f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
otonomi perempuan

Diskursus Childfree dan Otonomi Perempuan

Hari-hari ini diskursus childfree ramai diperdebatkan masyarakat di berbagai media sosial. Mulai dari tinjauan agama, kesehatan, psikologi hingga bidang-bidang lain yang masih memiliki korelasi dengan isu childfree. Semuanya dibahas dan diskusikan secara menarik oleh para pakar di bidangnya; yang tentu saja semakin memperluas wawasan masyarakat dalam memahami isu ini.

Kemudian, terlepas dari pro dan kontranya, kemunculan diskursus childfree dalam kehidupan masyarakat saat ini paling tidak bisa menjadi angin segar untuk memahami ulang pandangan masyarakat; khususnya dalam keputusan untuk memiliki keturunan dan juga otonomi tubuh perempuan yang lebih banyak didasarkan pada budaya patriarki.

Pandangan Masyarakat

Jika melihat realita, masyarakat kita tentu tidak asing dengan pandangan “banyak anak banyak rezeki”; yang berimbas pada banyaknya anggota keluarga di Indonesia yang memiliki anak lebih dari lima sebelum diterapkannya program keluarga berencana (KB) pada Era Orde Baru. Di mana, kaum perempuan menjadi pihak yang paling sengsara, sebab tidak sedikit para ibu yang meninggal dunia ketika melahirkan, atau bahkan anak yang dilahirkan terkadang juga ikut meninggal (Matanasi, 2019).

Selain itu, sejak dulu kaum perempuan hanya menjadi “objek” dan jarang menjadi subjek dalam urusan-urusan rumah tangga. Termasuk keputusan memiliki keturunan, kesemuanya sebagian diambil alih oleh kaum laki-laki dengan dalih norma agama/budaya (istri harus patuh apapun yang dikehendaki suami) tanpa pernah memberi ruang untuk istri ikut bersuara. Padahal dari proses pra kehamilan, hamil, persalinan, sampai pasca persalinnya semua bebannya ditanggung sendirian oleh perempuan.

Di sisi lain, dengan munculnya diskursus childfree di masyarakat inilah Bagong Suyanto, Sosiolog Universitas Airlangga; melihatnya sebagai perubahan yang signifikan dalam memahami pandangan masyarakat terutama ihwal memandang perempuan. Sebab pada zaman dahulu secara status sosial dan eksistensi, perempuan hanya dipandang dari seberapa banyak dia bisa melahirkan seorang anak. Berbeda dengan kondisi sekarang, keberhasilan perempuan tidak lagi diukur dari ranah domestik saja, tetapi juga berdasar sektor publik seperti karier, prestasi, dan indikator-indikator lainnya (Sholikhah, 2021).

Baca Juga  Sebaik-baik Manusia, Bermanfaat bagi Sesama

Sederhananya, sudah terlalu lama eksistensi perempuan hanya di posisikan pada dapur, kasur, dan sumur. Padahal di era masifnya pertukaran ilmu pengetahuan kini, para perempuan juga dapat ikut berkontribusi dalam pembangunan bangsa sesuai bidangnya masing-masing tanpa perlu terjebak pada pandangan tradisional yang cenderung mendomestikan perempuan.

Otonomi Perempuan

Berkaitan degan fenomena tersebut, pada bulan April lalu untuk pertama kalinya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) merilis laporan yang berfokus pada otonomi tubuh perempuan “My Body is My Own: Claiming the right to autonomy and self-determination” (2021), melalui laporan tersebut PBB melaporkan bahwa di negara-negara berkembang hanya setengah perempuan yang berdaulat atas tubuhnya sendiri, dari mulai masalah seks, perawatan kesehatan atau penggunaan kontrasepsi, para perempuan tidak punya kendali atas tubuhnya. Lebih parahnya lagi proses pengambilan keputusan atas tubuh perempuan biasanya dilakukan oleh pasangan, anggota keluarga, masyarakat bahkan pemerintah. Dan seringkali hal tersebut berasal pada masalah struktural dan sosial masyarakat.

Minimnya otonomi perempuan atas tubuhnya sendiri, yang menurut pandangan Natalia Kanem, Kepala Badan Kesehatan Seksual dan Reproduksi PBB (UNFPA); menjadi akar masalah ketidaksetaraan serta kekerasan yang disebabkan dari diskriminasi gender yang tak berkesudahan di masyarakat (dw.com).

Di sisi lain, pandangan terkait otonomi tubuh perempuan juga sejalan  dengan  tujuan  kemasalahatan bersama yakni  menjaga  diri  dan  keturunan  serta  isu-isu  kesehatan  reproduksi  berperspektif  hak-hak  asasi  perempuan  yang  tertuang  dalam International  Conference  on  Population  and  Development  (ICPD) 1994 di Kairo Mesir.  ICPD menekankan bahwa sebagai pemilik rahim, perempuan memiliki hak untuk menentukan kapan  ia  akan  hamil, seberapa  banyak, seberapa  sering,  jarak  antar  kehamilan,  bahkan berhak menentukan kehidupan seksualitas yang nyaman serta bebas dari rasa sakit, tekanan, atau paksaan (Muthmainnah, 2019).

Baca Juga  Catatan Reflektif di Hari Kartini: Kekerasan terhadap Perempuan, ‘Diam’ itu Bukan Lagi Emas

Maka dari itu upaya peningkatan otonomi perempuan atas tubuhnya menjadi pekerjaan urgent bagi masyarakat luas; terutama untuk urusan memiliki, menunda, ataupun tidak memiliki keturunan menjadi keputusan bersama yang harus dijalankan secara sadar serta adil antar pasangan suami-istri. Mulai dari menentukan jumlah anak, jarak kelahiran tiap anak; hingga kesiapan ibu untuk memiliki atau tidak memiliki anak, perempuan/istri perlu dilibatkan secara aktif berkaitan hal tersebut.

Terakhir, hadirnya diskursus childfree baik yang diwakili oleh kaum laki-laki maupun perempuan di beberapa media sosial akhir-akhir ini, tak bisa hanya dipandang sekadar keputusan untuk memiliki atau tidak memiliki anak semata. Tapi lebih jauh dari pada itu yakni masyarakat semakin sadar bahwa dalam urusan memiliki keturunan (anak) perlu perencanaan matang; tidak bisa sekadar menelan mentah-mentah pandangan “banyak anak banyak rezeki” tanpa ada perencanaan serta usaha sedikit pun. Terlebih setiap anak yang terlahir ke dunia memiliki hak-hak yang perlu dipenuhi secara layak oleh para orang tua.

Referensi

Matanasi, P. (2019). “Sejarah KB dan Ide Dua Anak Cukup dari Era Sukarno sampai Soeharto”,  https://tirto.id/sejarah-kb-dan-ide-dua-anak-cukup-dari-era-sukarno-sampai-soeharto-ecJj, diakses pada 29 September 2021.

Muthmainnah, Y. (2019). ‘Aisyiyah dan Ijtihad Berkemajuan Hak-Hak Perempuan. MAARIF, 14(2), 114-134.

PBB: Hanya Setengah Perempuan di Negara Berkembang yang Berdaulat Atas Tubuhnya Sendiri. (14 April, 2021). https://www.dw.com/id/pbb-rilis-laporan-tentang-otonomi-perempuan-atas-tubuhnya/a-57195278.

Sholikhah, N. (2021). Prof Bagong Nilai Fenomena Childfree sebagai Perkembangan Baru Perempuan. http://news.unair.ac.id/2021/08/26/prof-bagong-nilai-fenomena-childfree-sebagai-perkembangan-baru-perempuan/, diakses pada 30 September 2021.

Bagikan
Comments
  • Yetti R

    Terima kasih. Saya sependapat, bahwa memiliki anak juga harus membuat perencanaan yang matang. Agar kelak mereka dapat bertumbuh dengan kebahagiaan bukan kesengsaraan. Salam kenal.

    Oktober 10, 2021
Post a Comment