f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
menyingkirkan duri di jalan

Kontekstualisasi Hadis Menyingkirkan Duri di Jalan; Terciptanya Ruang Publik yang Nyaman dan Kondusif

Cukup banyak artikel yang tersebar di berbagai platform media sosial yang menarasikan makna dan keutamaan hadis menyingkirkan duri di jalan. Dari hasil pembacaan beberapa artikel tersebut, menurut penulis belum ada yang memberikan perhatian khusus untuk  mencoba menyelami makna hadis ini dengan pendekatan kontekstual. Padahal, jika kita ingin kembali pada prinsip ajaran diutusnya Nabi Saw. “al-Islam shalih likulli zaman wa makan” maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa, hadis itu tidak mungkin hanya terbatas pada aspek yang bersifat material akan tetapi juga termasuk di dalamnya aspek non material.

Selain itu, dapat juga dikatakan bahwa, muatan makna kata al-tariq (jalan) dalam hadis ini, tidak selayaknya hanya dipahami secara parsial dengan membatasinya pada makna jalan yang selama ini dipahami (trotoar, jalan poros, dan lain-lain). Sebab, dalam konteks kekinian harus diakui bahwa, jalan bagi masyarakat modern itu  ada dua yakni; jalan di dunia nyata (luring) dan jalan di dunia maya (daring). Mungkinkah hadis ini dipahami demikian? Itulah yang akan coba penulis narasikan dalam tulisan ini sebagai pembeda dari narasi-narasi sebelumnya.

Jika berpatokan pada beragamnya redaksi matan hadis, maka dapat dipahami bahwa, metode periwayatan yang digunakan ialah riwayah bi al-makna. Selain itu, agaknya juga terdapat periwayatan secara tanawwu’ berdasar pada perbedaan latar belakang periwayatan hadis terkait hal ini. Tentu, akan sangat panjang jika ingin menyebutkan seluruh riwayat tersebut. Olehnya, dalam tulisan ini penulis hanya akan menghadirkan satu riwayat hadis yang terdapat dalam kitab Sahih Muslim;

حَدَّثَنِي أَبُو بَرْزَةَ، قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ عَلِّمْنِي شَيْئًا أَنْتَفِعُ بِهِ، قَالَ: «اعْزِلِ الْأَذَى، عَنْ طَرِيقِ الْمُسْلِمِينَ

Artinya :

Telah menceritakan kepadaku Abu Barzah dia berkata; Saya pernah bertanya; Ya Rasulullah, ajarkanlah kepada saya sesuatu yang dapat saya ambil manfaatnya. Rsulullah saw. menjawab: singkirkanlah duri/gangguan dari jalan kaum muslimin. (HR. Muslim).

Baca Juga  Akal untuk Mencari Sang Maha Benar, bukan Standar Kebenaran

Sebagai langkah awal, penulis akan coba menguraikan makna kosa kata  yang akan mengantarkan pada makna subtansial hadis ini untuk diterapkan dalam konteks kekinian.

Pertama, kata (al-Adza), dalam kitab Mu’jam al-Lugah al-‘Arabiyah al-Mu’asarah karya Ah{mad Mukhtar ‘Abd Humaid ‘Amr diuraikan bahwa kata ini dengan berbagai hibrida katanya dapat dipahami sebagai tertimpa suatu kepedihan; sesuatu yang tidak disenangi atau kemudaratan. Adapun penggunaan kata ini dalam Al-Qur’an memiliki makna yang plural; beberapa di antaranya bermakna sesuatu yang menyakiti, ingkar atau melakukan hal yang buruk (QS. al-Ahzab/33:69), bermakna gangguan atau kemudaratan (QS. al-Baqarah/2:196); bermakna perkataan buruk atau kata-kata yang kasar (QS. al-Baqarah/2:263).

Kedua, kata (al-tariq), Menurut al-Raghib al-Asfahani (w.502 H) dalam salah satu karyanya al-Mufradat Fi Gharib al-Qur’an;  kata al-Tariq dapat dimaknai sebagai setiap jalan yang ditempuh oleh manusia dalam berbagai aktifitasnya; baik itu  berupa jalan yang terpuji ataupun tercela. Lebih lanjut, al-Asfahani menguraikan dua contoh kalimat penggunaan kata tariq dengan makna jalan yakni جاءت الابل مطاريق  (satu ekor unta datang melalui suatu jalan); dan تطرق الى كذا  (ia berjalan menuju ini) kata tatarraqa sama maknanya dengan kata  tawassala yakni menjadikannya sebagai perantara untuk sampai pada suatu yang dituju.

Dari uraian dua kosa di atas, menunjukan dua hal;

Pertama, sangat memungkinkan perintah Nabi Saw. dengan redaksi اعْزِلِ الْأَذَى dimaknai dengan menghilangkan segala sesuatu, baik itu yang bersifat material ataupun bersifat non material yang dapat menghalangi mobilitas manusia. Hal ini juga didukung oleh pandangan al-Usaimun (w.2001 M) dalam salah satu karyanya Syarh} al-Arba’i@n al-Nawawiyah; yang memahami kata al-Adza dengan makna sesuatu yang bersifat material dan non material seperti perbuatan manusia yang melanggar tuntunan agama; melakukan bid’ah, homo seksual, pelacuran dan lain-lain. Meskipun pada sisi yang lain, penulis punya catatan tersendiri atas pandangan al-Usaimin ini sebab cenderung memuat aspek kepentingan ideologis yang dianutnya.

Baca Juga  Al-Quran Berbicara Tentang Self-Love di Bulan Haram

Kedua, dari uraian makna kata al-Tariq menurut analisis penulis, hal yang ingin ditunjukan oleh Al-Asfahani jika dipahami dalam konteks kekinian; kata al-Tariq menunjukkan makna ruang publik (setiap jalan/ruang yang ditempuh oleh manusia dalam berbagai aktifitasnya). Era modern menuntut adanya dua buah ruang publik yakni ruang publik di dunia nyata (taman, lapangan, tempat olahraga, dan lain-lain); dan ruang ruang publik di dunia maya dalam hal ini media sosial (Instagram, WhatsApp, Facebook, dan lain-lain). Dua ruang ini menjadi ma’na signifikansi hadis ini untuk senantiasa dijaga dari al-adza (sesuatu yang mengandung unsur kemudaratan).

Pertanyaannya kemudian, lantas bagaimana wujud pengaplikasian uzlah al-adza ini di ruang publik (dunia nyata) dan (dunia maya)? Jawabnya, di dunia nyata bentuk pengaplikasiannya telah diuraikan oleh para ulama, salah satunya al-Iraqi (w. 806 H) dalam karyanya Tarh al-Tashrib Fi Syarh al-Taqrib, menurutnya yang dimaksud dengan membuang duri/rintangan di jalan adalah menghilangkan segala sesuatu yang dapat menyakiti dan menyusahkan pengguna jalan.

Jika sesuatu itu berupa batu-batu kecil, maka yang harus dilakukan adalah dengan membuangnya. Jika hal itu adalah sumur atau sesuatu yang berlubang, maka caranya ialah dengan menutupi lubang tersebut. Apabila yang menjadi penghalang itu adalah pohon, maka cara untuk menghilangkannya adalah dengan nemotongnya dan jika yang menyusahkan itu adalah jalanannya yang sempit maka caranya adalah dengan memperluasnya.

Adapun bentuk pengaplikasiannya di dunia maya (media sosial), belum terdapat pandangan ulama yang secara khusus menarasikan hal demikian. Namun, secara eksplisit jika berpatokan pada uraian makna kosa kata al-Adza dan pandangan al-Usaimin sebelumnya; maka wujud pengaplikasian uzlah al-adza di media sosial ialah menghilangkan sesuatu yang bersifat non material; dalam hal ini menghilangkan segala sesuatu yang mengandung unsur kemudharatan bagi masyakakat online; seperti halnya ujaran kebencian dan hoax yang dapat menghalangi seseorang untuk mendapatkan informasi yang valid tentang suatu hal di media sosial.

Baca Juga  Literasi Itu (Gak) Ruwet-Ruwet Amat Kok

Berdasarkan beberapa uraian di atas, menurut analisis penulis makna kontekstual dari hadis ini ialah menunjukan perintah dari Nabi Saw. untuk menghilangkan segala susuatu yang dapat menimbulkan kemudaratan (material dan non material); baik itu di jalanan yang bersifat konkret (dunia nyata) ataupun jalanan yang bersifat abstrak (dunia maya); dengan maksud terciptanya mobilitas ruang publik yang nyaman dan kondusif.

Pada sisi yang lain, perintah dari Nabi Saw. ini  secara implisit juga memuat adanya ketegasan larangan untuk berbuat hal-hal yang dapat mengganggu kekondusifan mobilitas ruang publik; seperti halnya dengan sengaja menyimpan dahan pohon; batu besar; pecahan kaca di jalanan untuk dunia nyata; dan menyebar hoax di media sosial untuk dunia maya. Secara sederhana  mengaktualisasikan “mengingkirkan duri di jalan” berarti menempatkan pesan-pesan moral kenabian atas keselamatan publik/masyarakat secara umum dari gangguan atau rintangan yang akan terjadi. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Bagikan
Post a Comment