f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
buya

Buya dan Ruang Hampa Pancasila

Sejak berpulangnya (wafat) Buya Ahmad Syafii Maarif, rasa-rasanya, hingga saat ini, masih saja orang-orang membincangkan kontribusi buya menjaga keutuhan bangsa dan negara ini. Hal Ini mungkin membuktikan, bahwa betul-betul bangsa ini merasa sangat kehilangan sosok pemersatu bangsa, penerang kegundahan bangsa, di tengah upaya oknum-oknum yang ingin memecah belah keberagaman masyarakat Indonesia.

Dari sekian banyak orang yang merasa kehilangan, penulis adalah salah satu yang ikut merasakannya. Betapa tidak, buya adalah sosok yang menginspirasi, menggugah hidup penulis untuk lebih memahami manusia dan kemanusiaan. Bukan hanya karena penulis dan buya adalah sesama alumni Muallimin Yogyakarta, tapi pesan buya yang amat dalam, “Menghargai orang lain adalah menghargai diri kita sendiri. Seseorang yang tidak manusiawi, mendustai keberadaannya sebagai manusia”.

Pesan yang mungkin juga sekaligus kegelisahan buya ini memang seolah tampak jelas di hadapan bangsa saat ini. Laku saling menghargai, laku saling memanusiakan hanya tersimpan rapi dan terkunci rapat di etalase retorika.

Padahal, bangsa ini punya ideologi dasar yang sejatinya menuntun rakyat, pemerintah, dan seluruh perangkat negara agar mengedepankan nilai-nilai prinsip dasar itu. Prinsip dasar itulah yang kita kenal sampai saat ini sebagai Pancasila.

Pancasila

Sejarah panjang Pancasila merupakan sejarah perjuangan para pemuda yang saat itu memiliki keinginan landasan ideologis maupun filosofis dalam berbangsa dan bernegara. Digawangi oleh Bung Karno, Pancasila kemudian melewati banyak ujian sebelum disahkan dan diproklamirkan.

Suatu ideologi negara, menurut penulis, memang seharusnya melewati banyak ujian agar memberi spirit penanaman ideologi tidak hanyak lewat nilai-nilainya, namun juga lintasan sejarah panjang nan sulit yang terlewatinya. Betapa pentingnya ideologi, Louis Althuser menyebutnya sebagai sebuah gagasan yang memberikan gambaran mengenai bagaimana semestinya manusia/masyarakat menjalani hidupnya.

Baca Juga  Guru Belajar Menulis, Kenapa Tidak?

Semua mesti harus tahu serta memahami, bahwa Pancasila merupakan manifesto konkret tentang keadilan dan kemanusiaan. Karena ini adalah hadiah tak ternilai dari Tuhan yang menggetarkan aras imani, menempatkan Ke-Tuhan-an di pucuk sila adalah keniscayaan.

Bayangkan saja jika nilai-nilai yang ada dalam Pancasila ini tidak ada, kemana arah bangsa dan negara ini ingin dibawa? Tentu bangsa dan negara ini akan buta arah, kehilangan kompas, dan tentu akan “ugal-ugalan” dalam perjalanannya.

Pesan Bung Karno saat memproklamirkan Pancasila, bahwa negara ini akan rapuh jika landasan ini rapuh. Lima butir Pancasila merupakan susunan hirarkis yang saling melengkapi, tak terpisah satu dengan lainnya. Jika satu saja tidak tlaksanakan, maka akan membuat pincang serta cita-cita bangsa yang termaktub di dalamnya tak akan pernah diraih.

Ruang Hampa

Semua tentu tahu, bahwa Pancasila itu adalah falsafah dasar bernegara yang menjadi tuntunan setiap warga negara Indonesia. Kegelisahan buya di atas menegasikan, bahwa Pancasila sebagai falsafah bernegara kehilang ruh. Pancasila bersemayam dalam ruang hampa.

Mengapa ruang hampa? Karena dalam implementasinya, Pancasila seakan-akan hanya menjadi kepentingan elit politik tertentu yang siap “menerjang” siapapun yang berlawanan politik dengan mencap mereka sebagai golongan anti-Pancasila. Menempatkan Pancasila sebagai kepentingan pragmatis, sesaat nan sesat, itulah yang penulis katakan sebagai ruang hampa. Ruang tanpa udara. Ruang minus kehidupan dan penghidupan.

Di Harian Kompas tahun lalu, 31 Mei 2021, Buya Syafii mengajukan satu pertanyaan yang dijawabnya sendiri dalam opininya berjudul “Lumpuhnya Pancasila”: Sejak Proklamasi 1945, apakah Pancasila telah lulus ujiah sejarah? Jawabannya berlawanan antara “ya” dan “tidak”. Buya menggaris bawahi jawaban “ya”; jika dikaitkan dengan konstitusi dan hukum dasar. Namun di sisi lain, ia juga menggaris bawahi dan memberi penekanan pada jawaban “tidak”; sama sekali tidak, jika pelaksanaan nilai-nilai luhur Pancasila itu menyentuh politik negara dan strategi pembangunan nasional. Pancasila sering tak berdaya dan dibiarkan tak berdaya.

Baca Juga  Ahmad Syafii Maarif; Adil Gender Tak Sekadar Teori

Dengan ini, buya ingin menyampaikan pesan, bahwa Pancasila itu punya ruh jika berkaitan dengan dirinya sendiri sebagai landasan konstitusi, namun hampa saat menyentuh dunia politik dengan segala dinamikanya. Politik lantas hanya jadi pemenuhan hasrat berkuasa minus nilai (etik), dan di saat yang sama berefek buruk pada pembangunan karakter bangsa di segala lini, yang menjadi cita-cita penerapan Pancasila itu sendiri.

Revolusi Mental

Dalam membangun karakter bangsa, Presiden Joko Widodo selalu mendengungkan revolusi mental yang menjadi visinya di periode pertama. Tentu revolusi mental ini bukanlah pekerjaan mudah. Di periodenya yang kedua, saat ini, alih-alih ada perubahan mendasar dalam mental masyarakat, yang terjadi justru sebaliknya.

Di sisi pemerintah, korupsi yang diharapkan semakin berkurang, jumlahnya justru semakin tinggi. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2021 menunjukkan hanya naik 1 poin dari capaian sebelumnya, dari 37 menjadi 38, namun poin itu masih jauh dari skor rata-rata global, yakni 43 (Transparency International).

Di sisi masyarakat, khususnya remaja sebagai generasi masa depan bangsa, penggunaan narkoba yang diharapkan semakin hari semakin menurun justru menunjukkan hal sebaliknya. Penyalahgunaan narkoba di tingkat remaja mencapai 57 persen dari total penyalahgunaan narkoba (BNN 2021). Dengan kata lain, remaja mendominasi kasus penyalahgunaan narkoba.

Di samping perilaku korupsi dan penyalahgunaan narkoba, bentuk kriminalitas maupun tindak pidana lainnya pun tak kalah jumlahnya. Hal ini menunjukkan bahwa ada yang luntur dari bangsa ini. Mungkin saja benar kata buya, bahwa yang mengagungkan Pancasila di negara ini memang banyak, namun seiring dan berbanding lurus dengan jumlah pengkhianat Pancasila itu sendiri.

Olehnya itu, negeri ini butuh generasi yang selalu menjadi lentera di tengah upaya tersembunyi para oknum yang ingin mengikis pelan-pelan nilai-nilai luhur Pancasila. Pemerintah bersama seluruh tokoh masyarakat sejatinya menjadi teladan tak padam agar ada contoh bagi generasi-generasi berikutnya.

Baca Juga  Mensyukuri Jeruji Besi Ala Angie

Meski buya telah tiada, namun teladannya sebagai guru bangsa tak pernah redup. Mengingat Pancasila, sama halnya kita mengingat apa yang selama ini buya contohkan. Termasuk Hari Lahir Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Juni, semoga tidak sekedar simbolis tahunan belaka; namun juga diiringi bukti nyata di lika-liku laku berbangsa dan bernegara sampai akhir hayat.

Bagikan
Post a Comment