasnya semakin banyak masyarakat yang mulai mengetahui bahwa kesehatan mental merupakan hal yang penting untuk dijaga selain kesehatan jasmani. Ketika masyarakat sudah lebih aware dengan kesehatan mental, logisnya hal tersebut dapat menekan kuantitas kasus-kasus yang melibatkan kesehatan mental salah satunya aksi bunuh diri. Namun realita yang terjadi di lapangan tidak demikian. Sebaliknya, kasus-kasus yang melibatkan kesehatan mental tak terkecuali bunuh diri akhir-akhir ini makin sering terdengar. Apa yang sebenarnya terjadi?

Gen Z dan Tantangan Hari Ini

Generasi Z atau lebih akrab disebut gen Z merupakan generasi yang lahir setelah tahun 1995 (Sakitri, 2021). Masih berasal dari literatur yang sama, gen Z ini dikenal sebagai generasi yang kreatif dan inovatif. Survei yang Harris Poll lakukan pada tahun 2020 membuktikan bahwa 63% gen Z lebih tertarik untuk melakukan hal kreatif. Beragam hal kreatif ini kebanyakan di tuangkan dalam bentuk konten media sosial yang erat dengan teknologi. Sebagai generasi yang sudah sejak lahir berinteraksi dengan teknologi (Berkup dalam Dian, 2021), wajar saja jika 33% gen Z bisa menghabiskan lebih dari 6 jam sehari untuk mengakses ponselnya. Intensitas gen Z lebih sering menggunakan media sosial dibandingkan generasi sebelumnya.

Kemajuan teknologi ini menghadirkan tantangan sendiri bagi gen Z, khususnya di tengah kemudahan yang ditawarkan. Ibarat kutub magnet, perkembangan teknologi ini memiliki dua sisi yakni positif dan negatif. Sisi positif salah satunya adalah perkembangan teknologi menawarkan beragam kemudahan bagi masyarakat dalam beraktivitas dengan berbagai aplikasi yang ada hari ini. Sebut saja Instagram, TikTok, WhatsApp, X, Gojek, Grab, Shopee, Tokopedia, Lazada, ruangguru, dan masih banyak lagi yang lainnya. Dengan beragam aplikasi tersebut, kebutuhan primer dapat dengan mudah dipenuhi hanya dengan sekali klik.  

Di sisi lain, perkembangan teknologi ini ternyata memiliki impact yang kurang baik untuk kesehatan. Misalnya mudah pegal-pegal karena terlalu lama duduk ketika mengoperasikan laptop atau mata minus karena terlalu lama menatap layar monitor. Selain itu, kesehatan mental generasi saat ini sedikit banyak dipengaruhi oleh perkembangan teknologi khususnya media sosial. Kita sadari atau tidak, hal-hal yang terpampang di media sosial hari ini dapat mempengaruhi kondisi psikologis seseorang dan memicu seseorang untuk melakukan hal yang kurang logis. Misalnya membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan.

Baca Juga  Nyata Maya Sama Saja

Dalam keilmuan psikologi ada istilah compulsive buying disorder (CBD) yakni kecenderungan seseorang untuk membeli barang secara kompulsif atau berlebihan. Ketika hal tersebut terus terjadi, seseorang akan melakukan apapun untuk memenuhi nafsunya. Bisa dengan mencuri, meminjam teman atau saudara, dan pinjaman online. Hari ini marak sekali orang yang terlilit hutang hanya karena memenuhi nafsu tersebut. Selain itu, budaya overthinking yang semakin mudah dirasakan oleh kaum muda utamanya gen Z. Imbas dari apa yang mereka lihat di sosial media, pencapaian orang lain, harapan orang tua, komentar netizen, cyberbullying, dan sebagainya. Akhirnya, ketika overthinking ini terus muncul akan memicu stres atau depresi. Stres atau depresi inilah yang nantinya akan bermuara pada hal-hal yang tidak diinginkan seperti melukai diri sendiri (selfharm), menyakiti atau melecehkan orang lain, hingga tindak pidana pembunuhan atau aksi bunuh diri.  

Urgensi Kesehatan Mental untuk Generasi Z

Beberapa waktu belakangan ini, banyak sekali berseliweran headline berita yang kurang mengenakkan. Mulai dari tawuran hanya karena masalah sepele, pelecehan seksual, pembunuhan, hingga aksi bunuh diri. Walaupun sebenarnya fenomena ini bukan suatu hal yang baru, akan tetapi kuantitasnya terus mengalami peningkatan setiap tahunnya khususnya kasus bunuh diri yang beberapa waktu belakangan ini sedang menjadi sorotan publik. Dikutip dari goodstats.id, menurut data Kepolisian Republik Indonesia dalam rentang waktu Januari-Juli 2023 terdapat 663 laporan kasus bunuh diri yang terjadi di Indonesia. Angka tersebut meningkat sebesar 36,4% dibandingkan tahun 2021 yakni sebanyak 486 kasus.

Tingkat kematian karena bunuh diri yang semakin meningkat ini tentunya perlu untuk menjadi perhatian bersama. Apalagi tidak sedikit yang melakukan aksi bunuh diri ini berasal dari gen Z yang digadang-gadang akan menjadi aktor utama pada Indonesia Emas 2045. Belum lama ini, Indonesia berduka atas meninggalkan salah satu mahasiswi di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta dengan cara menjatuhkan diri dari suatu gedung. Tidak lama berselang, masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan peristiwa serupa yang dilakukan oleh mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Tengah.

Baca Juga  “Trend” Bunuh Diri

Hidup ini perihal sebab-akibat. Seseorang bisa melakukan bunuh diri tentu ada sebab yang melatarbelakanginya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Andalas pada 365 remaja di tahun 2020, ditemukan bahwa faktor psikologis menjadi faktor dominan yang mempengaruhi seseorang memiliki ide untuk bunuh diri. Artinya, seseorang yang memiliki ide untuk bunuh diri ini tentu sudah memiliki masalah sebelumnya yang kemudian berdampak pada kondisi psikologisnya. Kondisi psikologis yang dimaksud adalah stres, depresi, dan cemas berlebihan (Aulia dkk., 2020).

Mengutip dari psikologi.ui.ac.id, Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) melaporkan bahwa tahun 2022, setidaknya 1 dari 3 remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Kemudian, dikutip dari ugm.ac.id “… data Kementerian Kesehatan menyebutkan, setidaknya 1 dari 16 orang berusia 15 tahun ke atas terdiagnosis mengalami depresi”. Selaras dengan hal tersebut, Presiden Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia (INASP) Sandersan Onie berpendapat bahwa gen Z memang lebih rentan mengalami depresi. Dengan data tersebut, valid jika dikatakan bahwa faktor psikologis menjadi faktor yang mendominasi seseorang memiliki ide untuk bunuh diri.

Salah satu artikel yang diterbitkan psikologi.ac.id mengatakan bahwa gen Z dinilai 2 hingga 3 kali lebih rentan melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan generasi lainnya. Fakta-fakta di atas tentu menjadikan kesehatan mental menjadi isu yang harus terus dibahas dan dipahami secara utuh khususnya untuk para gen Z agar mereka memiliki ketahanan mental yang lebih kuat. Terlebih dengan perkembangan teknologi yang sedikit banyak mempengaruhi kondisi sosial budaya di Indonesia.

Gen Z Harus Sadar Kesehatan Mental

Meskipun sudah banyak informasi yang bisa diperoleh untuk menambah pengetahuan tentang kesehatan mental, agaknya masih banyak anak muda yang belum penuh dalam memahami kesehatan mental ini. Ada beberapa hal dapat dilakukan gen Z untuk menambah kesadaran soal kesehatan mental, yakni:

1. Memperbanyak literasi kesehatan mental dan membaca secara keseluruhan dari sumber-sumber terpercaya agar tidak terjadi mis-informasi.

2. Memiliki kesiapan dan kesadaran penuh sebelum membaca informasi terkait kesehatan mental. Hal tersebut karena dikhawatirkan ketika seseorang dalam  kondisi tidak siap dan tidak sadar malah akan menyebabkan self diagnose. Self diagnose tidak disarankan oleh para psikolog.

Baca Juga  Laki-laki Lebih Berisiko Tinggi Melakukan Bunuh Diri

3. Gen Z juga perlu memahami bahwa tidak semua hal harus dikaitkan dengan kesehatan mental. Kesehatan mental memang penting, tapi yang lebih penting ialah sadar bahwa setiap manusia itu berproses dalam hidupnya. Ada tahap perkembangan yang harus dilewati dan dihadapi walaupun itu sulit dan melelahkan. Hakikat hidup ialah bertahan. Gen Z harus belajar regulasi emosi dengan baik untuk bertahan dari segala situasi emosi yang menghadang.

4. Meningkatkan kepedulian terhadap orang-orang di sekitar kita. Mulai belajar menjadi pendengar yang baik, tanpa mengintervensi apapun. Tetapi juga jangan lupa untuk peduli dengan diri sendiri.

5. Rubah paradigma bahwa datang ke psikolog atau psikiater adalah suatu momok yang menakutkan. Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan ini, ternyata masih orang yang menganggap bahwa datang ke psikolog atau psikiater adalah tanda bahwa seseorang mengalami gangguan mental. Padahal belum tentu. Ketika benar sekalipun, artinya orang tersebut telah melakukan tindakan yang benar untuk meminta bantuan pada yang ahli. Poin ini sekaligus seruan kepada pembaca, jangan ragu untuk minta tolong kepada ahlinya ketika merasa bahwa sudah tidak sanggup. Bukan malah mengakhiri hidup. Bisa ke psikolog atau ke psikiater.

Akhirnya, masyarakat khususnya gen Z sebagai pewaris masa depan perlu sadar secara penuh terhadap kesehatan mental ini. Beda zaman, beda tantangan. Tidak perlu mengkomparasi dengan zaman sebelumnya karena tidak akan menghasilkan apa-apa juga. Yang bisa dilakukan adalah menjaga kewarasan berpikir sembari beradaptasi dengan zaman sekarang. Salam sehat mental!

Referensi

Aulia N., dkk. (2020). Faktor Psikologi Sebagai Risiko Utama Ide Bunuh Diri pada Remaja di Kota Rengat Kabupaten Indragiri Hulu. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes. 11 (khusus), hlm. 48-52.

Sakitri, G. (2021). Selamat Datang Gen Z, Sang Penggerak Inovasi. URL: https://journal.prasetiyamulya.ac.id/journal/index.php/FM/article/download/596/393/

Sawitri, D.R. (2023). Perkembangan Karier Generasi Z: Tantangan dan Strategi dalam Mewujudkan SDM Indonesia yang Unggul. URL: https://doc-pak.undip.ac.id/id/eprint/14336/1/C1.a.%20Artikel%20Perkembangan%20Karier%20Generasi%20Z.pdf

Bagikan
Post a Comment