f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
perempuan penulis

Perbanyak Ruang untuk Perempuan Penulis, Saatnya Kolaborasi dan Membangun Jejaring

Bertempat di GRHA Suara Muhammadiyah, Jalan Ahmad Dahlan 107 Yogyakarta, para penulis muda Muhammadiyah dikumpulkan dari penjuru daerah di Indonesia. Kehadiran para penulis muda ini bukan tanpa sebab. IBTimes.ID bersama dengan Suara Muhammadiyah menggelar Temu Penulis Muda Muhammadiyah bertajuk Kolaborasi Membangun Narasi, Rabu (5/10).

Hadir berbagai tokoh pada kesempatan ini, di antaranya Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Pradana Boy ZTF, Deni Asy’ari, Isngadi Marwah, Azaki Khoirudin, Benni Setiawan, Machhendra Setyo Atmaja, Hasnan Bachtiar, Hajar Nur Setyowati, Fauziah Mona Atalina, Erick Tauvani Somae, dan Subhan Setowara.

Di sesi kedua pertemuan ini, Pak Haedar (sapaan akrab Ketum PP Muhammadiyah) menghitung jumlah perempuan yang hadir dalam forum. Satu, dua … ternyata hanya lima perempuan dari puluhan penulis muda yang hadir. Kemudian beliau berpesan kepada seluruh peserta, “Para penulis juga harus diperbanyak yang perempuan.”

Ia juga menuturkan bahwa media-media Muhammadiyah seyogyanya memperbanyak area untuk para penulis perempuan.

Ungkapan tersebut barangkali bisa saja dianggap pertanyaan normatif yang keluar dari seorang tokoh yang duduk di puncak struktural persyarikatan. Namun jika kita refleksikan lebih dalam, ungkapan tersebut merupakan suatu hal yang cukup serius, khususnya di internal persyarikatan. Berapa banyak perempuan penulis yang kita miliki? Atau, berapa banyak narasi-narasi tentang perempuan berkemajuan yang selama ini sudah diproduksi oleh media-media di internal persyarikatan? Barangkali di tengah perkembangan aktivisme digital Muhammadiyah, kita alpha tentang hal ini.

Penulis juga mengafirmasi apa yang Pak Haedar sampaikan di atas. Dari sisi individu misalnya, berapa banyak tokoh atau mungkin aktivis perempuan Muhammadiyah yang secara aktif memenuhi ruang-ruang intelektual dengan gagasannya? Barangkali tidak sebanyak tokoh dan aktivis laki-laki. Misal Bu Susilaningsih (istri Pak Kuntowijoyo), Bu Aisyah, Bu Siti Samsiatun, Bu Rahmawati Husein, Bu Ro’fah, Bu Rita Pranawati, dan Bu Atiyatul Ulya. Jika kita bandingkan dengan tokoh dan aktivis Muhammadiyah, hal ini tidak sebanding. Muhammadiyah memiliki seabrek tokoh dan aktivis laki-laki yang secara aktif memenuhi ruang-ruang pemikiran dengan gagasannya melalui tulisan.

Baca Juga  Membedah Wajah Pendidikan Indonesia

Kemudian, jika kita berbicara dari sisi kelembagaan, berapa banyak media persyarikatan yang berbicara secara intensif tentang isu-isu perempuan? Sebut saja Suara ‘Aisyiyah, yang sudah eksis sejak dulu menjadi corong dalam menyuarakan gagasan-gagasan perempuan; kemudian Rahma.ID, yang belum lama lahir; kemudian? Zonk!

Padahal kehadiran perempuan penulis memiliki urgensi tersendiri dalam menghadirkan perspektif gender pada aktivisme digital dan konvensional media-media persyarikatan.

Sudah saatnya saling bergandengan tangan, berangkulan, dan saling mendukung. Munculkan lebih banyak perempuan-perempuan penulis di internal persyarikatan. Bantu dan dukung media-media internal Muhamamdiyah yang concern di isu-isu perempuan, kalau perlu munculkan media-media baru yang bernafaskan perjuangan perempuan. Bukankah tema Muktamar ‘Aisyiyah ke 48 besok adalah Perempuan Berkemajuan Mencerahkan Peradaban Bangsa? Bagaimana kita mau mewujudkan tema tersebut jika kita minim tokoh dan aktivis perempuan yang mengisi ruang-ruang intelektual melalui gagasannya?

Bagikan
Post a Comment