f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
childless

Retak yang Utuh

Berawal di sebuah senja yang hampir sempurna menjejakkan semburat jingga yang cantik di ujung langit ketika  Ozza belum juga beranjak dari ruangannya yang rapi di sebuah kantor di bilangan Sudirman.

Ozza masih tekun mempelajari berkas-berkas penutupan asuransi sebuah pabrik kimia yang nilainya cukup besar ketika sebagian besar rekan kerjanya telah pulang ke rumahnya masing-masing.

Lembur memang hal yang biasa bagi Ozza. Ia senang menikmati bekerja di kantor yang senyap setelah jam kerja usai, ketika seluruh ruangan telah kosong ditinggalkan penghuninya. Pada saat-saat seperti itu ia justru merasa semakin produktif karena dapat bekerja tanpa gangguan.

Tapi alasan utamanya lembur tentu bukan karena pekerjaannya yang bertumpuk dan serba urgent, namun karena ia malas pulang.

Tak ada yang menunggunya di rumah kontrakan karena ia memang tinggal sendirian saja sejak merantau ke ibukota dua belas tahun yang lalu.

Meskipun usianya sudah lebih dari cukup untuk membina rumah tangga, namun hidup melajang tetap menjadi pilihannya saat ini.

Bukannya ia tak ingin memiliki suami dan anak yang akan meramaikan rumahnya, tetapi hatinya dipenuhi trauma melihat begitu banyak perempuan di sekelilingnya yang menderita karena pria yang dicintainya.

Itulah mengapa dia selalu bersikap dingin dan menutup hatinya rapat-rapat dari setiap pria yang mendekat.

*

Banyak perempuan di sekitarnya yang menderita karena pria. Diaz, sepupunya dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil. Gadis, anak buahnya yang manis itu baru saja diputus oleh pacarnya yang terpikat perempuan lain.

Belum lagi Rida yang terpaksa merelakan dirinya dimadu hanya karena belum berhasil mengandung benih dari suaminya. Dan yang paling menghancurkan hatinya adalah orang tuanya sendiri yang bercerai ketika ia masih teramat belia.

Banyaknya profil perempuan yang menderita karena cinta di sekitarnya membuat Ozza bertekad untuk tak membiarkan pria manapun membuat retak hatinya.

Baca Juga  Kepemimpinan Perempuan dalam Islam

Dengan mata lelah dan sekujur tubuh diliputi kepenatan, Ozza akhirnya beranjak meninggalkan kantornya yang berada di lantai 28. Ia tengah menunggu lift yang akan membawanya turun ke lantai lobby ketika tatapan matanya bertabrakan dengan sepasang mata sayu dan senyum pahit seorang pria yang sedikitpun tak membuatnya tertarik.

Dalam detik pertama, Ozza segera memalingkan muka. Si pria bermata sayu dan bertubuh jangkung itu tampaknya juga tak peduli pada Ozza meskipun di lantai dua puluh delapan gedung perkantoran itu tak ada lagi orang lain.

Ozza menyandarkan kepalanya yang lelah di pintu lift yang tak juga membuka meskipun telah  hampir lima menit menunggu. Si pria jangkung  juga menyandarkan bahunya pada kerangka lift, bersisian dengan Ozza tanpa saling menyapa.

Setelah lima menit pertama berlalu tanpa terdengar denting yang  menjadi irama pengantar terbukanya pintu lift, kini lima menit berikutnya dilewati ozza dengan gelisah. Lift  itu tiba-tiba hanya menjadi hiasan dinding belaka, tanpa tanda-tanda akan segera memperlihatkan fungsinya.

Ketika lima menit yang ketiga dan disusul lima menit keempat berlalu tanpa denting yang sangat dinantinya itu, Ozza mulai kehilangan kesabaran. Dua puluh menit lift belum datang juga? Ini sudah tak masuk akal!  

*

Diliriknya sejenak pria berkulit kecoklatan yang masih menyandarkan bahunya pada pinggiran lift dengan mata setengah terpejam. Mungkin kelelahan setelah menyelesaikan tugas yang dikejar dead line hingga selarut ini masih berada di area perkantoran.

Ozza melihat jam di pergelangan tangannya. Dua puluh dua lewat seperempat. Kakinya yang terbungkus stilleto mulai tak bisa diajak kompromi. Tumitnya terasa pegal karena terlalu lama berdiri. Si pria mata sipit pun tampaknya juga mulai bosan menunggu tanpa kepastian, karena dengan tiba-tiba ia mengarahkan langkahnya menuju tangga, sedikitpun tanpa  menoleh pada Ozza.

Baca Juga  Pengaruh Penggunaan Bahan Kimia dalam Kosmetik bagi Kesehatan

Huh! Ozza sebal bukan main. Dasar pria masa kini, tidak mengenal yang namanya sopan santun! Rutuknya dalam hati. Sembari menahan diri agar tak sampai memperlihatkan kekesalannya,  Ozza pun bergegas mengikuti langkah-langkah panjang si pria jangkung itu menuju tangga.

Dengan langkah kaki yang terpatah-patah menahan beban di lutut dan tumitnya serta nafas yang semakin tersengal-sengal setelah menapaki lebih dari seratus anak tangga menuju lantai ke tiga belas. Ozza sibuk merutuki si jangkung yang langkah-langkah panjangnya sayup terdengar di ruang tangga.

Di tengah lamunannya tiba-tiba Ozza terjerembab dengan suara berdebum. Salah satu hak sepatu tumit tingginya patah dan Ozza kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terbentur pegangan tangga dan meluncur melewati entah berapa anak tangga lagi sebelum akhirnya terkapar.

Dengan susah payah Ozza memaksa dirinya berdiri, namun keseimbangannya yang belum sepenuhnya pulih membuatnya kembali terjerembab.

Akhirnya Ozza terduduk pasrah di anak tangga terakhir tempat ia terjatuh sambil berdoa dalam hati mengharapkan datangnya pertolongan. Namun rangkaian anak tangga itu telah sunyi senyap. Bahkan langkah-langkah panjang si pria jangkung tak terdengar lagi.

Ozza menggigil ketakutan membayangkan dirinya terpaksa menginap semalaman di anak tangga yang dingin itu. Seandainya ada orang yang dapat dimintainya pertolongan….

Dalam keadaan putus asa bercampur lelah yang mendera serta rasa sakit akibat benturan yang terasa di sekujur tubuhnya;membuat Ozza menyadari bahwa ada waktunya ia membutuhkan orang lain.

*

Moment tak berdaya ketika ia merasa kesakitan, kesepian sekaligus seperti itu membuka kesadarannya bahwa ia tak ingin selamanya hidup sendiri, mengandalkan kekuatannya sendiri. Ia membutuhkan orang lain untuk bergantung dan menjadi sandaran.

Seperti jawaban dari sebuah doa, saat Ozza telah benar-benar pasrah kepada nasib, samar-samar didengarnya langkah-langkah panjang menghampirinya dan sebuah senyuman yang sangat manis mengembang hanya beberapa centimeter dari wajahnya.

Baca Juga  Berbahagialah Para Perempuan Merdeka

“Hati-hati, Mbak..” suara bariton yang lembut menyinggahi telinganya, dibarengi dengan sepasang tangan kokoh yang terulur siap menolongnya.

Kedua pipi Ozza segera bersemu merah dibuatnya, bukan hanya karena malu dipergoki terjatuh di tangga oleh pria jangkung bermata sayu yang sedari tadi dirutukinya, namun juga karena menyadari betapa tampan  wajah pria yang tersenyum dengan jenaka di depannya itu.

“Ada yang terkilir atau patah?” kali ini nada suaranya terdengar mengandung kekhawatiran, membuat Ozza tersenyum geli, mengingat kembali betapa mudahnya dirinya menaruh prasangka terhadap pria tampan yang ternyata lembut hati ini, bahkan sebelum sempat berinteraksi dengannya.

Dan seperti adegan drama korea yang ditonton Ozza, tak perlu waktu terlalu lama bagi Ozza untuk memutuskan bahwa ia telah jatuh hati. Kepingan kejadian itulah yang akhirnya membawa hari-hari Ozza  yang semula datar kembali berwarna. Retak yang tersembunyi di sudut hatinya telah menjadi utuh dengan sempurna.

Romi, pria tampan jangkung bermata sayu yang seringkali   menyembunyikan senyum jenaka itu ternyata seorang manajer pemasaran sebuah perusahaan biro perjalanan yang kantornya hanya berseberangan dengan kantor Ozza, namun karena ritme kerjanya yang dinamis dan mobilitasnya yang tinggi membuat Ozza jarang bertemu dengannya meskipun kantor mereka terletak di lantai dan gedung yang sama selama bertahun-tahun.

Untuk pertama kalinya dalam usianya yang sudah lebih dari tiga puluh tahun, Ozza merasakan ada getar yang indah dalam hatinya. Terlalu indah hingga ia ikhlas membuka hati kepada makhluk bernama pria yang dulu sangat dihindarinya.

Bagikan
Post a Comment