f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
bersaksi

Bersaksi

“Tidak; Tidak; Tidak. Aku tidak ingin mengabadikan momen ini dalam bentuk sebuah foto.” Gumamnya sendiri waktu itu.

Setiap orang yang beragama Islam diwajibkan menyempurnakan rukun agamanya, tentu disyaratkan bagi yang mampu. Mendatangi kota Mekah lalu berziarah ke makam Nabiyullah. Ziarah merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Arab. Kata ziarah memiliki makna berkunjung. Jika kita berziarah sejatinya kita telah berkunjung. Di masyarakat luas ziarah identik dengan bepergian mendatangi sebuah makam khusus yang masyarakat sekitar nobatkan sebagai makam keramat. Berdoa kepada Allah di makam para hamba yang menjadi kekasih-Nya.

“Hai, kenapa kamu pulang hanya untuk makan lalu pergi lagi untuk mengajar menjadi guru les privat?”

“Iya karena aku punya mimpi yang harus aku wujudkan.”

“Mimpi apaan yang ingin segera kamu wujudkan? Menikah?”

“Dih, kamu mikirnya mulu. Dah sana kamu buruan nikah gih!” cetus temanku.

“Ha-ha-ha,” aku ketawa saja.

“Aku ingin menuju ke Makkah,” katanya lirih selepas menyedot es tehnya yang masih penuh. Dia menghela nafas. Membuang pandangannya jauh di luar, “aku ingin menyempurnakan rukun agamaku,” katanya lagi sambil meletakan kembali minumannya di meja.

Aku tidak memberikan reaksi apapun selain memasang telinga baik-baik guna mendengarkan dia berbicara. Sementara tangan dan mulutku sibuk menghabiskan makanan yang masih tersisa.

Temanku namanya Dewi. Dia adalah teman yang awalnya kami saling menunggu dosen pembimbing skripsi. Kami berbeda dalam mengambil program studi. Hanya saja kami ditakdirkan satu fakultas. Kampus negeri di bawah naungan Kementerian Agama. Aku dan dirinya berbeda kepercayaan. Dewi setiap pagi menyibukan dirinya di sekolah. Menjadi seorang guru paruh waktu. Dia mengajar di sekolah negeri hanya ingin menyelamatkan database pribadinya di Kementerian Pendidikan. Dia sudah beberapa kali pindah tempat mengajar. Karena beberapa faktor.

Alasan Dewi keluar dari sekolah swasta karena pimpinan dari sekolah tersebut melakukan hal-hal yang sudah menjurus ke ranah korupsi. Gaji yang seharusnya ia terima tidak sesuai dengan nominal di surat perjanjian kerja. Tidak lebih dari dua bulan Dewi bersama satu temannya mengundurkan diri dari sekolah tersebut. Mereka merasa hak-haknya tidak terpenuhi sementara tenaga terus dimanfaatkan oleh pimpinan untuk mengajar secara lebih.

Baca Juga  Terwujud Tidak Terwujud, Tetaplah Bersujud

Setelah Dewi resign, aku mendapat kabar dari seorang teman yang dulunya ketika di kampus menjadi adik tingkat. Dia ternyata setelah wisuda menjadi pengajar di sekolah swasta yang mana Dewi pernah mengabdikan tenaganya di sana. Tidak ada satu bulan, teman adik tingkatku itu juga resign. Dari cerita mereka aku bisa menyimpulkan bagaimana sikap dan perilaku pimpinannya di sekolah swasta tersebut.

“Eh, emang mahal ya kalau ke Mekah?” tanyaku polos kepada Dewi.

“Iya mahal, ibadah yang membutuhkan biaya banyak bagi orang pemeluk agama Islam ya itu, ibadah haji itu. Makanya di kitab suci kami dilanjutkan ayatnya bagi yang mampu. Dalam artian ya mampu fisik, psikis, dan finansial.”

“Emmm, gitu ya.”

“Kamu mau ikutan aku ke sana?”

“Heeeeh, ngaco kamu! Keyakinan kita berbeda kali…,” 

“Ha-ha-ha-ha,” tawa kami mengudara.

“Iya enggak apa-apa kali, itung-itung kamu bawain koper barang bawaanku.”

“Kamu kira aku babumu,” kami berdua semakin cekikikan.

***

Tahun sudah berganti. Hampir dua tahun Dewi menjalani hari-harinya menjadi seorang guru les privat. Seminggu bisa tujuh sampai sembilan lokasi. Kali ini dia ingin mengistirahatkan tenaga dan pikirannya. Hanya lima rumah yang dia datangi. Setiap rumah minimal dua anak yang ikut belajar dengan dirinya. 

Hari akhir pekan. Aku baru saja menyelesaikan rutinitas doa pagi. Telepon genggamku di atas meja berdering. Dewi menelepon.

“Hallo, Wi. Tumben pagi-pagi udah telepon?”

“Doa pagimu sudah selesai?”

“Yeeee, ditanya malah balik nanya. Dasar. Sudah ini barusan,” jelasku sembari duduk di kursi yang berada di dekat meja. “Kenapa?” lanjutku bertanya.

“Hari Rabu depan aku berangkat ke tanah suci.”

“Syukurlah. Selamat beribadah di sana. Sehat selalu. Jangan lupa kabar-kabar.”

“Yakin nih nggak pengen ikutan jalan-jalan?”

“Gilaaa kamu, Wi. Orang kamu mau ngibadah kok ya ngajak jalan-jalan.”

“Gini, kan aku di sana selama empat puluh hari. Apa iya aku tiap jam, tiap menit, tiap detik menggunakan itu semua untuk beribadah? Kagaaak. Ada saatnya untuk istirahat. Di sela waktu kita bisa itu manfaatkan untuk jalan-jalan santai di Semenanjung Arab. Kalau mau nanti kamu kubeliin tiket penerbangan. Tidur bisa satu hotel sama aku.”

Baca Juga  Hayati dan Biola Kesayangannya (1)

“Enggak ah, ngabisin duit doang.”

“Memang!”

“Sombong.”

“Biarin…, sombong sama kamu tuh harus. Aku mau ngabisin duit di sana, bantu aku gih ngabisin duit aku,” terangnya diiringi gelak tawa yang menggema.

“Ntarlah aku pikir-pikir dulu.”

“Awassss nanti nyesel.”

Klik. Telepon dimatikan.

***

Hari itu Dewi berangkat ke Arab Saudi. Sebelumnya diadakan acara pemberangkatan ibadah haji di tanah suci. Dewi bersama kedua orangtuanya berpamitan dengan keluarga besar mereka.  Suara azan berkumandang. Pernah aku bertanya pada Dewi mengapa orang hendak berangkat haji ada acara adzan segala. Dia menjelaskan kepadaku, katanya orang berangkat ibadah haji itu seperti mengantarkan jenazah ke lokasi pemakaman. Sebab dahulu, orang-orang Indonesia ketika musim haji datang, mereka bepergian ke tanah suci melewati jalur lautan. Menaiki perahu dan kapal. Dalam perjalanan tersebut bisa saja kapal terombang-ambing di tengah-tengah lautan. Diterpa angin kencang. Dihantam gelombang ombak yang menakutkan.

Ketika keadaan tersebut sedang terjadi, perjalanan berada di antara hidup dan mati. Sehingga ketika selama enam bulan tidak ada kabar bisa dipastikan keluarga yang sedang melakukan perjalanan ibadah haji bisa dianggap meninggal. Biarpun tidak jarang orang dahulu selain beribadah haji ada pula yang menetap di sana beberapa bulan untuk menimba ilmu kepada para ulama besar di Timur Tengah. Begitu kiranya Dewi menjelaskan kepadaku.

Aku kembali tersadar setelah hanyut dalam diriku sendiri, membayangkan kapal yang sudah karam menyimpan jenazah yang tenggelam.

Menyaksikan keluarga Dewi saling berpelukan. Diiringi bacaan pujian-pujian terhadap Sang Penguasa Alam. Hati ini ikut tersentuh. Kulihat Dewi telah mengalirkan air mata. Entah air matanya itu mengandung arti bahagia atau kesedihan aku kurang paham. Karena dia tersenyum ketika melihat aku sedang duduk di salah satu sudut rumahnya. Lalu aku berdiri menyambutnya. Kami berpelukan. Tak terasa pipiku pun basah.

Sebulan sudah terlewatkan. Dewi tidak memberiku kabar. Aku pikir Dewi sedang sibuk beribadah. Membiarkannya fokus memanjatkan doa-doa kepada Tuhannya.  Setelah sebulan tanpa ada kabar dari Dewi. Aku berusaha menghubunginya. Di sini siang hari. Di sana masih pagi. 

Baca Juga  Tugas Akhir Tetapi Tidak Mengakhiri

“Hallo, Wi.”

“Hai, kamu apa kabar?”

“Kabar aku baik. Sehat.”

Setelah beberapa menit kami berbicara. Akhirnya aku memutuskan untuk memesan tiket penerbangan ke Jeddah. 

Sesampai di Jeddah, aku menelepon Dewi. Tidak lama kemudian sebuah taksi datang berhenti tepat di depanku. Seseorang keluar dari dalam mobil, ternyata Dewi.

Lalu aku masuk ke dalam mobil yang sama. Dewi mengajakku ke hotel yang ia singgahi. Awalnya seorang petugas hotel menghentikan langkah kami. Tentu awalnya mengira aku bakal tidak diperbolehkan masuk. Karena cukup sadar aku dan Dewi berbeda keyakinan. 

Setelah menyaksikan Dewi berbicara dengan petugasnya menggunakan bahasa Arab beberapa saat, dia kembali berjalan ke arahku yang berdiri termangu.

“Tenang, aman. Yook, masuk,” ajaknya.

Pemandangan yang menakjubkan dari atas hotel. Orang-orang dari berbagai penjuru dunia menghadap ke satu titik. Ka’bah. Kotak persegi yang terbalut kain hitam. Tiba-tiba mulutku berkata. “Dewi, antarkan aku ke sana,” pandangan kedua mataku kulempar ke arah yang aku maksud. 

Dewi paham dengan tempat yang aku maksud. Lalu dia tersenyum dan bangkit menuju ke sebuah almari. Membukanya dan mengeluarkan sebuah kain. Lalu dia melangkah pelan dan menggerakan kedua bibirnya. Seperti membaca mantra. Berzikir mungkin, entah apa yang ia baca.

Tubuhku berkeringat dingin. Inilah kali pertama aku menapakan kaki di masjid. Sekali menapakan langsung di Masjidil Haram. Kakiku bergetar ketika memasuki masjid yang megah ini. Pemandangan yang semula dari kamar hotel tampak banyak manusia. Kini entah mengapa seperti tidak ada orang yang berjalan atau lewat di depanku yang sedang berdiri. Dewi ada di sebelah kananku. Dia hanya diam. Aku melangkah pelan. Pelan, pelan, pelan. Kakiku semakin tidak kuat menopang tubuhku ketika diri ini sudah berada di depan Ka’bah tanpa ada seorang pun yang menghalangi pandanganku. Seketika aku bersujud di depan Ka’bah. Suara lirih nan merdu terdengar oleh telingaku. Seorang suara itu menuntunku, lalu aku menirukan suara itu, “Asyhadu An Laa Ilaaha Ilaallah, wa Asyhadu Anna Muhammadar Rosulullah.”

Bagikan
Post a Comment