f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
pendidikan pasca pandemi

Ironi Pendidikan Pasca Pandemi

Dalam aspek pendidikan formal, Corona telah memberikan perubahan dalam aspek pembelajaran. Yang awalnya, masyarakat menganggap bahwa proses pembelajaran hanya bisa berlangsung di kelas, nyatanya sekat pembelajaran juga bisa berlangsung di luar ruang kelas.

Hilangnya sekat kelas sebagai satu-satunya tempat belajar dalam pendidikan formal akibat pandemi, seolah membawa pada persimpangan jalan: antara bahagia dan dilema. Rasa bahagia hadir manakala proses transfer pengetahuan bisa berlangsung tanpa lagi terhambat oleh pembatasan ruang dan waktu.

Perubahan Makna Belajar

Dalam pendidikan kritis, keberadaan kelas merupakan sebuah perkara bagi jalannya proses pendidikan. Kehadiran kelas telah menyempitkan definisi pendidikan. Sehingga orang dianggap berpendidikan, ketika dia sudah belajar di ruang kelas pendidikan formal. Lantas, bagaimana dengan orang yang tidak memiliki kemapanan ekonomi untuk bisa belajar di sekolah?

Namun, saat pandemi merajalela, pemaknaan terhadap nilai belajar telah berubah. Di awal-awal pandemi, hampir setiap kali saat saya membuka media sosial, berbagai pamflet pelatihan dan diskusi secara daring bertebaran. Bertebarannya pelatihan dan diskusi secara daring, menjadikan masyarakat bisa menyerap pengetahuan dengan mudah tanpa harus terbatas oleh dimensi ruang.

Misalnya saja, kemampuan saya menulis bisa terbentuk lebih baik, ketika ada pelatihan menulis secara daring. Sebelum ada pelatihan menulis daring, saya merasa kesulitan untuk bisa mengasah kemampuan menulis. Mengingat, sebelum adanya pandemi, teritorial pelatihan menulis banyak berpusat di Jawa Tengah. Sehingga, menjadikan saya enggan untuk mengikuti, akibat keterbatasan dana dan waktu.

Beda cerita saat adanya pandemi, bahwa saya bisa mengikuti pelatihan menulis, meski mentor berada di Jawa Tengah. Begitu juga kemampuan menulis akademik saya, bisa semakin terasah dengan baik. Padahal, dosen yang memberikan pelatihan menulis akademik, juga berbeda wilayah dengan saya.

Baca Juga  Iklan Perempuan: Antara Kesetaraan Gender dan Budaya Patriarki
“Kematian” Solidaritas

Kendati demikian, di balik kenyamanan proses transfer pengetahuan tanpa lagi mengenal sekat batas dan waktu akibat pandemi, nyatanya menyisakan permasalahan sosial ketika pandemi telah berangsur membaik.  Saya melihat adanya perubahan nilai manusia yang terbangun di kalangan mahasiswa.

Saya sebagai angkatan kuliah sebelum Corona menyerang, memang melihat perbandingan signifikan dengan adik tingkat saya yang masuk ketika Corona menghantam Indonesia. Ketika saya memasuki bangku perkuliahan, interaksi sosial antar mahasiswa berjalan dengan baik. Setiap mahasiswa masih memiliki ikatan batin serta nilai afeksi yang tinggi.

Itu terjadi karena proses perkuliahan antara daring dengan luring, memang memiliki perbedaan. Pengalaman saya saat kuliah berlangsung luring, intensitas interaksi berlangsung dengan baik. Bertukar cerita dan melontarkan humor, menjadi aktivitas di tengah pembelajaran atau ketika kelas telah selesai. Dengan adanya proses bertukar cerita dan melontarkan humor akan membentuk nilai keakraban.

Beda halnya ketika proses belajar berjalan secara daring. Proses interaksi tidak berlangsung dengan baik. Adanya perbedaan ruang, menjadikan tindakan bertukar cerita dan melontarkan humor mengalami keterbatasan.

 Kenapa? Karena ada rasa segan di antara mahasiswa. Rasa segan muncul lantaran ada rasa sungkan yang terbentuk terlebih dahaulu dalam kesadaran.  Oleh karenanya, saat kelas belajar selesai,  berarti proses interaksi juga selesai. Seketika mahasiswa akan langsung keluar dari ruangan Zoom atau Meet.

Faktor tersebut menjadikan solidaritas sesama mahasiswa mengalami penurunan. Saya mengalami keterkejutan manakala saat bersama teman saya yang merupakan angkatan Corona. Dirinya tidak mengenal teman satu angkatannya. “Tadi pas di tempat makan, kayaknya teman aku. Cuman aku juga ragu, teman aku atau bukan, ya?” tanyanya kepada saya.

Seketika saya merespon, “lah, kenapa kok bisa tidak kenal sama teman angkatan kamu?” Menurut pengakuannya, dia tidak hafal semua temannya. Karena saat belajar melalui Meet, ada beberapa teman tidak mau menampakkan wajahnya.

Baca Juga  Pacaran yang Positif? Mana Ada!
Karakter Malas Masuk Kelas

Pembelajaran daring selain menghasilkan penurunan solidaritas, ternyata juga membentuk karakter baru di kalangan mahasiswa. Karakternya bernama: malas masuk kelas. Seiring meredanya kasus Corona, banyak kampus mulai menerapkan pembelajaran secara luring. Setiap dosen ada yang mulai menerapkan pembelajaran secara luring di kelas.

Sayangnya, tidak semua mahasiswa angkatan Corona menyambutnya dengan bergairah. Dari berbagai pengakuan adik tingkat saya, dia mengakui, “bahwa sebenarnya lebih enak belajar melalui Zoom daripada harus capek-capek datang ke kelas. Toh, sebenarnya belajar di ruangan kelas membuat malas. Pengeluaran menjadi lebih banyak.”

“Kalau belajar secara daring, bisa lebih rileks dan santai. Kalau capek mendengarkan penjelasan dosen, bisa sambil tiduran. Lah, kalau belajar langsung di ruang kelas, mau tiduran bagaimana? Kemudian, tidak ada rasa tegang terlalu berat saat presentasi. Berbeda kalau presentasi secara luring, rasa tegang lebih tinggi akibat langsung bertemu dengan dosen,” curahan dari adik tingkat lainnya.

Memilihnya mahasiswa untuk lebih kuliah secara daring, membuat saya semakin optimis bahwa persoalan menurunnya solidaritas di kalangan mahasiswa akan terus menjadi sebuah permasalahan. Dengan demikian saya menjadi skeptis, terhadap pendapat para tokoh pendidikan kritis, bahwa lembaga pendidikan formal harus dihapuskan. Sebab, kehadiran lembaga pendidikan formal semakin membuat kesenjangan dan menyempitkan sudut pandang masyarakat tentang makna pendidikan.

Sebenarnya kehadiran lembaga pendidikan formal tidak perlu mengalami penghapusan. Justru kehadiran lembaga pendidikan bisa membangun kekuatan sosial, serta mencegah manusia mengalami rasa kesepian. Dan sebenarnya sistem pendidikannya yang perlu mengalami pembenahan, karena telah mengalami politisasi sesuai rezim penguasanya.

Namun, sejauh mana kita bisa memperbaiki sistem pendidikan agar menjauh dari politisasi rezim penguasa? Bukankah, bergerak untuk memperbaikinya, akan memperoleh stigma sebagai orang sok benar dan paling pintar? Ironis.

Bagikan
Post a Comment