f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
pendang bermata dua

Bagaikan Pedang Bermata Dua

Di sebuah sore Syawal menjelang adzan Maghrib, bertahun-tahun lalu, cahaya mentari mulai menghilang, saya mampir ke sebuah warung, memesan nasi pecel dan teh hangat untuk berbuka puasa di Pasar Pandegiling, Surabaya. Pasar Pandegiling adalah sebuah daerah di sebelah selatan Hotel Olympic (persimpangan jalan Pandegiling dan jalan Urip Sumoharjo, Surabaya) yang saat sore dan malam hari waktu itu menjadi tempat berjualan makanan, penuh dengan warung-warung kecil di tepi jalan Pandegiling, ditingkah lampu toko-toko kain, kelontong, dan keperluan rumah tangga lainnya gemerlap menyemarakkan suasana, sementara geliat ekonomi para pengusaha, karyawan perkantoran, masyarakat ‘bawah’ yang masih berjuang mengatasi kemiskinannya, saling tumpang tindih berkelindan di sekitar sini.

Dengan tenang saya nikmati nasi pecel dan rasa hangat manis dari segelas teh yang saya pesan tadi. Memang benar kata para kiai yang sering mengisi rubrik-rubrik agama di koran-koran, bahwa kenikmatan orang yang berbuka puasa adalah di saat pertama kali air membasahi tenggorokan kita. Suatu rasa yang bisa membuat kita seperti ketagihan, selalu ingin minum dan minum lagi.

Saat enak-enaknya menikmati nasi pecel, saya rasakan kehadiran seseorang di sebelah kiri. Waktu saya arahkan pandangan, saya temukan seraut wajah anak laki-laki berumur sekitar 6 tahun, berpakaian sederhana namun lumayan bersih, dan menyembunyikan wajahnya dengan malu-malu. Anak laki-laki itu membawa sebuah mangkuk plastik warna biru yang kadang digosok-gosok bagian dalamnya sambil berkata perlahan, “Om, mohon belas kasihannya.”

Tidak jelas pada siapa dia berkata, tapi dari sikapnya saya tahu bahwa sayalah yang diajak bicara.

Saya pandangi wajahnya dengan tenang bercampur kasihan, dan hampir bersamaan saatnya, saya juga ingin mengelus kepalanya seraya mengeluarkan kata-kata yang dapat menghiburnya. Tapi itu pun tidak saya lakukan. Yang terjadi berikutnya adalah, saya mengambil uang, dan tanpa berkata apa-apa saya taruh uang itu di mangkuknya. Saya tidak mampu memandang wajahnya. Dengan cepat sang bocah mengambil uang tersebut, kemudian berlalu setelah mengucapkan “terima kasih” dengan perlahan.

Baca Juga  Mitos Tentang Tinggal di Luar Negeri

Setelah anak itu berlalu, pikiran saya melayang pada cerita-cerita tentang para Khulafaur Rasyidin serta sahabat nabi, Abu Zarr al-Giffari. Mereka begitu memperhatikan nasib para duafa. Mereka mau menyamakan keadaan dirinya yang sederhana dengan keadaan rakyatnya yang lemah, sehingga si miskin tidak tersengat dengan pedih miskinnya.

Saya juga teringat pada seorang pengusaha toko buku di kawasan Tugu Pahlawan Surabaya di tahun 1990’an (jauh ketika belum ada istilah “Jum’at berkah”) yang secara rutin mengumpulkan orang-orang miskin pada hari Senin dan Kamis, lalu tanpa pamer ia memberi nasi bungkus dan uang sekedarnya pada mereka. Tentu saja para papa gembira dan ramai menyambutnya.

Begitu indah perhatian dan kasih yang para dermawan tunjukkan, seindah suasana gembira dan seramai ketika para papa menyambut azan Maghrib berbuka puasa di bulan Ramadan.

Dengan renungan itu, saya lanjutkan makan nasi pecel yang tersisa. Sambil makan saya amati toko-toko pakaian di belakang warung di sepanjang jalan Pandegiling. Seandainya saja para pemilik toko itu mau berbuat seperti pengusaha toko buku di kawasan Tugu Pahlawan.

***

Tiba-tiba seorang anak perempuan kecil masuk ke warung sebelah tempat saya makan. Setelah melihat ke kanan dan kiri, memperhatikan bahwa pemilik warung tidak melihatnya, dengan cepat dia mengambil sekerat daging sisa di piring-bekas-makan seorang pembeli yang baru pergi, dan langsung dimasukkan ke mulutnya yang mungil…. dimakan!

Begitu cepat kejadian itu berlangsung, sehingga saya hanya bisa ternganga saja.

Bahkan akhirnya saya sadar bahwa anak itu telah berada di belakang saya, menepuk punggung seraya memanggil; ’Pak….!!!’. Dan ketika saya berbalik menoleh padanya, dengan wajah keras menantang, jauh dari kesan memelas, tanpa ucapan lirih permohonan belas kasihan, tanpa ba-bi-bu lagi, dengan berani dia menatap mata saya seraya menadahkan tangan! 

Baca Juga  Merawat Kebhinekaan di Program Bekal Pemimpin

Wahai…. Hanya dalam hitungan belasan menit saya telah dilibatkan pada dua kejadian ganjil!

Sikap saya terhadap anak perempuan ini pun berubah, berlawanan dari sikap pada anak laki-laki tadi. Muka saya jadi kaku, waspada, bahkan cenderung sinis.

Saya menggelengkan kepala, menolak permintaannya sambil berkata: “Saya tidak akan memberimu uang, kecuali kamu….” Tapi anak itu malah terus berlari pergi, tidak mengacuhkan omongan saya lagi.

***

Di tengah perjalanan saat pulang, saya membatin dan merenungkan kembali kejadian-kejadian tadi.

Ya Allah, apakah mengemis sudah menjadi profesi yang menguntungkan sehingga mampu mengubah anak sekecil itu menjadi anak yang agresif, ataukah karena tekanan keadaan saja?

Bila mengemis memang telah menjadi profesi, saya tidak bisa lagi membayangkan bagaimana sebenarnya etika sosial masyarakat kita. Mungkin yang terjadi mirip dengan keadaan yang digambarkan pada novel Quo Vadis karangan Henryk Sienkiewicz yang bercerita tentang zaman kekaisaran Romawi di bawah pemerintahan Nero, dimana para pengemisnya setiap hari bergerombol di forum, bermalas-malasan sambil menunggu pembagian roti secara gratis dari Kaisar. Mereka memuji-muji kaisar dan makin memuji agar jatah roti dan gandum mereka bertambah banyak.

Itulah etika moral yang berlaku saat itu, siapa yang mampu memberi makanan yang paling banyak, dialah yang menjadi penguasa. Siapa yang yang mampu memuaskan kebutuhan perut mereka, dialah yang disembah. Jadi kekuasaan di sini ditentukan oleh pemuasan syahwat dan kebutuhan jasmani saja.

Hal ini jauh berbeda dengan saat Umar bin Khattab menjadi pemimpin umat Islam. Sering kita mendengar cerita adanya seseorang yang berlama-lama zikir di masjid. Oleh Umar ia dibentak: “Kau tidak akan mendapatkan rezeki dengan hanya berzikir. Bekerjalah.”

Baca Juga  Wujud Kasih Sayang Ibu (2)

Jadi pada akhirnya, menurut saya kemiskinan itu bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi kemiskinan menimbulkan keprihatinan yang menyedot perhatian kita agar mau mengulurkan tangan membantu mengurangi penderitaan kaum duafa; di sisi lain ia merupakan sisi negatif bila kita manjakan tanpa ada upaya untuk mengubah, minimal mengarahkan dan membantu si miskin agar mau memperbaiki kondisi hidupnya menjadi lebih baik.

Bagikan
Post a Comment