f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
trauma

Religious Trauma

“Apakah saya boleh memukul anak ketika dia tidak salat?” tanya salah seorang wali murid. Dia bertanya kepada pemateri dalam sesi tanya jawab sebuah kajian parenting. Ternyata anaknya yang berusia sepuluh tahun bukannya tidak mau salat, melainkan dia sering menunda-nunda. Sehingga waktu salatnya acap kali terlambat. Padahal wali murid itu merasa tak pernah luput mengingatkan anaknya.

Mengenalkan dan mengajarkan anak pada syariat Islam bukanlah sebuah pekerjaan semalam jadi. Pada kenyataannya, sebuah proses panjang penuh tantangan seringkali menanti di depan mata. Orang tua mana yang tidak ingin memiliki anak-anak yang salih dan paham syariat? Pendidik mana yang tidak menaruh harapan besar di pundak anak didiknya? Tentu agar kelak mereka menjadi insan yang bertakwa.

Namun, seringkali kita meletakkan ekspektasi yang tinggi kepada anak. Ketika mereka tidak bertumbuh sesuai harapan, kita kemudian menempuh jalan pintas. Berharap agar anak sesegera mungkin melaksanakan perintah agama. Jalan pintas tersebut beragam bentuknya, mulai dari memarahi anak, menakut-nakuti, mengancam, mengintimidasi, dan lain sebagainya. Disadari atau tidak, ada dampak negatif yang berpotensi muncul dari cara instan semacam ini.

Bolehnya Ber-amar Ma’ruf dengan Memperhatikan Syarat Tertentu

Pemateri dalam kajian parenting tersebut, lantas memberikan penjelasan terkait syarat dibolehkannya memukul anak, karena tidak salat. Sebagaimana dalam sebuah hadis riwayat Abu Daud dan Ahmad, “Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan salat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.”[1]

Pertama, sebelum memukul, pastikan bahwa sejak usia tujuh tahun, anak telah diperintahkan untuk salat. Sehingga tidak ujug-ujug ketika anak lalai salat di usia sepuluh tahun, pemukulan boleh dilakukan. Kedua, pukulan dibolehkan dengan memperhatikan syarat-syarat tertentu. Di antaranya pukulan yang tidak melukai, tidak menyebabkan luka, dan tidak merusak tubuh. Misalnya membuat tulang dan gigi sampai patah. Rasulullah saw. juga melarang memukul area sekitar wajah.

Ketiga, pukulan dalam hadis tersebut bermakna sebagai bentuk penekanan pada urgensi salat. Jangan sampai anak tidak melaksanakan salat ketika mereka berusia balig. Anak perlu dipersiapkan untuk menanggung beban syariat, jauh sebelum masa mukalaf itu tiba. Keempat, pukulan bertujuan dalam rangka perbaikan, bukan untuk mencelakai. Sehingga anak tidak sampai merasakan pengalaman negatif yang selalu diingatnya.

Baca Juga  Cara Bertemu dengan Diri Kita Sendiri

Imam Ahmad berkata, “Manusia butuh kelembutan. Sehingga amar ma’ruf pun harus dilakukan dengan lembut. Kecuali pada orang yang dengan sengaja menampakkan kemungkarannya. Mereka tidak ada kelembutan kepadanya.”[2] Jangan sampai anak sendiri ataupun orang lain menjadi benci terhadap syariat. Sebabnya, karena ulah kita yang terlanjur keliru. Na’udzubillah min dzalik!

Amar Ma’ruf Seharusnya Menumbuhkan Kecintaan Beragama

Jika kelembutan sirna dalam penyampaian syariat, bukan tidak mungkin timbul reaksi negatif. Misalnya reaksi yang mengarah pada kebencian dan trauma. Seperti kejadian viralnya guru pada sebuah SMPN di Lamongan, Jawa Timur. Guru tersebut memotong 19 rambut siswi-siswinya dengan alat cukur elektrik. Alasannya, karena para siswi tersebut tidak memakai ciput.[3]

Di tempat berbeda, seorang guru SMA juga memotong rambut anak didiknya. Tindakan tersebut dilakukan oleh guru lantaran muridnya tidak mengenakan jilbab dengan benar. Sehingga meski menggunakan jilbab, rambut mereka mudah terlihat. Panjang rambut mereka nyaris melebihi batas jilbab yang digunakan.[4]

Pro dan kontra bermunculan dari kedua perkara tersebut. Ada pihak yang setuju, tetapi tidak sedikit pula yang mengecam. Mulai dari menyebut kasus tersebut sebagai bentuk pemaksaan, kekerasan, hingga bullying. Terlepas dari beragam reaksi yang timbul, sebenarnya kejadian seperti ini amat disayangkan. Alih-alih menyelesaikan akar permasalahannya, justru berpotensi menimbulkan persoalan baru.

Lain halnya jika anak didik telah memperoleh peringatan sebelumnya. Kemudian pendidik mengambil langkah berupa imbauan perbaikan. Selain itu, anak didik juga bisa dibekali dengan pemahaman mengenai esensi berhijab. Bisa jadi ada sebagian siswi yang memang belum mengetahuinya. Kalaupun mereka sudah mengetahui, maka sudah menjadi tugas pendidik untuk menghargai prosesnya. Sehingga dalam diri anak didik muncul kesadaran terhadap perbaikan diri.

Berbeda konteksnya jika pemotongan rambut terjadi di sebuah pesantren. Memotong rambut santri merupakan hal yang lumrah. Sebab, telah ada kesepakatan di awal antara santri dengan pihak pesantren, yaitu berupa perjanjian tata tertib. Sehingga santri telah mengetahui konsekuensinya jika melanggar aturan. Mereka akan menganggapnya sebagai akibat dari perilakunya.

Sedangkan di sekolah umum, pemotongan rambut sebagai bentuk hukuman bisa diartikan sebagai bentuk intimidasi. Apalagi jika hal tersebut dilakukan tiba-tiba di depan umum. Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, tindakan semacam ini merugikan para siswi, baik secara fisik maupun psikologisnya. Khawatirnya akan muncul reaksi traumatis, karena kebencian yang salah arah. Mereka tidak membenci tindakan memotong rambutnya, melainkan menjadi benci terhadap syariat berjilbab.

Baca Juga  Protokol MOS Anak di Era New Normal

Lantas hadirkanlah kelembutan dalam memberi nasihat. Sebab, Islam adalah agama nasihat. Sejatinya sebagai manusia, kita boleh berusaha dengan cara memberi nasihat. Maka kita cukupkan tugas kita sampai pada titik ini. Tanpa perlu terburu-buru melihat perubahan pada orang lain dengan cara paksaan. Bagaimanapun, urusan hasil tidak berada dalam ranah kita.

Mengawali tindakan dengan niat baik saja tidak cukup. Terlebih jika mengingatkan seseorang dengan cara memberi hukuman, malah justru menjauhkannya dari kecintaan beragama. Mereka akan merasa tersudut. Anak didik yang telah berusaha berhijab, jangan seolah digugat. Setidaknya kita tidak memberi sumbangsih terhadap lahirnya kebencian.

Menutup Celah Kebencian Agar Tak Berujung Trauma

Benih trauma bisa jadi tercipta dari sebuah kebencian. Pada awalnya kata “trauma” digunakan dalam disiplin ilmu kedokteran, yaitu merujuk pada luka fisik yang membutuhkan pertolongan medis. Istilah “trauma” kemudian berkembang dan digunakan oleh psikiater.[5] Seiring berjalannya waktu, muncullah trauma beragama atau religious trauma. Penyebabnya bisa bermacam-macam.

Beberapa penyebab religious trauma, misalnyapengalaman beragama yang menimbulkan stres, merendahkan, berbahaya, kasar, sampai merusak. Pengalaman religious trauma berakibat pada kerugian. Bahkan efeknya bisa mengancam kesehatan. Selain itu juga bisa mengancam keselamatan fisik, emosional, mental, seksual, atau pun spiritual seseorang.

Berinteraksi dengan rekan non-muslim saja kita diperintahkan untuk berbuat baik selama mereka tidak memerangi kita. Apalagi dengan sesama muslim. Dalam surah Al-Baqarah ayat 256 disebutkan, “Tidak ada paksaan dalam menganut agama.” Maka jika kita melihat seseorang belum mampu menyempurnakan ajaran syariatnya, sebaiknya kita berlemah-lembut. Kita perlu kembali menata hati supaya tidak terlalu mudah memberi komentar negatif. Utamanya terhadap saudara seiman.

Kita tidak pernah tahu bagaimana perjuangan setiap orang hingga sampai di titik imannya saat ini. Barangkali kita bisa belajar dari tutur kata seorang CEO sebuah brand pakaian dari Bandung. Pembawaannya tetap tenang dan positif. Bahkan ketika bertindak sebagai pemateri dalam acara sharing bisnis. Salah seorang peserta bertanya, “Mengapa tidak berjualan baju muslim syar’i saja? Anda, kan bernikab?” CEO tersebut membenarkan bahwa dirinya memang memproduksi pakaian muslim aneka model.

Baca Juga  Kepedulian Terhadap Kesehatan Jiwa : Upaya Menuju Kewajaran Baru

Pilihannya berdasar atas penghargaan terhadap nilai sebuah proses. CEO tersebut percaya bahwa dalam beragama, seseorang akan melalui perjalanan dan pengalaman spiritualnya masing-masing. Setiap orang akan berproses dan bertumbuh sesuai dengan ritmenya sendiri. Sedangkan produk miliknya bertujuan untuk mendampingi dalam setiap prosesnya. Secara fitrah, manusia suka dengan kelembutan yang merupakan bagian dari akhlak karimah.

Pada akhirnya, Islam mengajarkan pada kita untuk berdakwah dengan cara yang ma’ruf. Jika memberi nasihat, sampaikan di saat yang tepat. Sebaik-baik nasihat adalah nasihat yang diminta. Sebab, kita perlu mempertimbangkan reaksi yang muncul. Akankah orang yang kita nasihati akan menerimanya? Atau justru sebaliknya? Jika kita yakin bahwa orang yang dinasihati akan menerima dan tidak akan bereaksi negatif, maka wajib bagi kita memberi nasihat.

Akan tetapi jika khawatir dengan orang yang dinasihati akan menolak, bahkan bereaksi negatif, maka kita boleh memilih untuk menasihati atau tidak.[6] Yang terpenting, apa pun yang kita perjuangkan untuk kebaikan jangan sampai mencederai kecintaan terhadap syariat Islam. Sebagaimana ditegaskan oleh Ustadz Abdullah Hadrami, “Jangan salahkan orang yang membenci agama dan trauma dengan agama, jika kita adalah penyebabnya.”[7]

***


[1] Islamqa, Bagaimana Caranya Memukul Anak yang Meninggalkan Salat, https://islamqa.info/id/answers/127233/bagaimana-caranya-memukul-anak-yang-meninggalkan-salat, diakses 15 November 2023, halaman tunggal.

[2] DR. Musthafa Dieb Al-Bugha Muhyiddin Mistu, Al-Wafi, (Jakarta Timur, Al I’thisom) halaman 299-300

[3] Tempo, Kronologi Guru SMPN di Lamongan Cukur Rambur 19 Siswa Gegara Tak Pakai Ciput, https://nasional.tempo.co/read/1766371/kronologi-guru-smpn-di-lamongan-cukur-rambut-19-siswi-gegara-tak-pakai-ciput, diakses 15 November 2023.

[4] Kompasian, Guru Memotong Rambut Siswa Mendisiplin atau Mempermalukan, https://www.kompasiana.com/wantoro/65002141e1a167446e6fa002/guru-memotong-rambut-siswa-mendisiplin-atau-mempermalukan, diakses 15 November 2023

[5] Prof. Irwanto, Ph.D dan Hani Kumala, M. Psi., Psikolog, Memahami Trauma Dengan Perhatian Khusus pada Masa Kanak-kanak, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama), halaman 1.

[6] DR. Musthafa Dieb Al-Bugha Muhyiddin Mistu, Op.cit., halaman 42-43.

[7] Abdullah Hadrami, Trauma Agama, Salahkah?!, https://www.alirsyad.or.id/trauma-agama-salahkah/, diakses 15 November 2023

Bagikan
Post a Comment