f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.

Allah Itu Bukan Laki-laki

Dulu semasa saya kecil, saya sering kali memikirkan hal-hal yang di luar logika, ya namanya juga anak-anak, terkadang imajinasinya bisa sangat liar. Segala hal metafisis, hantu, malaikat dan hal-hal metafisik semua telah pernah saya fikirkan, tidak terkecuali Tuhan. ya namanya juga anak-anak.

Ketika mendengar kata Allah sering kali saya terbersit pertama kali dengan gambaran laki-laki berwibawa yang dipenuhi cahaya. Tak lupa auranya yang sangat positif dan berwibawa. Tapi yang saya heran dewasa ini kenapa wujud yang terbesit pertama kali itu adalah sosok laki-laki, kenapa bukan perempuan?

Lalu di beberapa kesempatan saya mengisi diskusi saya kemudian bertanya kepada peserta tentang hal ini, ternyata mereka juga serentak menjawab laki-laki. Tentunya dengan gambaran wujudnya masing-masing. Barangkali pembaca juga punya pengalaman yang sama tentang wujud Allah yang pertama kita pikirkan waktu kecil dulu.

Ini menjadi menarik untuk kita bahas, walaupun kita sama-sama tahu bahwa Allah itu tidak berjenis kelamin dan tidak beranak pinak. Referensinya adalah surah yang sudah kita hafal di luar kepala, atau bahkan refleks ketika salat lima waktu, yakni Al-Ikhlas. Namun disisi lain kita bisa menelisik mengapa hal ini bisa terjadi.

Kesalahan Kita Memaknai Allah

Allah sebagai zat yang menguasai alam semesta tentunya adalah satu-satunya zat yang mempunyai kekuasaan mutlak atas ciptaannya. Oleh karenanya pada zat Allah terdapat sifat yang maha kuasa, maha bijaksana, maha kuat dan maha-maha yang lainnya yang kita kenal dengan Asmaul Husna. Sayangnya kita belum tuntas memahami Allah lewat Asmaul Husna tersebut.

Kata Haidar Baghir dalam bukunya, Manifesto Islam Cinta kita selalu memahami Allah dengan sifat yang keras, tegas dan perkasa, sedangkan di luar itu Allah juga memiliki sifat-sifat yang identik dengan sifat lembut, indah dan penyayang. Hal inilah yang kemudian membuat kita berpikir bahwa Tuhan adalah sosok laki-laki dengan segala macam ciri kelaki-lakiannya.

Baca Juga  Kanaah dalam Bekerja

Selain itu kita kerap berpikir bahwa sifat lembut, penyayang dan indah adalah milik perempuan yang lemah, sedangkan zat yang maha kuasa itu tak mungkin memiliki sifat yang kita tafsirkan lemah itu dalam satu wujud. lagi-lagi ini adalah sebuah kesalahan pemahaman dalam diri kita.

Budaya Patriarki yang Mendarah Daging

Yah lagi-lagi patriarki atau apasih dikit-dikit patriarki, kata-kata itu biasanya dilontarkan kawan saya ketika sedang mencoba melihat sebuah persoalan dari sisi gender. Mau tidak mau memang ini adalah persoalan yang akut dalam budaya kita, budaya yang memberikan laki-laki banyak keuntungan dibanding perempuan. Mereka belum paham bagaimana budaya ini mempengaruhi segala aspek kehidupan kita. Termasuk dalam kita menafsirkan bentuk Tuhan waktu kita kecil.

Budaya yang patriarki ini secara tidak sadar membuat tatanan sosial kita berpihak pada laki-laki serta apa-apa yang terdapat padanya menjadi suatu hal yang istimewa, semisal sifat-sifat yang saya jelaskan tadi. Kita sampai dengan tidak sadar hanya melabeli Allah dengan sifat laki-laki yang keras dan tegas, padahal disisi lain ada sifat lembut dan indah.

Kata seorang filsuf bernama Jonh Locke pada abad 17 tentang teorinya yaitu Tabula Rasa di mana setiap orang yang lahir didunia ini selayaknya kertas kosong, pada akhirnya lingkungan sekitarnyalah yang mempengaruhi dirinya itu. Dewasa ini kita bisa dengan mudah membaca masa lalu seseorang berbekal ilmu Psikologi yang agaknya hari ini cukup punya panggung di masyarakat. pada intinya pengalaman kita waktu kecil bisa dikatakan sangat patriarkis sehingga memunculkan pikiran semacam itu.

Bagaimana Implikasinya?

Bicara masalah implikasi atau dampaknya maka agaknya kita perlu mengetahui seberapa jauh hal ini berpengaruh. Pandangan yang patriarkis ini seperti yang sudah dijelaskan sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, tidak terkecuali agama.

Baca Juga  Untuk Apa Berdoa, Jika Allah Mahakuasa?

Maka jangan heran ada orang yang memilih cara beragama yang keras dan sangar. Saling pukul, membentak dan yang paling nekat saling bunuh. Hal-hal besar ini tentunya tidak hadir dalam waktu sehari semalam. Ini bisa terjadi berkat akumulasi pemahaman dan pengalaman sejak dirinya kecil. Dia terbiasa memamahami agama dengan keras dan kaku sehingga memunculkan perilaku beragama yang keras.

Padahal Islam sendiri adalah agama cinta, segala aspek tentang kita berkehidupan tak lepas dari cinta. Saya coba ambilkan salah satu dalil dalam kitab Arbain karya Syaikh An-Nawawi;

“Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat baik atas segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Maka hendaklah seseorang menajamkan pisaunya dan membuat senang binatang yang hendak disembelih” (H.R Muslim No. 1955)

Kalau tidak didasarkan rasa kasih sayang dan lemah lembut, hemat saya hadis yang Rasul keluarkan tidak akan berbunyi seperti itu. Jelas sekali bahwa Islam, sebagai agama memerintahkan pemeluknya untuk senantiasa berlaku lembut dan penyayang. Islam sama sekali tidak memerintahkan kita untuk mencaci, mencela, menghardik, menindas, mendiskriminasi dan membunuh orang lain. Perlu kita pahami bersama bahwa nilai universal Al-Qur’an tidak mungkin berlawanan dengan keadilan.

Kita harus sesegera mungkin mengganti kacamata kita dengan kacamata cinta sehingga segala aktivitas dan perilaku yang kita lakukan tidak terlepas dari cinta tang terkecuali dalam beragama.

Bagikan
Post a Comment