f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
dakwah kampung

Juru Dakwah Kampung

Asep tercengang melihat Ucup, sahabatnya semasa mondok, tampil dengan gaya muda mudi kekinian. Ia memandangnya dengan tatapan takjub yang lugu. Di depannya sekarang berdiri seorang pemuda dengan rambut klimis beserta bau wangi yang menusuk. Parasnya pun terlihat rupawan, seelok artis di layar kaca. Pada tubuhnya melekat kaos hitam dilapisi kemeja dan celana pendek casual yang mengkilap. Lalu di lengan kirinya tampak jam tangan menyala serupa emas dengan tulisan rolex di sisinya.

“Assalamu’alaikum, ini beneran Ucup ya? Yusuf Assidiq alumni Pondok Al-Istiqamah!?” Asep seakan tidak percaya melihat penampakan sahabatnya kini. Padahal dahulu, di mata Asep, Ucup hanyalah sosok pintar yang polos, yang cuek terhadap apapun apalagi penampilan, hanya peduli menambah hafalan sebanyak-banyaknya.

Ucup mengangguk diikuti senyum lebar yang tersimpul, dengan dada lebar yang membusung tegap. Bagi sepasang sahabat yang baru saja bertemu, setelah bertahun-tahun lamanya, tak ada yang lebih membanggakan dari menampilkan buah kesuksesan.

“Benar,” ucap Ucup, “ini aku sahabatmu dahulu di pondok. Teman kamarmu enam tahun lamanya.”

Seketika tawa hangat jatuh menyelimuti kedua sahabat itu. Kegembiraan menyambut pertemuan yang telah mereka tunggu bertahun lamanya. Gambaran mengesankan suatu ikatan persahabatan yang tak lekang oleh jarak dan waktu.

“Mari kita berangkat ke apartemen milikku. Di sana kau bisa beristirahat sejenak,” kata Ucup sambil mengenakan kacamata hitam yang bersembunyi di saku kemeja. Lalu berjalan pelan meninggalkan Asep di belakangnya

“Iya Ucup, terima kasih,” sambut Asep halus, dengan tangan yang kerepotan memegang erat ransel dan kardus, yang menyusul Ucup agar tidak kehilangan arah.

Ucup dan Asep berjalan meninggalkan terminal menuju parkiran mobil. Mereka berlalu dan hilang di sela orang yang lalu lalang di sepanjang terminal. Di musim pergantian tahun, ramai orang berbondong-bondong datang untuk menggantungkan nasibnya di ibu kota. Terbayang limpahan uang yang menunggu di masa yang akan datang. Meski terkadang banyak idealisme yang harus ia korbankan karena tergadai demi merengkuh cita.

Mobil milik Ucup telah tancap gas meninggalkan ujung terminal. Meliuk di jalanan ibu kota. Melewati gedung-gedung pencakar langit yang menjulang. Decak kagum merontokkan aroma kampung pada diri Asep yang tak berhenti menatap jendela sepanjang perjalanan hingga mobil tiba di basement apartemen.

***

Bagi orang yang menghabiskan hari-harinya hanya di kampung, bertolak dari satu surau ke surau lainnya, Asep hanya bisa termangu kagum memandangi apartemen milik Ucup yang terlampau mewah. Seluruh dindingnya seperti terbuat dari cahaya, yang tiap sudutnya bertengger ragam lukisan dengan penuh warna dan gambar yang tak dapat dicerna maksudnya di dalam kepala. Berbeda sekali dengan kamar mereka dulu semasa di pondok yang sebagian dindingnya menempel kaligrafi dan sebagiannya lagi rata dengan cat tembok yang terkelupas.

Baca Juga  Raithah binti Abdullah sebagai Cerminan Independent Women yang Memprioritaskan Keluarga

Asep menjelaskan pada Ucup, kalau kedatangannya ke ibu kota tidak lain untuk mengadu nasib. Menjadi juru dakwah di kampung rasanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai kepala keluarga dengan dua anak. Sebab, Asep merasa di zaman sekarang segala sesuatu membutuhkan uang. Sekadar memberi ceramah, apalagi di kampung, masih dirasa kurang untuk menggenapi kebutuhan bulanannya. Apalagi kalau mengingat-ingat bunga dari cicilannya yang kian hari kian bertumbuh tidak masuk akal. Makin pusing kepala Asep ditonjok beban kehidupan. Maka, tidak heran Asep memberanikan diri untuk meninggalkan istri dan anak di kampung.

Ucup tidak habis pikir membayangkan nasib sahabat karibnya itu. Di usia mereka yang sudah kepala tiga, sudah seharusnya bisa hidup berkecukupan tanpa harus bingung memikirkan cicilan dan sejenisnya. Hati Ucup sepintas merasa bahagia. Keputusannya merantau ke ibu kota ketimbang mengabdi di pondok selepas kelulusan merupakan pilihan terbaik. Apalagi jika menengok nasib Asep sekarang.

“Kau tidak usah khawatir kalau soal kerjaan. Banyak hal yang dapat dikerjakan di ibu kota. Atau barangkali kau ingin menjadi juru dakwah di ibu kota seperti para pendakwah di layar kaca? Bisa diatur. Tenang.”

Menanggapi penjelasan Ucup, Asep hanya bisa mengangguk dengan senyum datar di wajah. Seakan mempertegas kalau orang kampung akan selalu manggut terhadap orang kota.

“Tidak perlu repot-repot Ucup. Saya bisa numpang tinggal di sini saja sudah bersyukur. Untuk urusan kerjaan biar saya coba usaha cari sendiri dulu.”

“Tidak mengapa. Kau mengganggapku seperti orang lain saja. Kita ini sudah seperti saudara, jadi tidak perlu sungkan.”

Hari makin larut. Bising kendaraan juga kian meredup seiring waktu yang menyentuh pekatnya malam. Cahaya bulan tampak hilang terbungkus awan. Udar dingin mulai muncul, menembak kegelapan. Hanya sisa-sisa obrolan antara Ucup dan Asep yang masih menghangatkan seisi apartemen.

Setelah potongan-potongan kisah yang ia ceritakan itu mencapai titik, lampu-lampu ia padamkan. Menyisakan redup cahaya bulan yang menembus sela jendela. Meninggalkan dua orang sahabat yang tertidur nyenyak dengan ritualnya masing-masing.

***

Fajar mulai beranjak menjejak langit. Sayup suara azan subuh terdengar dari kejauhan. Asep terbangun dari tidurnya, lalu turut membangunkan Ucup yang terbujur teramat pulas. Ia membangunkan Ucup berkali-kali, tapi tetap saja sulit. Beda sekali dengan waktu di pondok dulu. Terbesit sedikit saja suara azan, raga Ucup otomatis bangkit meski meninggalkan kelopak mata yang masih tertutup rapat.

Baca Juga  Nusaibah, Bukan Ibu Rumah Tangga Biasa

Asep yang tak enak hati memutuskan salat sendiri. Ia mencari tanda-tanda lokasi salat, namun sejauh mata memandang yang ada hanya beberapa ruangan mewah dengan perabotan mewah pula di dalamnya. Ujung sajadah pun sama sekali tidak terlihat di apartemen itu.

Akhirnya Asep memutuskan menghadap suara azan yang barusan di dengarnya. Mengira-ngira semoga tebakannya benar menghadap kiblat. Semalam Asep lupa menanyakan arah kiblat karena terlalu asik curhat masalah hidupnya. Toh, ia juga telah menjamak magrib dan isya sebelum tiba di terminal. Jadi sekadar memikirkan arah kiblat barangkali sedetik saja, tidak ada sama sekali terpikirkan kecuali baru subuh ini.

Usai menunaikan salat dan bermunajat kepada Yang Maha Kuasa. Mata Asep berlabuh ke sudut paling pojok di sisi atas sebelah kanan pada sebuah lemari buku, yang bentuknya teramat asing untuk sebuah lemari buku. Dilihatnya sesuatu yang begitu akrab dan mencuri perhatian. Di antara semua kemewahan di dalam apartemen, hanya itu saja yang berbeda. Sesuatu itu lantas membawa Asep kembali menyelami memori masa lalu. Mengembalikan sekelabat ingatan yang mengundang rindu untuk kembali menginjakkan kaki ke masa-masa nyantri dahulu. Teringat kisah bagaimana ia dan Ucup sering menghabiskan waktu bersama dengan sesuatu itu.

Sesuatu itu adalah Al-Qur’an milik Ucup yang ia gunakan ketika nyantri. Bentuknya masih sama seperti sepuluh tahun silam dengan coret-coretan yang masih sama persis pula, terletak pada ayat-ayat yang sukar dihafalkan. Hanya saja kini warnanya kian kusam dengan debu tebal menyelimuti seluruh sisinya.

Sayup-sayup cahaya pagi mulai menembus masuk melalui jendela apartemen yang kemudian menghamburkan lamunan Asep bersama kisah masa lalunya. Ia sontak teringat Ucup yang belum melaksanakan Salat Subuh. Buru-buru ia menuju kamar. Dilihatnya Ucup masih terlentang di ranjang. Dibangunkannya Ucup berkali-kali seperti hendak membangunkan orang mati dari kuburnya. Hingga pada percobaan kesekian Ucup akhirnya terbangun. Bergegas Asep menyuruh Ucup untuk segera bangkit lalu mendirikan salat subuh.

Sesaat setelah Ucup bangun dan berjalan tergopoh-gopoh menuju kamar mandi, Asep mengambil Al-Qur’an dari ranselnya. Al-Qur’an yang rupanya sama persis seperti milik Ucup. Hanya saja milik Asep lebih lusuh dengan bekas lipatan di banyak lembaran dan coret-coretan yang hampir memenuhi setiap baris pada tiap halamannya.

Baca Juga  Geliat Pekerja Seni dan Penjual Jasa di Era Pandemi

Lantunan merdu ayat-ayat suci yang Asep bacakan melingkar menghiasi pagi di ibu kota; diikuti sinar matahari yang pelan-pelan merangkak naik. Sebagai juru dakwah di kampung, kemampuan mengaji Asep adalah satu di antara yang paling disukai masyarakat. Mendengarkan Asep membacakan tiap ayat dalam Al-Qur’an dapat menenangkan jiwa bagi siapa saja yang mendengarnya.

Di pembacaannya pada lembar yang kesekian, lagi-lagi Asep teringat sahabatnya. Apakah Ucup sudah melaksanakan salat subuh atau belum. Gusar yang memenuhi relung dadanya itu membuat Asep terhenti. Asep keluar menuju ruang tengah, berdiri tegak, menoleh ke kanan dan kiri. Di sana rupanya Ucup. Duduk santai di balkon apartemen dengan segelas kopi hitam tergeletak di atas meja dan rokok di tangan kanan yang sekali dua kali bertukar bibir dengan gelas kopi.

Sebagai seorang juru dakwah, Asep bergegas menghampiri Ucup di balkon.

“Sudah salat subuh, Cup?”

Ucup tersenyum, lama senyum itu terukir. Ia gembira karena sahabatnya itu masih tetap peduli seperti dulu. Ucup menyuruh Asep duduk di kursi kosong di sebelahnya. Walau rambutnya masih acak-acakan, wajahnya setenang air yang jernih. Seolah ingin mengabarkan, bagaimana mungkin alumni pondok pesantren meninggalkan salat subuh setelah menjadi perantauan di ibu kota?

“Pagi ini, aku akan membawamu bertemu salah seorang kenalanku. Dia orang telivisi. Dia sedang mencari dai untuk mengisi program mereka.”

“Maksudmu?” tanya Asep bingung.

“Kau, kurekomendasikan untuk mengisi nasihat, semacam petuah bijak, di acara tv mereka. Tugasmu nanti adalah memberikan ceramah singkat setelah para artis selesai beradu akting di panggung.”

“Ini terlalu mendadak. Beri aku waktu.”

“Tidak perlu ragu. Kau hanya perlu berceramah seperti biasa sebagaimana di kampung. Kau harus ingat istri dan anak-anakmu yang rela melepasmu pergi dan pengorbananmu jauh-jauh datang ke sini. Ambil kesempatan ini. Kelak kau bukan lagi hanya seorang juru dakwah kampung, kau akan menjelma menjadi juru dakwah layar kaca.”

“Juru dakwah layar kaca?”

“Ya benar, juru dakwah layar kaca.”

Bagikan
Post a Comment