f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kartini muda

Mendengar Rintihan Kartini Muda di Pelosok Desa

“Apa kabar Kartini Muda ?”. Mungkin kabar yang kebanyakan masyarakat dengar adalah Carina Joe, salah satu pemilik hak paten vaksin AstraZeneca, atau Maudy Ayunda, salah satu aktris, penyanyi, serta lulusan universitas top dunia, atau bahkan Najwa Shihab, seorang jurnalis, pembawa acara, sekaligus aktivis feminis yang begitu semangat menjunjung tinggi hak-hak perempuan.

Apakah kalian pernah mendengar kabar perempuan-perempuan yang berbanding terbalik dengan mereka? Atau sebenarnya kalian sudah sering mendengar rintihan mereka, hanya saja kalian tidak menyadari?

Dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya sering sekali kita mendengar kabar mereka. Apalagi, bagi masyarakat yang hidup di lingkungan pedesaan. Kebanyakan perempuan di pelosok desa masih belum memperoleh ke-Kartini-annya. Bukan berarti mereka tidak mahu menjadi seperti sosok Kartini, hanya saja mereka masih terbatasi oleh budaya patriarki.

Budaya patriarki di pedesaan, kebanyakan menempatkan perempuan sebagai kelompok sub-altern, yakni kelompok yang didominsi dan dirugikan, sekaligus dihilangkan kesadarannya, sehingga mereka hanya bisa menerima. Salah satu pendominasian ini ialah hanya karena seseorang adalah perempuan, sebagian masyarakat desa menganggap bahwa pendidikan tidak akan begitu penting baginya.

Sehingga, mereka cenderung mengutamakan anak laki-laki untuk melanjutkan pendidikan formal. Karena kesadaran hak-hak perempuan juga dihilangkan, merekapun hanya bisa diam, tanpa membantah anggapan tersebut. Namun, jauh dalam diri mereka, sebenarnya terdapat diri yang sedang merintih berusaha melawan kejamnya sistem tersebut.

Perempuan desa, berdasarkan stigma kelembutannya, menanggapi sistem tersebut dengan kelembutan,“Seru ya kamu bisa sekolah SMA !”, “Kamu pasti pintar banget ya !”, atau pura-pura menanyakan, “Kamu sekolah di mana ? Kelas berapa ?”

Kalimat-kalimat tersebut sering keluar dari perempuan yang belum memiliki kesempatan untuk bersekolah formal kepada teman sebayanya yang sedang sekolah. Kalimat ini bukan sekedar pujian atau basa-basi semata, kalimat tersebut sebenarnya adalah bentuk rintihan mereka terhadap nasibnya yang tidak seberuntung temannya.

Baca Juga  Kiat-Kiat Menjadi Bapak Rumah Tangga

Setelah mereka lelah rintihannya diabaikan, kebanyakan mereka memutuskan untuk membangun sebuah keluarga. Perempuan desa berekspektasi dengan membangun sebuah keluarga baru, ia akan mengurangi beban keluarganya. Tapi, ini adalah jurang bagi keseangsaraan mereka.

Pernikahan dini bukanlah sebuah solusi hanya karena individu adalah seorang perempuan, yang sebenarnya memang bukan sebuah masalah. Pernikahan dini hanya mengantarkan perempuan dari permasalahan satu ke permasalahan lainnya.

Pada usia yang masih dini, individu belum bisa mengolah emosi dengan baik. Rahim perempuan di bawah umurpun juga belum siap untuk dibuahi, sehingga tidak jarang terjadi keguguran, pendarahan, atau permasalahan lainnya. Masyarakat melihat ini hanyalah sebuah fenomena kehidupan biasa, padahal, ini semua adalah bentuk rintihan para Kartini muda yang dihilangkan kesadarannya.

Saat para Kartini muda dari desa ini menjadi seorang ibu,  bukan berarti rintihan atas apa yang terjadi pada masa muda mereka hilang begitu saja. Siapa yang tidak ingin memakai jas almamater kampus? Siapa yang tidak inging merasakan atmosfer diskusi di dalam ruangan kelas? Dan siapa yang tidak ingin merasakan suasana demo yang penuh kebebasan? Semua anak muda, termasuk perempuan, pasti menginginkan pengalaman-pengalaman tersebut. Namun, banyak dari mereka tidak memperoleh kesempatan itu hanya karena kondisi budaya yang tidak adil.

Dalam lubuk hati yang paling dalam, perempuan desa yang sudah menjadi ibu masih mendambakan kebebasan masa muda mereka yang direnggut oleh sistem patriarki. Namun lagi-lagi, karena stigma kelembutan yang melekat, mereka hanya menanggapi semua itu dengan bahasa kelembutannya, sehingga rintihan mereka sering kali terabaikan.

Rintihan tersebut sering mereka utarakan kepada anak-anak mereka. “Kamu harus jadi orang pintar ya, nak, Kamu sekolah rajin-rajin, supaya bisa jadi orang” !”, “Jangan jadi seperti ibu yang tidak sekolah, kamu harus sekolah tinggi-tinggi”. Kalimat-kalimat tersebut sering keluar dari ucapan ibu, sebagai bentuk rintihan batin yang ia sembunyikan.

Baca Juga  R.A Kartini dan Kesetaraan Pendidikan

Atau, mereka juga kerap kali membandingkan anak mereka dengan anak-anak tetangga yang lain. Sekali lagi, ini bukanlah fenomena biasa saja. Ini adalah jeritan para Kartini muda di pedesaan yang merintih secara halus karena ia tidak memperoleh kebebasan pada masa mudanya. Mereka mengharapkan apa yang terjadi dalam hidup mereka, tidak dirasakan oleh anak-anak mereka.

Begitulah setidaknya kabar para Kartini muda yang ada di pelosok desa. Para Kartini muda ini kurang beruntung, tidak layaknya Carina Joe, Maudy Ayunda, Najwa Shihab, atau seperti sosok Kartini sendiri yang lahir dari keluarga bupati Demak dan anak dari bupati Jepara. Mereka berjuang dalam keheningan dan terus merintih akan kebebasan dalam bahasa kelembutan.

Oleh karena itu, peran aktif individu lain, terutama para perempuan intelektual akan sangat membantu mengeraskan rintihan terhadap hilangnya kebebasan mereka, sehingga masyarakat mampu mendengar suara-suara tersebut.

Saat ini, perjuangan mereka adalah melalui anak-anaknya. Mereka menanamkan jiwa-jiwa ke-Kartini-an secara perlahan kepada anak mereka supaya mereka kelak bisa memiliki kebebasan. Meskipun Kartini muda di desa tidak bisa menjadi sosok Kartini yang dikenal oleh dunia, mereka sedang membibit tunas-tunas Kartini yang akan tumbuh pada waktu yang bersamaan sehingga sosok Kartini buka terkenal di mana-mana, melainkan berada di mana-mana.

Bagikan
Post a Comment