f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
emosi

Hati-Hati, Perasaan Kalau Dimanja Menyesatkan

Temanku cerita, lagi diliputi rasa sesal. Aku hanya bengong aja dengerin cerita nya. Sampai akhirnya dia bertanya, “Bagaimana menurutmu?”

Aku tau dia bukan tidak tahu apa yang terjadi, temanku hanya butuh konfirmasi. Seminggu yang lalu terjadi perdebatan dengan pasangannya, tanpa menurunkan temperatur emosinya atau mencoba melihat dari sudut pandang yang lain. Temanku langsung teriak, “Yaudah kalau emang kamu gak mau ngerti, memang lebih baik pisah.” Dan kini dia menyesali pernah mengatakan itu. Di sela-sela waktu senggangnya dia teringat seseorang pernah berkata kepadanya, ‘jangan ambil keputusan saat kamu marah’ dan sekarang dia tahu akibatnya.

Tidak tahu alasan yang jelas kenapa mereka bertengkar. Selidik punya selidik temanku menerka-nerka bahwa perdebatan belakangan sering terjadi karena berat badan temanku terus naik. Aku hanya tertawa, memang itu kenyataannya mau gimana lagi. “Masa aku diet ketat? Astaga, lapar man!!” keluh dia kepadaku.

***

Setelah aku mencari tahu lewat wawancara singkat dengan temanku, aku menemukan fakta bahwa makanan yang ia konsumsi hampir semuanya adalah karbohidrat. Yaitu olahan nasi, kentang, tepung dan turunannya, ditambah tinggi gula.

Sedikit penjelasan tepung dan turunannya adalah makanan dengan semua jenis proses yang berbahan dasar dari tepung. Baik itu bakso, mie ayam, siomay, pangsit, kwetiau, brownies, cake, sosis, capcay, bakwan, cilok, cireng, dan kawan-kawannya. Terlebih lagi gaya hidup temanku yang jarang gerak, tak suka olahraga. Komplit sudah, kalori yang masuk dan yang keluar gak sebanding. Surplus kalori setiap hari, apa yang ia harapkan? Kurus? Berat badan ideal? Ya mimpi.

Saat itu kami ngobrol di salah satu cafe dekat SMA kami dulu. Entah sudah berapa batang rokok yang ia hisap semenjak satu jam yang lalu. “Yakin hanya gara-gara berat badanmu bro? Rokokmu gak ikut-ikutan tuh?” tanyaku.

Baca Juga  Menembak dan Stabilitas Emosi; Tentukan Targetnya

Dia tampak berpikir, “Dari pertama dia mengenalku dia sudah tahu kalau aku merokok. Harusnya gak jadi masalah.” Setelah beberapa detik, “Bisa juga sih rokok ikut-ikutan.” Katanya sambil nyengir.

***

Berhenti merokok memang bukan perkara mudah dan cepat, hampir semua candu harus melewati proses panjang. Bukan melulu soal adiksi terhadap tubuhnya tetapi juga kejiwaannya. Karena semua candu menyerang kejiwaan seseorang. Maka dari itu pengobatan bagi pecandu narkoba di konsultasikan ke dokter spesialis kesehatan jiwa (SpKJ). Menurut Mark Manson, “Jika otak kanan (emosi/perasaan, intuisi) manusia ibarat sebuah gajah dan otak kiri (rasional, analisis) manusia ibarat orang. Yang terjadi bukan orang mengendalikan gajah. Faktanya adalah gajah bertindak semaunya, dan orang mencari pembenaran perbuatan gajah.” Miris, bukan?

Ini menunjukkan bahwa kita bertindak berdasarkan emosi-perasaan kita, bukan dari apa yang kita ketahui-otak rasional kita. Ada sebuah fakta yang dr. Jiemi Ardian SpKJ sampaikan, “Kita semua tahu bahwa sayur itu menyehatkan, tapi apakah lantas kita menjadi suka makan sayur? Kita tahu bahwa olahraga itu menyehatkan, tapi apakah kita terus rajin berolahraga? Kita tahu bahwa merokok itu tidak baik untuk kesehatan, tapi apakah kita jadi berhenti merokok? Jawabannya ‘Tidak’.”

Dan ini adalah masalah kita semua. Kemudian Anda berpikir, ‘Kalau begitu, berarti kita tidak perlu mempertimbangkan emosi atau perasaan kita dong?’ Sayangnya itu juga bukan keputusan yang bijak. Mark Manson memaparkan sebuah kasus, “Salah satu pasien yang mengalami kecelakaan dan harus diambil salah satu bagian otaknya yang berfungsi sebagai pengendali emosi-perasaan, tidak bisa lagi mempertimbangkan manakah yang lebih penting dari membeli staples atau datang ke ruang meeting. Ada seorang pasien tidak berangkat meeting karena membeli staples.”

Baca Juga  Mencintai Diri Sendiri Tanpa Terjebak Narsisme
***

Kemudian anda bertanya, ‘Terus apa tindakan yang paling tepat?’ Yang paling tepat adalah kendalikan emosi dan perasaan kita.

Pertanyaan krusial dari temanku adalah, “Terus bagaimana caraku berhenti merokok?” Aku jelaskan padanya bahwa tubuh hanya butuh tiga hari untuk detoksifikasi nikotin. Hari ke-4 dan seterusnya yang perlu dikendalikan adalah psikisnya, kejiwaannya, emosinya, perasaannya. Mengutip kalimat dari dr. Jiemi A, SpKJ, “Butuh jalan lain selain informasi. Kita butuh emosi lain. Kita butuh subtitusi hal lain untuk mengurangi emosi dibalik candu.”

Memang lebih sulit membuat seseorang mengaku kenapa dia sampai terjerat candu, tapi ini bisa dicari. Setelah ketemu, cari bentuk emosi lain agar perasaan kita berhenti mencari kesenangan dari candu-rokok.

Terapi berikutnya yaitu melakukan apa yang om Ade Rai katakan, “Otak manusia ketika dalam tekanan, atau rasa marah, akan memberi rangsangan ke tubuh kemudian tubuh merespon dengan membentuk mekanisme pernapasan dengan ritme yang pendek dan cepat.” Inilah yang terjadi oleh seorang perokok, ketika lalu lintas di pikiran nya terasa padat. Tubuh meminta untuk merilekskan diri dengan cara mengatur napas. Om Ade menegaskan, “Bayangin, orang merokok itu setidaknya dalam waktu hampir 10 menit mengatur napasnya selayaknya orang yang sedang bermeditasi-menghirup napas dalam kemudian menghembuskannya perlahan.”

Setelah melewati hari ke-4, saat timbul keinginan untuk kembali merokok terapkanlah trik ini yaitu menarik napas dan buang napas layaknya orang yang sedang bermeditasi dengan waktu kurang lebih sama dengan menghabiskan sebatang rokok.

***

Bukan tidak mungkin subtitusi emosi ini dilakukan untuk permasalahan yang lain. Untuk mereka yang ingin memperbaiki pola makan. Lakukanlah dengan cara mengubah sudut pandang bahwa tubuh kita adalah akumulasi dari apa yang kita makan, arahkan perasaan kita kepada pemahaman bahwa kesehatan di masa depan itu lebih baik daripada kenikmatan lidah saat ini. Bukan tidak boleh menikmati lezatnya masakan Nusantara, tetapi lebih kepada jangan menukar kesehatan kita di masa depan.

Baca Juga  Positive Feeling aja, Bisa kan?

Mulailah belajar mengetahui takaran gizi dan jumlah kalori yang kita butuhkan. Boleh memanjakan lidah, tetapi harus disadari bahwa itu tidak bisa dilakukan setiap waktu. Lakukanlah sesekali. Ini hampir mirip dengan teknik kita dalam berkomunikasi kepada orang lain. Teknik itu bisa kita terapkan sebelum kita menentukan menu makan malam hari ini.

Dalam hal pengendalian emosi saat komunikasi adalah berhenti bersikap reaktif. Berikan jeda beberapa detik pada pikiran kita agar mempertimbangkan kalimat apa yang baik, sebelum kita merespon pembicaraan lawan. Lakukan juga teknik ini sebelum kita memutuskan menu makan malam hari ini. Saat tubuh memberi sinyal rasa lapar, otak merespon dengan pertanyaan, ‘Mau makan apa kita malam ini?’. Coba beri jeda beberapa detik sebelum pikiran memberi jawaban yang acak, ajukan pertanyaan, ‘Makanan apa yang enak dan berdampak baik bagi masa depan?’

Bijaklah memperlakukan kehidupan, karena tubuh kita adalah sebuah kendaraan.

Bagikan
Comments
  • Ristanto

    Bagus tulisan nya, sukses untuk berkarya. Dan terus menulis untuk para penggemar pembaca tulisanmu bung.

    Oktober 5, 2021
  • Arlyn Yuanita

    Keren keren keren, lanjutkan👍👍👍

    Oktober 6, 2021
  • Ika Lusi

    Baguus,. selamat berkaryaa,. dan jangan lelah berbagi,..Sukses selaluu,.

    Oktober 9, 2021
Post a Comment