f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
pulang

Pulang Tanpa Sambutan (2)

Azmi tak langsung menjawab, ia kembali menarik napas berat. Setelah memejamkan mata sejenak, ia pun mulai menggerakkan bibirnya. “Kamu sadar kan kalau tingkat ekonomi keluarga kita belum juga kunjung membaik? Jika seperti ini terus, aku takut jika keluarga kita di masa yang akan datang nanti akan kesulitan untuk sekadar makan. Tadi malam, terlintas dalam pikiranku untuk merantau demi memperbaiki perekonomian keluarga kita.”

“Jadi, kamu berniat merantau, mas? Mau merantau ke mana?” Istri Azmi merespons dengan sedikit kaget. Ia seolah tak siap dengan niat suaminya tersebut.

“Entahlah! Aku belum tahu pasti mana kota yang akan kutuju. Akan kupikirkan hingga besok. Setelah tahu jawabannya, aku akan segera berangkat,” Azmi seakan menutup pertimbangan dari istrinya.

Istri Azmi tak dapat mengucap apa-apa. Sebenarnya ia tak setuju dengan niat Azmi untuk merantau. Namun, ia sadar bahwa ia tak akan dapat mencegah suaminya sekeras apa pun ia berusaha. Obrolan pagi itu pun berujung pada suasana canggung. Mereka berdua lantas kembali ke rumah dengan perasaan hati yang sangat kompleks.

***

Seminggu terlewati. Hari ini adalah hari keberangkatan Azmi. Ia telah memantapkan niat untuk merantau ke Surabaya. Meski tak punya kenalan di sana, Azmi tetap kukuh untuk pergi. Seluruh keberaniannya hanya didasari oleh satu hal, keinginan untuk mengubah hidup keluarganya menjadi jauh lebih layak.

Seusai maghrib, Azmi telah duduk di dalam bus. Ketika bus mulai perjalan perlahan, Azmi terus saja menatap anak dan istrinya yang juga belum beranjak pulang. Baik Azmi maupun anak dan istrinya seakan tak pernah menginginkan perpisahan ini terjadi. Namun, mereka tak berdaya melawan takdir.

Baca Juga  Takdir Memang Begitu Misterius
***

Sudah tiga hari Azmi di Surabaya dan ia belum mendapatkan pekerjaan. Setiap toko telah ia datangi, setiap warung kopi telah ia dekati, semua hasilnya nihil. Belum ditemukannya satu pun tempat yang membutuhkan tenaga kerja. Hingga di satu hari, Azmi benar-benar merasa lelah. Suhu kota Surabaya yang sangat panas mengundang dahaga kian cepat menghampiri tenggorokan.

Azmi memutuskan untuk duduk sejenak di sebuah kedai kopi dan membeli sebotol air mineral. Setelah membayar, Azmi memberanikan diri untuk bertanya tentang lowongan pekerjaan pada penjaga kedai.

“Kalau di sini nggak ada, mas!,” jawab penjaga kedai yang seolah menyiratkan bahwa persaingan di kota benar-benar keras.

Saat hendak memberikan kembalian, penjaga kedai tersebut lantas teringat, “Eh! Di warung makan sebelah ada, mas! Hanya saja posisi yang dicari adalah pencuci piring. Jika mas memang mau, coba dulu datang ke warung makan sebelah!”.

“Oh…..gitu ya, mas!,” Azmi menerima uang kembalian, “Kalau gitu saya pamit. Terima kasih banyak infonya, mas!”.

“Sama-sama, mas!”

Azmi lantas bergegas menuju warung makan di sebelah kedai kopi yang baru ia kunjungi. Awalnya ia sedikit ragu untuk masuk sebab warung makan tersebut cukup besar. Ia takut jika orang di dalam akan mengiranya sebagai peminta-minta. Namun, kecintaan Azmi pada istri dan anaknya mengalahkan rasa takut tersebut.

Mengawali langkah dengan basmalah, Azmi pun mulai berjalan masuk ke dalam warung makan itu. Saat berpapasan dengan salah satu pegawai, Azmi menanyakan perihal lowongan pekerjaan di warung makan tersebut. Ia lantas diantarkan ke belakang untuk bertemu seseorang. Sekira empat puluh lima menit berbincang, Azmi pun diputuskan diterima kerja

***

Hari demi hari Azmi lewati dengan sabar. Meski suasana panas Surabaya kerap membakar emosinya, tapi ia terus berusaha mendinginkan kepalanya. Hal itu ia lakukan sebab ia tak mau menanggung masalah di kota perantauan. Azmi hanya berniat mencari nafkah di kota tersebut, tak lebih.

Baca Juga  Pesan Putus di 21 September 2017

Satu bulan terlampaui. Sekarang merupakan hari di mana Azmi pertama kali menerima gaji. Selepas hasil keringatnya diberikan, mata Azmi hendak meneteskan air mata. Ia berusaha menahannya karena ia masih berada di tempat kerja. Uang gajiannya tersebut lantas ia simpan baik-baik.

Sehabis bekerja, Azmi meminjam HP salah satu temannya. Ia berniat menghubungi istrinya di rumah. Ia mau mengabarkan bahwa esok hari ia akan kirim uang ke rumah sekaligus meminta maaf karena baru bisa memberikan kabar sekarang. Usaha Azmi yang pertama tak membuahkan jawaban. Ia mencoba menghubungi ulang hingga lima kali. Namun, semua hasilnya nihil.

Karena khawatir, Azmi pun meminta izin untuk pulang menjenguk keluarganya selama dua hari. Beruntung tak ada aturan yang mempersulitnya, Azmi pun diizinkan. Sepulang dari tempat kerja, Azmi langsung menuju terminal. Hatinya masih dipenuhi rasa khawatir. Sepuluh menit mencari akhirnya Azmi menemukan bus yang menuju kampungnya. Dalam perjalanan, perasaan Azmi tak dapat benar-benar tenang.

Lima jam perjalanan berlalu. Azmi cepat-cepat menuju rumahnya. Ketika sampai, rasa khawatir Azmi kini memiliki ujung. Azmi bersimpuh, tak kuasa berdiri. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang ia lihat. Air matanya menetes tak berhenti, membuat buram pandangangannya pada rumahnya yang telah hangus terbakar. Kali ini, Azmi tak tahu lagi harus berkata dan berbuat apa.

Bagikan
Post a Comment