Site icon Inspirasi Muslimah

Cerita Keteladanan Eyang Sri

eyang

Hary Kresnawati

Sore itu saya dan suami mengunjungi teman yang baru saja memperoleh anak kedua, om Hasan dan tante Hesti. Saya ajak anak bungsu kami. Dia senang sekali kami ajak menjenguk debay yang lucu dan imut-imut, kegirangan layaknya akan melihat boneka.

Adek bayi tidur di kasur di ruang tengah yang sekaligus juga menjadi ruang tamu karena perumahan berukuran kecil. Tampak handai taulan yang menjenguk mengelilingi bayi,  menyambut dengan bahagia dan penuh suka cita. Tante Hesti duduk di pinggir memandangi anandanya yang tidur pulas.

Seorang nenek yang sudah lanjut usia namun terlihat masih sehat dan kuat menyambut kami dengan ramah. Saya baru menjumpai ada seorang nenek lanjut usia yang seramah ini pada para tamu. “Saya Sri, eyang Hesti,” sapa beliau. Usianya sudah 80 tahun lebih, tetapi mata dan telinga masih berfungsi bagus.

***

Saya tidak tahu kebiasaan apa yang dia lakukan sehingga pada usianya yang renta masih terlihat kuat dan sehat. Hanya dari performance-nya saya tahu, kelihatannya dia bukan tipe pemarah, banyak menerima serta murah senyum. Pantas kalau beliau panjang usia dan masih sehat terpelihara, pikir saya.

Eyang Sri bercerita bahwa kedatangannya ke rumah tante Hesti tidak sengaja. Sebenarnya beliau mau minta tolong tante Hesti untuk mengantarnya menabung di bank karena beliau perlu bantuan orang untuk tanda tangan pada slip setoran.

Begitu kebiasaan nenek Sri setiap habis menerima uang pensiunan, dari mulai pertama menjadi PNS dulu, dan hal itu terus berlangsung sampai sekarang, papar beliau. Ketersediaan keuangan yang terkelola dengan baik membuat beliau tidak pernah meminta bantuan anak atau cucu untuk mencukupi kebutuhan.

***

Gaya hidup yang sederhana telah menempatkan eyang Sri pada posisi aman dalam hal keuangan. Semua kebutuhan Eyang Sri cukupi sendiri, bahkan di usia yang bukan lagi tua tetapi renta beliau berencana akan mengambil rumah kecil untuk tabungan, sungguh amazing.

Berbeda sekali dengan beberapa generasi setelah beliau.  Kebanyakan orang mengeluarkan uang bukan lagi untuk kebutuhan primer semata tetapi sudah bergeser pada gaya hidup, penerimaan, dan penghargaan fisik. Gaya hidup yang bersahabat dengan kredit dan terjebak pengeluaran yang melebihi budget.

Kita tahu betapa sulitnya arti penerimaan sosial dan ekonomi bagi seseorang dalam sebuah komunitas tertentu. Tidak aneh jika berbagai macam cara ditempuh. Di antaranya dengan membeli barang-barang, perhiasan, kendaraan apalagi jika ada rasa ingin memperoleh pengakuan bahwa seseorang tersebut mapan.

Saat kita merasa cukup penghasilan, manusiawi ingin mencukupkan semua kebutuhan. Bahkan lebih dari itu memuaskan keinginan yang semula tidak dapat terbeli. Mereka membeli dan mencicil apa saja yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan tanpa mengganggu arus keuangan.

Tidak terlalu menyalahkan, dulu saya sendiri sering khilaf untuk membeli dan mendadak merasa butuh. Biasanya ketika jalan-jalan di pertokoan, ada diskon khusus untuk barang-barang eyecatching, lapar mata ya mana tahan untuk tidak mengambil. Dompet urusan belakang, semoga hanya saya saja yang demikian.

***

Sebenarnya sekarang konseling megenai pengelolaan keuangan sudah banyak dan mudah untuk diakses. Bagaimana kita terlatih supaya tidak lebih besar pasak daripada tiang. Meskipun pada pelaksanaannya tergantung tekad dan kemauan masing-masing individu untuk komitmen bersikap sederhana. Ketika kondisi jatuh, begitu sulitnya mencari pinjaman karena rata-rata menggunakan jaminan.

Jangan sampai terjebak pinjaman yang tidak mungkin kuat untuk membayar. Ingat berita viral megenai pinjaman online belum lama ini, pintu masuknya berawal dari salah satu bentuk kemudahan pinjaman.

Hampir semua lembaga keuangan dengan manisnya menawarkan kemudahan jaminan. Tetapi perlu kita ingat, yang berat itu membayar. Ketika uang sudah habis untuk hidup, barang sudah rusak kita pakai, bahkan ada yang hilang tetapi pihak lain tidak peduli, pinjaman adalah pinjaman yang wajib untuk ditunaikan.

***

Kadang kita tidak sadar, pada saat kita mampu membeli sebenarnya hanya pada titik keuangan dasar. Pada saat itu orang cenderung merasa mapan, dan terpancing membelanjakan apa yang menarik baginya, tanpa persiapan kebutuhan lain.

Sering kali orang lupa untuk menabung, menyisihkan sebagian rizkinya untuk sedekah sebagai rasa syukur. Boro-boro untuk dana tidak terduga, darurat kesehatan, sakit kritis, kecelakaan, kehilangan pekerjaan akan sangat jauh dari pikiran (bagi orang-orang yang sebetulnya dapat membeli proteksi kesehatan dan melakukan saving).

Banyak di antara kita berprinsip apa yang terjadi terjadilah, itulah takdir. We are the ethernal risk taker (kami siap ambil risiko apapun), kebanyakan dari kita adalah pengambil risiko yang membutakan mata akan kemungkinan buruk yang dapat terjadi.

***

Saya yakin eyang Sri tidak mengetahui apa itu risiko, apa itu investasi, apalagi proteksi, karena pada masa itu belum ada konsultan keuangan, seperti Safir Senduk, Prita Ghozie, Ligwina Hananto, Aidil Akbar atau lainnya. Tetapi beliau sudah memahami pengelolaan keuangan dengan keterbatasan logika dan proyeksi masa depan.

Cerita eyang Sri sudah mengingatkan kita dan memberi contoh yang baik untuk hidup bersahaja. Menabung sangat penting, dan seyogyanya dibudayakan sejak masa anak-anak, supaya generasi muda kita menjadi kokoh dalam. mempersiapkan masa depan dan kuat menghadapi goncangan ekonomi.

Bukan kah tidak nyaman jika hidup kekurangan karena kesalahan gaya hidup kita sendiri. Jangan dibiasakan lebih besar pasak daripada tiang. Kalau eyang Sri yang sudah renta saja sudah dapat mengelola keuangan dari pendapatan beliau, bagaimana dengan kita? Semoga prinsip ekonomi dan persiapan dana tak terduga mulai dipikirkan dari sekarang.

Bagikan
Exit mobile version