f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
toleransi

Balada Toleransi Antara Anak dan Ayah Bunda

Kian hari, manusia semakin kompleks dan heterogen. Dari situ, setiap manusia yang memiliki latar belakang berbeda semakin dituntut untuk mampu bersinergi, berkolaborasi, chill bareng, bahkan nongki bareng. Kalau diistilahkan kudu toleransi, namanya. Tuntutan untuk hidup berdampingan ini bukan hanya terjadi pada lingkup yang luas saja. Bisa dikatakan tuntutan “kudu bertoleransi” ini harus dibiasakan sejak lingkup terkecil dalam tatanan masyarakat. Yap benar, dari keluarga.

Sebenarnya, true the meaning of toleransi itu apa sih? Beragam. Iya, ternyata toleransi itu memiliki banyak sekali definisi. Tiap individu memiliki definisi toleransi sendiri-sendiri. Mereka juga memiliki versi toleransi yang ideal masing-masing. Fenomena seperti itu wajar-wajar saja terjadi. Satu kepala, satu pandangan dan tentu banyak ragamnya. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia tercinta, term “toleran” memiliki arti bersikap menenggang pendirian yang berbeda. Bentuknya dapat berupa menghormati, menghargai, membiarkan, ataupun membolehkan suatu pendapat, pandangan, kepercayaan, kelakuan, bahkan kebiasaan. Dan perlu kita ketahui bahwa toleransi bukan hanya sebatas dalam hal agama saja. Karena yang pluralistis itu bukan hanya agama. Wong dalam memberikan definisi dari kata toleransi itu sendiri saja, sikap toleran juga harus dimunculkan. Iya kan?

*

Mungkin materi toleransi selalu menjadi materi wajib yang harus dilalui di bangku sekolah dasar. Mulai dari ajaran bertoleransi dalam keluarga, antar tetangga, bersekolah, bernegara, bahkan hingga kolam yang lebih luas lagi, toleransi dalam lingkup umat manusia. Namun sayangnya, meskipun dapat dikatakan seluruh individu telah lulus pada materi tersebut, isu-isu intoleran juga masih menjadi pemandangan asyik yang dapat dinikmati. Materi-materi tersebut hanya cukup menjadi materi saja. Tanpa ada olahan lebih lanjut, tanpa ada aksi yang nyata. Kalau dalam narasi jawa istilahnya, “Mung modal iyik thok”.

Bisa ditengok saja pada hubungan para orang tua dan anak-anaknya. Apakah ajaran toleransi sudah teraplikasikan dengan apik? Apakah para ayah bunda telah menolerir anaknya dengan baik? Begitu pun sebaliknya, apakah para anak sudah menolerir orang tuanya dengan baik pula? Mari kita kupas pelan-pelan.

Baca Juga  Sejuta Prestasi di Balik Kesunyian
Teorema Toleransi Kesalingan

Melalui tulisannya The Culture of Toleration in Diverse Societies, Rainer Forst, seorang filsuf asal Jerman menuturkan ada empat konsep toleransi. Dari keempat konsep toleransi tersebut, ada satu konsep yang bernama Coexistence Conception. Di dalam konsep toleransi ini, suatu kelompok masyarakat itu tidak ada yang namanya si superior dan si inferior. Di dalam masyarakat hanya diisi oleh kelompok-kelompok yang memiliki power yang sederajat. Merekalah yang menjalankan dinamika dalam konsep ini. Toleransi yang terjalin merupakan toleransi kesalingan. Bukan satu kelompok menolerir kelompok yang lain, melainkan antar kelompok saling menolelir, saling “bergandengan”.

Dari tuturan filsuf di atas, penulis menawarkan konsep toleransi kesalingan untuk dapat diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam hubungan orang tua dan anak.  Sehingga dalam tatanan keluarga tidak ada yang menjadi si superior dan si inferior. Antara orang tua dan anak masing-masing memiliki hak yang sama untuk dihormati dan dihargai. Keduanya harus saling menolelir, saling “bergandegan”, dan bisa saling “tos” bareng. Tidak boleh ada aksi mem-bias antara satu sama lain.

Banyak cerita yang ternyata apabila ditelisik lebih teliti kembali, toleransi antara orang tua dan anak masih menjadi hal yang utopis. Parameter untuk menjadi anak yang paripurna dan parameter untuk menjadi orang tua yang sesungguhnya masih tampak abu-abu. Bahkan beberapa waktu yang lalu, ada salah satu meme yang menjadi tranding topic pada platform Twitter. Meme tersebut berbunyi, “Emak-emak mana tau rasanya anaknya nangis tanpa suara di kamar”. Tentu saja hal tersebut menjadi perhatian para warganet yang pasti di real life merupakan anggota masyarakat yang nyata.

*

Meme tersebut juga sempat ter-counter oleh narasi yang berbunyi, “Anak juga gatau, diem-diem emaknya nangis mikirin anaknya, makan besok, kehidupan keluarga, klo bapak mokat gimana kehidupan selanjutnya. Udah beban jangan jadi beban, Nak”. Terbentuklah dua kubu yang saling meng-counter; satu kubu perwakilan dari para anak dan satu kubu lainnya perwakilan dari para orang tua. Masing-masing merasa relate dengan meme tersebut. Masing-masing saling menyalahkan satu sama lain. Pun saling menjadikan beban; anak merasa orang tua adalah beban, dan orang tua merasa anak adalah beban. Dari sini tampak sekali bahwa hubungan kesalingan masih belum begitu terjamah.

Baca Juga  Kompetisi Debat di Sosial Media dengan Trending Twitter sebagai Mosinya

Cerita yang lain lagi bahwa banyak anak yang merasa menjadi objek ekspetasi oleh orang tuanya. Mereka mengaku bak menari dalam bayangan, hidup dalam segenap harapan. Segala hal yang berkaitan masa depan, pendidikan, pekerjaan, bahkan keimanan seakan-akan dikejar untuk dituntaskan dan berjalan dengan sempurna. Harus menjalani pendidikan yang tinggi dengan nilai yang baik, harus meraih prestasi yang luar biasa, harus ini, harus itu. Begitu pun dengan orang tua yang mendapat tuntutan untuk mampu menjadi panutan bagi semua anak-anaknya. Harus mampu memfasilitasi segala kebutuhan anak-anaknya. Pun harus ini, harus itu. Intinya masih sama, hubungan kesalingan masih belum menjadi pegangan bersama.

Percekcokan antara orang tua dan anaknya juga masih kerap terjadi. Orang tua yang merasa bahwa mereka yang lebih berpengalaman, sehingga seringnya selalu bersikeras untuk mempertahankan opini-opininya. Adapun para anak yang merasa lebih berpendidikan tinggi juga turut bersikukuh terhadap pendapat-pendapatnya. Sama-sama tidak ada usaha untuk mencoba menelisik dan memahami dari berbagai sisi. Jauh dari comprehensive judgment atau decision yang fair.

*

Jika kita bertolak dari agama, toleransi kesalingan antara anak dan orang tua sudah dibahas dengan rapi. Menghormati dan menghargai orang tua mungkin sudah familiar di telinga. Merekalah sumber keberadaan seseorang, sehingga sangat layak untuk dihormati dan dihargai. Hal ini pun telah ter-maktub dalam Quran Surah al-Isra ayat 23, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya..” Begitu pula dengan hubungan timbal balik kepada anak. Rasulullah memberikan pesan kepada umat Islam agar menghormati anak. Dalam Sunan Ibnu Mājah bab al-Adab Hadits nomor 3671 tertulis, “Hormatilah anak-anak kalian dan didiklah tata krama mereka dengan baik”.

Baca Juga  Rabi’ul Awal; Refleksi Perjuangan Sang Pembebas

Maka dari itu, memulai untuk mengimplementasikan toleransi kesalingan di antara seluruh elemen keluarga seyogyanya segera dilaksanakan. Mulai di antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, hingga sesama saudara. Ini yang menjadi refleksi bersama. Saling menghormati, saling menghargai, saling membantu, dan saling-saling lainnya adalah hal-hal kecil yang mampu menanamkan karakter toleransi. Apabila karakter toleransi sudah terbentuk dengan baik, isu-isu intoleran di kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan berumat manusia tidak akan terulang. Karena bagaimanapun, toleransi dalam keluarga adalah toleransi terdasar yang harus mendapat perhatian yang lebih.

Penulis : Eka Nur Wahyuni (Mahasiswi biasa yang suka nyoba corat-coret)

Bagikan
Post a Comment