f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
self-reward

Agar Self-Reward Tak Lagi Berkedok Pemborosan

Istilah self-reward sudah tidak asing lagi belakangan ini. Saya sendiri termasuk penganut mazhab self-reward garis keras sejak beberapa tahun lalu. Bagi saya dan kebanyakan orang, self-reward adalah cara untuk menghargai diri sendiri atas sebuah perjuangan atau pencapaian. Bagi saya, cara ini cukup efektif untuk meningkatkan motivasi dan mencapai target pribadi.

Self-reward akan membuat otak kita memunculkan emosi positif yang mengarah pada kesadaran bahwa upaya yang kita lakukan menghasilkan hadiah positif. Dengan melakukan self-reward terus menerus, otak kita akan mulai menghubungkan kesenangan dengan menyelesaikan tugas, deadline atau suatu target, dan bergerak ke arah itu tanpa rasa beban yang penuh keluh kesah.

Namun, konsep self-reward setiap orang berbeda-beda. Tidak semua orang dapat memetakan self-reward-nya dengan baik, hingga muncullah pepatah baru “self-reward berkedok boros”. Sebagaimana kawan saya, hampir setiap hari kedatangan paket di kosnya. Jika saya tanya, “Kenapa belanja mulu?” Jawabannya selalu sama, “Self-reward doong.”

***

Ada pula kejadian di mana kawan saya yang bekerja di Jakarta tak sadarkan diri kalau pengeluaran kartu kreditnya sudah melebihi batas karena sering ia gunakan untuk memanjakan diri mulai dari ke salon, spa, dan membeli beragam skincare; gajinya setiap bulan hanya untuk membayar utang. Katanya, hidup di Jakarta itu keras, seolah-olah self-reward adalah jalan satu-satunya menuju kebahagiaan. Hal seperti ini tidak hanya dialami oleh satu atau tiga orang teman, tapi banyak orang. Sadar akan tindak pemborosannya, namun bersembunyi di balik kata self-reward.

Padahal, pemborosan tidak hanya memperburuk manajemen keuangan individu, tapi juga merusak kebiasaan seseorang dan mendorong ke arah gangguan perilaku yang disebut dengan compulsive shopping disorder. Bahkan dalam Islam, sikap boros disamakan dengan perilaku setan, ditegaskan dalam Al-Qur’an Surah Al-Isra’ ayat 26, Allah berfirman: “Wa la tubadzir tabdzira innal-mubadzirina kanu ikhwana as-syayathini.” Yang artinya: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.”

Gretchen Rubin dalam bukunya Better than Before mengatakan bahwa self-reward bisa sangat berbahaya dalam pembentukan kebiasaan. Kedengarannya memang masuk akal untuk menghadiahi diri sendiri, tapi ternyata self-reward itu sangat sulit diimplementasikan dengan baik. Karena, self-reward menandai garis akhir, di mana garis akhir menandai titik berhenti. Begitu kita berhenti, kita harus memulai dari awal, dan memulai kembali itu lebih sulit.

Baca Juga  Belajar Dari Depresi (1): Sebuah Review Buku “Loving The Wounded Soul”
***

Mencapai garis finis dapat mengganggu pembentukan habit. Misal, ketika seseorang melakukan tantangan jogging selama 30 hari, begitu tujuannya tercapai, lalu melakukan self-reward entah dalam bentuk makanan kesukaan atau traveling ke suatu tempat, kegiatan jogging tadi cenderung berakhir setelah self-reward terlaksana. Pun, begitu kita memutuskan bahwa kita telah mencapai kesuksesan, kita cenderung berhenti bergerak maju.

Kata Rubin juga, satu-satunya jenis self-reward yang berhasil adalah yang membawa kita pada kebiasaan yang lebih dalam. Seperti melakukan banyak yoga, berbelanja untuk hal-hal yang menunjang produktivitas, atau membawa bekal makan siang ke kantor. Contoh, memberikan self-reward berupa kartu keanggotaan VIP yoga ketika berhasil berolahraga rutin tiga kali dalam seminggu. Self-reward untuk latihan adalah lebih banyak berlatih. Sehingga terhindar dari kedok pemborosan dan degradasi habit.

Menurut saya, selain self-reward berupa latihan, cara lain yang dapat kita lakukan adalah menikmati waktu untuk menyendiri. Misal, menemukan podcast baru untuk didengarkan, minum secangkir teh atau kopi panas sambil meringkuk dengan buku baru atau menonton film di layanan movie-streaming, bisa juga keluar sendiri berkeliling kota menghirup udara segar atau mengunjungi galeri seni.

Menyendiri tidak selalu identik dengan kepribadian introvert kok. Dalam ilmu kesehatan, menyendiri memiliki banyak manfaat, di antaranya adalah meningkatkan empati, merangsang kreativitas, meningkatkan konsentrasi dan daya ingat, membangun kekuatan mental, dan emosi menjadi lebih stabil.

***

Saya paham bahwa tidak semua orang bisa secara alami memutuskan untuk menyendiri. Tidak hanya itu, terkadang status atau peran seseorang juga tidak memungkinkan untuk me-time. Namun, setidaknya mulailah mengalokasikan waktu untuk menyendiri. Tak perlu terlalu lama, bisa mulai dari 15 menit dan terus bertambah ketika sudah terbiasa. Kurangi distraksi seperti telepon masuk, pesan teks, dan scrolling media sosial. Kalau perlu, lakukan digital detox selama menyendiri.

Baca Juga  Kuasai Rasa Sakitmu

Sedari dini, anak-anak kecil juga harus dikenalkan dan diberi pemahaman bahwa mereka perlu waktu untuk diri sendiri. Terbukti dalam penelitian, anak yang menikmati waktu kesendiriannya memiliki perilaku yang jauh lebih positif. Tak hanya itu, seseorang yang menyendiri juga lebih bisa mengenal dirinya. Ada ruang untuk merencanakan hidup ke depan tanpa distraksi dari orang lain. Mulai dari tujuan hidup, perjalanan, hingga perubahan apa yang ingin kita lakukan.

Mengubah kebiasaan buruk berupa self-reward menjadi lebih sehat memang membutuhkan waktu dan usaha. Mari belajar menghargai diri kita sendiri dengan cara yang lebih positif, serta memperkuat kebiasaan kita yang lebih baru dan lebih baik sambil membuang kebiasaan lama.

Bagikan
Post a Comment