f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
bibi lastri

Aku dan Bibi Lastri (1)

Kota Tua. Ini kedua kalinya aku kemari bersama kak Pijar. Kami berdua bertekad menyambung silaturrahim untuk keluarga besar. Hanya berdua naik kereta, tidak dengan ayah, ibu, ataupun adik-adikku. Uang tabungan ibu dan kak Pijar akhirnya ludes untuk perjalanan. Sudah satu minggu Idul Fitri terlewat, namun nuansa hari raya masih terasa hangat menyapa kami. Nenek dan sanak saudara lain menyambut kami dengan suka cita. Menanyakan kabar orang tua, adik-adikku, dan menanyakan kapan orang tuaku juga kemari. Kak Pijar dengan cepat membaur, menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan, sedang aku hanya tersenyum kecil membalas sapaan.

  “Nak, Lail…”

Aku menoleh, melihat seorang bibi tersenyum hangat ke arahku. “Sudah besar ya,” ucapnya sembari menepuk-nepuk pelan pundakku. Aku hanya tersenyum mengangguk, tidak ingat beliau siapa.

  “Sudah bertemu bibimu, Lastri?” tanyanya lagi dengan senyum yang masih mengembang. Aku terdiam. Tidak tahu menjawab apa.

  “Aku senang kau kemari, nak. Pasti Lastri sudah menunggumu.” Ucapnya kemudian, meninggalkan aku yang masih terdiam. Dari kejauhan, seseorang yang tak lain adalah bibi Lastri muncul. Bibi Lastri tersenyum ramah kepada siapapun, menggandeng anak kecil entah siapa. Lalu, kulihat beliau berjalan ke arah kak Pijar, memeluk hangat dan bercakap-cakap sembari tertawa kecil.

  “Lail! Kemari, ada bibi Lastri..” Kak Pijar memanggilku meminta cepat bergabung. Aku menelan ludah, melihat ke arah bibi Lastri yang ternyata menatapku juga. Belum sempat aku tersenyum, beliau mengatakan sesuatu kepada kak Pijar dan melangkah pergi, tidak lupa menggandeng anak kecil laki-laki tadi. Aku tersenyum kecut. Benar dugaanku, bibi Lastri mungkin saja tidak akan sudi menemuiku sebab kejadian delapan tahun yang lalu. Aku tetap berjalan mendekat ke arah kak Pijar yang terlihat terdiam sekarang.

Baca Juga  Hayati dan Biola Kesayangannya (1)

  “Kau baik-baik saja?” Ucapnya lirih, takut ada yang mendengar. Orang-orang sedang sibuk menyiapkan tempat jamuan besar-besaran untuk kami. Alih-alih menjawab pertanyaan kak Pijar, aku pamit hendak ke belakang. Kak Pijar hanya mengangguk kecil memahami perasaanku sekarang. Aku menuju belakang rumah, memilih menjauh. Dadaku sudah sesak sedari tadi ingin menangis, mengingat masa-masa menyakitkan yang ternyata memang belum termaafkan, entah oleh bibi Lastri ataupun diriku sendiri.

***

Delapan tahun yang lalu.

  “Kami manut bapak saja.” Ucap ayah lirih, sembari menatap kakek yang menunggu jawaban. Sedang ibu hanya menunduk mendengarkan. Di seberang meja, bibi Lastri tersenyum mendengar jawaban ayah.

  “Aku akan merawat anakmu dengan baik, Karim. Tidak perlu khawatir.” Timpal bibi Lastri menenangkan ayah yang terlihat sedih. Ini sudah larut malam, kak Pijar dan adikku Fajar sudah tertidur pulas. Mereka melewatkan percakapan penting ini. Aku masih terjaga sebab ingin buang air kecil. Namun, percakapan antara ayah, ibu, kakek, dan bibi Lastri menarik perhatian.

  “Jadi, besok Lail harus berangkat. Bapak juga punya urusan disana. Lebih cepat lebih baik bukan?” Ucap kakek menatap ayah, sembari menepuk pundak bibi Lastri yang tersenyum hangat. Aku menebak-nebak pernyataan kakek. Tetapi kantuk membuatku memilih kembali tidur. Yang aku tahu, besok aku akan pergi entah kemana.

***

Benar, percakapan yang aku dengar semalam. Pagi-pagi sebelum subuh, aku sudah dibangunkan. Ibu menyiapkan air hangat dan menyiapkan segala keperluanku. Kak Pijar dan Fajar juga terlihat sudah bangun, menonton tas-tas berisi entah apa saja.

  “Jangan lupa raportnya.” Bibi Lastri mengingatkan ibu. Ibuku hanya mengangguk, tidak ada suara sedari tadi. Ayah dan kakek sedang pergi mencari ojeg. Keluarga kami memang tidak punya motor. Alas rumah saja masih beralaskan tanah, berbeda dengan tetangga kebanyakan. Tetapi tidak mengapa. Aku tetap bersyukur dengan keadaan keluarga kami. Itu memotivasi kak Pijar dan juga aku, untuk menjadi anak berprestasi di sekolah. Jadi, setiap kenaikan kelas, ibu tidak perlu membeli buku tulis, sebab kami mendapat hadiah peringkat pertama berupa buku tulis dan itu benar terjadi. Kak Pijar dan aku menjadi bintang kelas bertahan dari semenjak kelas satu SD.

Baca Juga  Terima Kasih Ibu (2)

“Lail, tahu mau kemana?” Tanya ibu saat menyisir rambutku. Aku dengan semangat menjawab, “Lail hendak jalan-jalan kan, bu? Hadiah meraih peringkat satu. Benar kan?”

Ibu tersenyum hangat, mengangguk. Aku semakin senang membayangkannya. Benar dugaanku. Aku memang hendak diajak jalan-jalan. Baru kemarin aku naik kelas tiga, bertepatan dengan usiaku sembilan tahun. Mungkin ini hadiah dari ayah dan ibu sebab aku mendapat peringkat dan ulang tahun kan?

“Lail…”

Aku menoleh, mendengar kakek yang sudah pulang mencari ojeg. Dua motor sudah terparkir di depan rumah. Ibu sudah selesai merapikan rambutku.

“Iya, kek?” Jawabku sembari berlari ke arah kakek.

Kakek berjongkok memegang pundakku, “Kamu mau ya, ikut kakek dan bibi Lastri ke kota Tua?”

Aku mengangguk antusias. Ayah, ibu, kak Pijar, Fajar dan bibi Lastri juga ikut mendengarkan. Kakek melanjutkan ucapannya. “Di kota Tua nanti, kau tidak hanya sekedar liburan Lail, kau akan tinggal dengan bibimu, bibi Lastri.” Aku melirik ke arah bibi Lastri yang tersenyum. Lalu kembali menatap kakek. “Kau akan sekolah disana, menjadi anak bibi Lastri. Bibimu akan mengasuhmu dengan sepenuh hati. Kau mau kan?” Aku terdiam, mencerna kata-kata kakek. Terlihat semua orang harap-harap cemas menunggu. Melihat kesungguhan kakek, aku pun mengangguk mengiyakan. Aku ingin membahagiakan semua orang. Hanya itu yang aku pikirkan.

Melihat jawabanku, kakek memelukku dengan sayang. “Anak pintar.” Ucapnya lagi-lagi dengan mengecup puncak kepalaku. Setelahnya, ibu yang memelukku, berpesan agar aku menjadi anak yang berbakti disana. Mengecup puncak kepalaku dengan sayang, tak kuasa ibu pun menangis. Aku menenangkan dengan berucap aku akan baik-baik saja di sana.

Bagikan
Comments
  • Asma

    Maa Shaa Allah mantap kak lael. Semangat berproses, semoga semakin berprogres🤗

    Oktober 31, 2022
  • Trisnatun Abuyafi

    Mantap,lanjutkan

    Oktober 31, 2022
Post a Comment