f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
memperjuangkan keadilan gender

Bukan Cuma Perempuan, Laki-Laki Juga Perlu Memperjuangkan Keadilan Gender Sejak dari Pikiran

Harus diakui bersama bahwa pandangan masyarakat terhadap gender sungguh amat timpang. Misal, pergi ke pasar hanya untuk perempuan saja. Alhasil, ketika saya yang merupakan laki-laki ini memutuskan untuk pergi ke pasar, seringkali mendapat pandangan yang “beda”. Acap kali bahkan dianggap “pintar” hanya karena mau pergi ke pasar saja.

Itu baru hal yang sederhana. Belum lagi urusan domestik. Ada peraturan tidak tertulis yang menyatakan bahwa perempuan dianggap sebagai penanggung jawab penuh terhadap urusan rumah. Mulai dari memasak, bersih-bersih, sampai merapikan barang-barang yang ada di rumah.

Karena itu, harusnya kita tidak perlu kaget ketika ibu selalu tahu letak barang-barang yang kita cari. Ya, gimana, yang menata seluruh barang di rumah kan ibu, walhasil ia sangat paham letak barang ketika kita kehilangan.

Jika dibahas lebih jauh, di kampung saya (dan kebanyakan wilayah lain) menganggap bahwa setelah perempuan menikah, ia harus fokus sebagai ibu rumah tangga, dan hanya mengerjakan tugas-tugas domestik saja setiap harinya. Iya, perempuan seringkali tidak punya banyak pilihan.

Sedikit cerita, saya pernah mendengar obrolan sepasang suami istri di sebuah tempat pangkas rambut. Awalnya, si Istri sambat kalau ia ingin kerja saja, kemudian dijawab sama si Suami, ia mengatakan kalau tidak ingin merepotkan istrinya. “Aku mencari istri, bukan pembantu”. Seperti itu kira-kita kalimatnya.

Meski agak random mendengar obrolan seperti itu di sebuah pangkas rambut, tapi saya mencoba merenungkan substansi dari obrolan tersebut. dalam pandangan saya, si Perempuan merasa butuh aktivitas tambahan atau aktualisasi diri agar tak merasa “terkurung” dalam rumah, akan tetapi si Laki-laki merasa kalau melarangnya dengan alasan hal tersebut adalah caranya untuk memanjakan istrinya.

Baca Juga  Problematika Gender: Berhenti Saling Meninggi, Mari Saling Merangkul

Jujur, saya tidak mempermasalahkan keputusan mereka. Tentu saja tidak masalah, lha wong itu juga kesepakatan tiap pasangan, ya kan?

Namun emosi saya agak berkecamuk ketika ada anggapan kalau tugas mengurus rumah dianggap sepele dan mudah untuk dilakukan, apalagi suami merasa tidak perlu melakukannya karena sudah bekerja dari pagi sampai sore. Dikira mengurus rumah mudah apa gimana?

Saya memang bukan perempuan atau ibu rumah tangga, tapi saya paham bagaimana beratnya mengerjakan tugas rumahan. Sebab saya adalah tokoh utama yang mengurus rumah sejak ibu saya meninggal. Karena itu saya kurang terima jika pekerjaan rumah dianggap mudah dilakukan.

Selain itu, bagi saya budaya yang mengkotak-kotakan tanggung jawab ini justru merugikan laki-laki, lho. Kok bisa?

Begini, sedikit cerita, saya adalah anak laki-laki yang dibesarkan dengan “budaya” ketimpangan tersebut. Iya, dulu ibu saya adalah penanggung jawab urusan domestik dalam rumah tangga. Beliau yang mengurus segala sesuatunya. Saya bahkan hampir tidak pernah disuruh untuk menyapu, mencuci, atau pergi ke pasar.

Namun, ketika ibu saya meninggal, saya merasakan dampak yang luar biasa. Selain kesedihan, saya juga merasa kesulitan untuk mengurus rumah. Ya, gimana, dulu tidak pernah dibiasakan melakukan ini-itu, akhirnya sekarang kelimpungan. Pada bagian ini, saya merasa bahwa patriarki juga merugikan laki-laki. Dan saya juga setuju kalau konsep keadilan gender sangat perlu diterapkan sejak dari pikiran.

Saya membayangkan, jika dulu saya sudah dibiasakan untuk melakukan hal-hal domestik, tentu saya nggak mungkin kesusahan seperti saat ini. Bagi saya pembiasaan tersebut harus dilakukan sejak dini. Karena jika nantinya ibu “pergi” lebih dulu, rumah tangga tetap akan berjalan sebagaimana mestinya.

Baca Juga  1000 Hari Pertama Kehidupan si Kecil

Bukan cuma itu. Bapak saya juga kesusahan berbagi peran. Sebab, tidak terbiasa mengurus rumah. Hal ini membuat beberapa orang menyuruh bapak saya untuk menikah lagi agar ada yang mengurus.

Jujur, saya tidak masalah kalau bapak saya menikah lagi. Tapi alasan menikah biar ada yang ngurus hidupnya ini sangat perlu dipertanyakan. Maksud saya, apakah tanpa sosok perempuan, laki-laki tidak bisa mengurus diri sendiri?

Meski demikian, memang perlu diakui bahwa ada banyak lelaki yang ketika menikah, ia menggantungkan segala urusan rumah tangga pada istrinya. Alhasil, kemampuan mengurus diri menjadi tumpul. Sebab, sudah terbiasa bergantung. Dan ketika akhirnya si istri “pergi”. Ia jadi kesusahan untuk melanjutkan hidup.

Dari sini, saya sangat mendukung pembagian peran dalam urusan domestik. Ini bukan soal feminism, atau adu kuat-kuatan. Ini hanya upaya agar kita selalu bisa hidup dengan berdaya dan tanpa ketergantungan.

Bagi saya, jika dalam rumah tangga peran domestik ini bisa dibagi dengan setara, seorang istri akan sangat bisa mengembangkan potensi dirinya. Dan tentu saja, jika seorang ibu yang merupakan madrasah awal bagi anak-anaknya ini dapat memaksimalkan potensi dirinya, tentu akan lahir dan tumbuh anak-anak yang potensinya akan maksimal pula.

Jika hal ini dilakukan secara berkala, saya kira peradaban umat manusia akan lebih baik lagi. Iya, mari memperjuangkan keadilan gender sejak dari pikiran.

Bagikan
Post a Comment