f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
perempuan madura

Politik Perempuan Desa Madura

Tragedi Perempuan Madura

Madura bukan hanya tersohor sebagai daerah penghasil sate, batik, dan karapan sapi. Masyarakat luar juga mengenal Madura sebagai surplus patriarki yang masih mengakar kuat. Kuatnya nilai patriarki di Madura, saya ketahui saat berkuliah di Surabaya. Berbagai teman saya mengajukan pertanyaan “Bagaimana bisa Madura masih terus menjalankan praktik patriarki, terutama dalam aspek keluarga dan politik?”

Saya sebagai orang Madura harus mengakui bahwa secara relasi, orang Madura masih memupuk sistem patriarki. Ini menjadi kontradiktif dengan sistem keluarga di Madura yang menganut matrilineal. Secara afeksi, keluarga menjunjung tinggi perempuan Madura. Sebagaimana kepemilikan rumah akan menjadi bagian dari anak perempuan. Bahkan, saat perempuan telah meninggal, kuburannya memiliki relief bangunan yang lebih mapan.

Lalu, mengapa kontradiktif? Secara struktural, perempuan Madura justru menjadi kaum yang terpinggirkan. Saya memiliki dua data lapangan yang bisa memperkuat argumen tersebut. Pertama, dalam ranah pendidikan sekolah di SMA, guru perempuan memiliki akses yang minim untuk memasuki arena pemilihan guru untuk seleksi calon kepala sekolah. Minimnya akses terjadi adanya politik ruang yang berkelindan dengan budaya dan agama.

Kedua, perempuan Madura juga mengalami penyingkiran dalam politik kepala desa. Masyarakat masih berasumsi jika perempuan belum bisa mengatur kehidupan banyak orang nantinya. Berdasarkan catatan lapangan saya di Sumenep, rata-rata kepala desa merupakan laki-laki. Hanya ada dua desa yang dipimpin oleh perempuan, yakni desa Kebunan dan desa Lalangon.

Dinamika Politik Desa Lalangon

Dari dua desa yang saya sebutkan, saya memiliki pengalaman menarik tentang kepala desa Lalangon.  Sebagai orang Lalangon, saya memahami perjalanan politik desa Lalangon selama sembilan tahun terakhir. Pada pemilihan kepala desa di tahun 2014, terjadi ketegangan antar calon kepala desa. Ketegangan bermula saat antar calon kepala desa saling menebarkan serangan untuk memperoleh massa.

Baca Juga  Sunat Perempuan : Fatwa dan Peraturan di Indonesia

Ketegangan semakin terasa panas saat terjadi konferensi di balai desa. Konferensi mempertemukan semua calon kepala desa di satu ruang. Oleh karenanya, bisa dibayangkan ketegangan yang terjadi. Namun di sela-sela ketegangan, terjadi momen yang tak disangka, yakni saat calon kepala desa bernama Ibu Iin secara mengejutkan melakukan pengunduran diri.

Beberapa wartawan mengajukan pertanyaan “Apakah anda serius mengundurkan diri?” Ibu Iin dengan sikap dinginnya menjawab “Iya. saya yakin untuk mengundurkan diri dari pemilihan kepala desa.”

Jujur saja, pengunduran diri Ibu Iin merupakan sikap yang tak terbayangkan sebelumnya. Desas-desus di masyarakat, memperlihatkan jika Ibu Iin menjadi salah satu calon yang diperhitungkan dalam kancah politik  desa Lalangon. Mengingat, memiliki massa yang banyak. Tetapi, usut punya usut, alasan Ibu Iin mengundurkan diri cukup logis bagi saya.

Alasan utamanya adalah  agar tidak terjadi timbulnya konflik yang begitu besar. “Pengunduran diri saya menjadi usaha preventif untuk mengurangi ketegangan politik. Saya merasakan adanya gesekan yang kuat antar calon kepala desa.  Maka dari itu, pengunduran diri menjadi jalan utama agar desa masih bisa terkendalikan,” jawaban singkat dari Ibu Iin.

Kebijaksanaan dan Perdamaian

Terjadinya pengunduran dari, membuat sebagian masyarakat berasumsi jika perempuan memang tidak seharusnya mengajukan diri di pentas politik. Mereka menganggap bahwa perempuan tidak memiliki jiwa sekuat singa menghadapi kerasnya kehidupan. “Memang lebih baik laki-laki saja yang mencalonkan diri. Perempuan duduk di rumah saja. Memang sudah teruji kalau laki-laki layak menjadi pemimpin,” pungkas sebagian masyarakat.

Berbeda dengan penilaian sebagian masyarakat yang cenderung mengkambing hitamkan perempuan. Saya justru melihat jiwa sekuat singa di balik pengunduran Ibu Iin. Sebab, tidak mudah bagi seseorang menurunkan egonya demi kemaslahatan masyarakat bersama. Apalagi secara akumulatif, Ibu Iin sudah memiliki massa yang banyak. Sehingga, lebih mudah memenangkan kontestasi kepala desa.

Baca Juga  Soal Baking, Masak-memasak, Hingga Perasaan Kesepian

Kondisi ini tak jauh berbeda dengan kerendahan hati Gus Dur yang menerima pelengserannya di depan ribuan pendukungnya. Kerendahan hati  lebih penting di hadapan politik, daripada keegoisan.  Kerendahan hati bertujuan untuk mencapai perdamaian.

Karena itulah, saya sering menyatakan bahwa saya kagum terhadap perempuan. Saya mengagumi perempuan karena ada kebijaksanaan dalam tubuh perempuan. Serupa dengan Ibu Iin, yang menurut saya bijaksana saat memutuskan untuk  mengundurkan diri.

Tidak mudah untuk mencapai kebijaksanaan di tengah himpitan manusia modern yang sadis. Manusia modern tidak segan menghancurkan lawannya demi mencapai kepentingan pribadi atau kelompoknya.  Manusia modern lebih sering memikirkan harta, tahta, dan kasta. Akibatnya, sering melupakan keutamaan cinta yang memanusiakan.

Politik Anti Kekerasan

Selepas pemilihan kepala desa di tahun 2014, desa Lalangon mulai kembali mengadakan pemilihan kepala desa di tahun 2020. Ibu Iin kembali lagi mencalonkan diri. Berbeda dengan tahun sebelumnya yang mengundurkan diri, kini mencalonkan diri hingga terpilih menjadi kepala desa.

Ada yang unik dari politik Ibu Iin saat mencalonkan diri menjadi kepala desa. Ibu Iin lebih melakukan pendekatan diskusi untuk mencapai titik temu. Pendekatan diskusi lebih dilakukan kepada lawannya. Sempat terjadi ketegangan saat Ibu Iin memenangkan pemilihan kepala desa. Calon lawannya dari Bapak Surasa (nama samaran) melakukan blokade jalan. Akibatnya, masyarakat sekitar tidak bisa melawati jalan tersebut.

Ibu Iin yang menerima laporan dari masyarakat, turun tangan dengan tidak menggunakan kekerasan. Melainkan, melakukan diskusi untuk mencapai kesepakatan bersama. Hingga akhirnya jalan yang awalnya mengalami blokade, mau dibuka kembali. Menurutnya, pendekatan diskusi lebih nyaman daripada harus membuang tenaga. Belum lagi ketika menggunakan kekerasan, hanya menimbulkan konflik berkepanjangan.

Baca Juga  Peran Ibu Rumah Tangga sebagai Pahlawan Lingkungan (2)

Hal unik lainnya adalah saat pelantikan sebagai kepala desa oleh Bupati, Ibu Iin tidak ingin ada konvoi. Kebiasaan di Sumenep adalah setiap pelantikan kepala desa terpilih akan ada konvoi. Tujuannya agar tim lawan menjadi panas dan memamerkan ke masyarakat bahwa dirinya merupakan pemenang. Tujuan itu yang membuat dirinya tidak mau di hari pelantikannya ada konvoi.

Yang ingin dikedepankan olehnya ialah perbedaan suara pasti terjadi. Namun, jangan sampai perbedaan menghasilkan sikap yang menghancurkan.

Perempuan Madura Agen Perdamaian

Dengan demikian, perempuan Madura bukan tidak bisa menjadi seorang pemimpin. Hanya saja, suara mereka sering terpinggirkan oleh nilai patriarki yang masih melekat. Oleh karenanya, kemandirian dan kegigihan menjadi modal utama yang harus dimiliki perempuan Madura.

Apalagi jika berkaca pada Ibu Iin, saya semakin yakin bahwa perempuan Madura mampu menjadi  garda pencipta perdamaian. Melihat karakter perempuan Madura yang saling mencintai.

Ini terjadi karena perempuan Madura sejak kecil diajarkan nilai kebaikan oleh orang tuanya. Salah satunya,  jha’ senneng alakone kalakoan se agebey dhibi’ ban orang laen nyangsara (jangan membuat perbuatan yang membuat diri sendiri dan orang lain susah).

Dan bagi perempuan Madura, hidup ini sederhana. Lakona lakone, kennengenna kennengi. Parebesan itu mengajarkan, bahwa hidup jangan berlebihan. Karena yang utama adalah kebermanfaatan dengan sesama.

Bagikan
Post a Comment