f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kesetaraan

Ruang Nyaman dalam Kesetaraan

Feminisme dan gerakan kesetaraan gender memiliki keterikatan yang kuat bahkan tak terpisahkan. Kesetaraan menjadi tujuan utama yang terus diperjuangkan oleh mereka yang berempati dan tertindas. Gerakan panjang ini selain penting bagi perempuan juga memberikan bayang-bayang tentang lelaki dan hak-hak yang dilindas oleh partriarki itu sendiri.

Harriet Martineau, salah satu sosiolog perempuan pertama, mengungkap tentang gender conflict theory. Sebuah diskursus yang berfokus pada peran perempuan di masyarakat yang terdominasi dan terpinggirkan. Pandangan perempuan terhadap dunia ini dianggap tidak lebih relevan dibandingkan dengan laki-laki. Lebih lanjut lagi, Charlotte Perkins Gilman, seorang feminis gelombang pertama, memandang bahwa ketidaksetaraan bermula dari evolusi yang membentuk terbaginya peran/aspek masyarakat dari hal biologis. Hal ini kemudian berlanjut secara kultural melalui kekuatan sosio-ekonomi yang tidak seimbang. Hal ini terus terjadi hingga sekarang dan menjadi problem utama dari kesetaraan gender.

Gender, berbeda dengan sex, merupakan konstruk sosial yang disematkan oleh masyarakat pada suatu individu atas dua aspek, maskulin dan feminim. Ketidaksetaraan dari satu aspek yang lebih unggul dari yang lain (sexism) muncul membentuk masyarakat partriarki dan sering menjadi fokus masalah gender. Feminisme mengangkat masalah ini demi kesejahteraan perempuan yang termarjinalkan.

Dalam buku Second Sex karya Simone de Beauvoir ditegaskan bahwa perempuan harus diberikan hak yang setara dengan laki-laki baik dalam budaya, hukum, dan pendidikan. Di sini jelas bahwa gerakan feminis tidak pernah bertujuan untuk memutarbalikkan kekuasaan dari patriarki menuju matriarki. Namun menyeimbangkan peran dari kedua belah pihak. Walaupun memiliki tujuan yang jelas, gerakan gender sering melupakan bayangan besar atas patriarki yaitu hak laki-laki itu sendiri.

Laki-laki dalam aturan main patriarki memiliki keunggulan dan keuntungan yang lebih baik dibanding dengan gender lainnya (patriarchal dividens). Dalam hal ini, aspek maskulin menjadi acuan utama sebagai aspek yang harus selalu dikedepankan baik dalam masyarakat maupun pribadi. Kepemimpinan, rasional, logis, agresif, dan aktif menjadi sifat yang wajib melekat bagi laki-laki. Fenomena ini disebut Raewyn Connell sebagai hegemonic masculinity di mana aspek maskulin menjadi suatu norma sosial dengan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan yang dominan. Perempuan menjadi tersubordinasi dan mereka (laki-laki) yang tidak mengikuti akan dipinggirkan.

Baca Juga  Melihat dengan Mata, Mencintai dengan Hati

Perempuan dalam ranah ini akan mengacu pada emphasized femininities di mana standar kecantikan, kehidupan, dan perilaku seseorang harus berdasarkan idealitas dan imajinasi dari sudut pandang laki-laki. Hal ini tentunya menciptakan budaya male gaze yang mencederai martabat perempuan. Di sisi lain, bagi laki-laki yang tidak bisa mengikuti norma ini akan terjebak pada toxic masculinity yang akan memberikan dampak negatif bagi sebagian elemen masyarakat. Pemaksaan ini menjadikan mereka akan disebut dengan “tidak jantan” atau “bukan laki-laki sejati”. Dan akan dipandang sebelah mata oleh lingkungan sekitarnya. Mereka menjadi teralienasi atas jati diri mereka sendiri.

Ada banyak dari dampak patriarki dan hegemonic masculinity bagi gender penguasa. Laki-laki memiliki tingkat bunuh diri yang sangat tinggi, terutama akibat masalah finansial dan perkawinan. Selain itu, kriminalitas lebih sering dikaitkan dengan laki-laki sehingga mudah disematkan di masyarakat. Benevolent sexism di mana perempuan lebih dianggap innocence dan tidak bersalah menyebabkan laki-laki akan sering disalahkan dan diberikan prasangka buruk atas perilakunya.

Aspek lain seperti kematian yang tinggi karena perang, pelecehan seksual yang tidak pernah dianggap, terkekangnya ekspresi emosional karena takut akan stigma lemah, dan juga tekanan beban sosial yang tinggi pada laki-laki perlu menjadi concern atas gerakan kesetaraan gender. Hak-hak semacam ini yang jarang diperbincangkan bahkan diperjuangkan memberikan celah kosong bagi jalan kesetaraan yang masih panjang.

Lingkungan yang aman dan sehat bagi tiap individu dibentuk atas koordinasi dan kooperasi antar dua pihak. Baik itu perempuan maupun laki-laki, keduanya memiliki hak yang sama untuk bebas dalam menentukan pilihan hidup tanpa intervensi dan justifikasi eksternal. Aspek feminim dan maskulin harus keluar dari bentuk dikotomi sebagaimana yang ditekankan oleh kultur barat.

Baca Juga  Belenggu Patriarki dalam Pendidikan Kita

Kultur timur melihat maskulin dan feminim sebagai suatu spektrum yang tak dapat dipisahkan yang dimiliki oleh setiap insan. Baik dalam simbolisme yin dan yang maupun lingga dan yoni. Kesejahteraan akan tercipta apabila kedua aspek telah saling menerima dan berdamai sehingga menciptakan ruang yang nyaman dalam kesetaraan.

Bagikan
Post a Comment