Cermin Lansia
Kurampas jemari waktu
Di sela-sela fajar berpamit diri
Ia tak berontak, tak sempat berujar namun dan tapi
Tak ada perlawanan sengit yang berarti
Tak ada rotasi yang memburu kelaliman tak bertepi
Jujur raut wajahnya sama sekali
Meski adanya segar berganti pucak pasi
Telah kucoba berkali-kali
Kubunuh nadi waktu dengan keji
Tanpa peduli
Tanpa setetes derma patut dikasihani
Lagi dan lagi
Ia tak pernah mau mati
Tak pernah ada secuil cerita tentang ironi
Pun telah sekian kali dilecehkan hadirnya tak ubah anak tiri
Oleh kaum pemalas di pagi hari
Pembuat onar dan anarki
Oleh aktivis pemuja aksi
Dan mereka-mereka yang doyannya merebahkan diri
Namun tetap saja hatinya berbalut suci
Tak ada ruang untuk membenci
Tak ada masa untuk murka atau kehendak melukai
Baginya terjaga dalam ruang adalah upaya memberi dan memberkati
Atas nikmat Tuhan teruntuk disyukuri
*
Hidupnya bukan sekadar menguap mati
Bukan membucit perut lantas korupsi
Bukan gelimang instan terus mencuri
Namun tegas berproses payah mencari
Kemudian terus menjadi
Senantiasa memapah antusias jiwa-jiwa yang keras dalam mewujud mimpi
Jiwa yang berikhtiar dalam senyapnya sepi
Yang benar-benar tak pernah mau terpojok karena rangkai belenggu caci
Jiwa nun jauh dari kata kompromi
Jiwa itu bergelayutan dalam semayam diri
Di ujung pangkal nurani
Dalam setiap insani
Pun sejak itu keputusannya sibuk membulatkan diri
Bergumul dengan tanda-menandai
Bermufakat teruntuk iring-mengiri
Menjelma anugerah nan lepas meliputi
Waktu berjalan melintas kerutan dahi
Segaris dua garis terus menyusun kadar usia rekapitulasi
Keriput jelas di sana-sini
Kedua kantung kelopak mata bahkan tak kencang lagi
Berganti Minggu kian tajam menunjukkan ketuaanmu di saban hari
Berselang bulan hitam rambut memudar bercampur tamparan putih tepung kanji
Kupikir itu hanya ilusi
Saat berhadap cermin ubannya tak terhitung lagi
Bahkan kian beringas dan menjadi
Menjadi putih seutuhnya hingga ke tepi
Tak mampu ditutupi
*
Ingatanku tumpul dengan sendiri
Mungkin di paruh sisa-sisa nafas hidupku akal tak cakap lagi dalam mengenali
Tak mengingat nama dan rupa anak, saudara pun isteri
Memori indah mau pun kusumku tak pernah utuh kembali
Berusaha kugenggam erat namun tak pernah terpenuhi
Pandanganku tak ampuh lagi
Apa-apa yang kulihat seolah-olah melulu beranjak pergi
Enggan kukenali, enggan kupahami
Buram, semuanya tampak menjauhkan diri
Kejernihan pandangan itu telanjur kukhianati
Tak pernah kusyukuri
Telingaku tak berdenging lagi
Semua ocehan itu sesaat menjadi basi
Ingin rasanya menikmati tawa jahil budak kecil bersorak-sorai
Cacian tetangga karena sakit gigi pun kucari-cari
Bahkan hujatan tak henti-henti itu kurindui
Ingin dan ingin lagi aku bebas menari
Memutar-mutar pinggul riang tak henti
Dan nyaring musik itu benar-benar adanya merasuki
Namun kedua kaki tuaku tak sempat lagi
Lumpuh telah menggerogoti
Semua telah terukir karena waktu yang telah kulewati
Menanggalkan cerita-cerita hidup yang tak pernah mampu kuulangi
Sekarang dan nanti
Biar kutitipkan rekam jejak itu kepada siapapun yang mau membaca dan mengenali
Hingga sampai pada benak cucu dan cicitku nanti
Tulungagung, 25 Januari 2021
Penulis adalah lulusan Pascasarjana IAIN Tulungagung. Beberapa coretan penanya sering nangkring di kompasiana.com, qureta.id, tokohpopuler.com, kaskus.id dan artikula.id. Untuk lebih dekat, silakan sapa penulis di akun Fb, Ig dan Twitter dengan nama Dewar Alhafiz.