Membaca Ulang Seluk-Beluk Perkawinan
Perkawinan hal yang sudah lazim kita dengar. Namun, tidak semua dari kita tahu secara mendalam tentang perkawinan. Artikel singkat ini hendak membicarakan tentang seluk-beluk perkawinan. Mulai dari pengertian, syarat sah, tujuan, dan asas perkawinan.
Pengertian Perkawinan Dalam UU. No 1 Tahun 1974
Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Pengertian tersebut mencakup beberapa unsur. Pertama adalah “ikatan lahir batin”. Ikatan lahir adalah ikatan yang tampak. Sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang tidak tampak. Meski tidak tampak, ikatan batin bisa dirasakan oleh yang bersangkutan. Pasal ini menyebutkan ikatan lahir dan batin. Artinya, ikatan tersebut harus mencakup keduanya.
Unsur kedua adalah, “antara seorang pria dan seorang wanita”. Artinya, ikatan lahir batin tersebut harus terjadi antara dua orang dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Pengertian ini mengecualikan hubungan antara laki-laki dan laki-laki, atau perempuan dengan perempuan. Karena itu, tidak ada pengakuan terhadap perkawinan gay atau lesbian dalam pengertian ini.
Ketiga, “sebagai suami istri.” Artinya, ikatan atau hubungan yang terjadi haruslah sebagai suami dan sebagai istri. Ini mengecualikan hubungan lain, misalnya hubungan sebagai saudara atau juga hubungan sebagai tetangga dan lain sebagainya.
Keempat, “dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal”. Unsur ini terkait dengan tujuan. Ikatan tersebut harus bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Karena itu, tidak benar jika ikatan tersebut dibuat dengan tujuan lain.
Misalnya saja menikahi seseorang untuk dijadikan sebagai pembantu. Jelas ini tidak benar. Dalam pengertian ini juga memuat kata kekal. Artinya, pernikahan yang berlangsung untuk seterusnya. Bukan untuk sementara waktu.
Kelima, “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Artinya, pernikahan terjadi untuk mencapai ridha Allah. Bukan yang lain. Karena itu, menikah adalah ibadah paling lama. Karena ibadah itu manusia lakukan sejak dia menikah dan untuk seterusnya. Selama masa pernikahan itu adalah masa ibadah.
Pengertian Perkawinan Dalam KHI
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memberikan pengertian. Pasal 2 menyebutkan bahwa, “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”
Menurut KHI, perkawinan adalah pernikahan. Artinya, perkawinan sama saja dengan pernikahan. Pasal tersebut mengandung beberapa unsur.
Pertama adalah “akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan.” Artinya, pernikahan bukan hanya sekedar akad. Tapi akad yang kuat. Akad yang kuat berarti melampaui akad-akad pada umumnya seperti akad jual beli dan sebagainya. Karena itu, akad pernikahan harus benar-benar menjadi pegangan teguh.
Kedua, “untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Ini menegaskan mengapa pernikahan adalah sebuah ibadah. Dan kita melakukan itu atas perintah Allah. Artinya, itu juga bentuk ketaatan seseorang pada Allah.
Sahnya Perkawinan
Pasal 2 UU No.1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa: “(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Berdasarkan pasal tersebut, perkawinan sah apabila perkawinan terjadi menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Artinya, perkawinan berlangsung dengan tata cara agama kedua mempelai. Dengan demikian, kedua mempelai harus beragama yang sama, yakni Islam.
Sebuah perkawinan juga harus tercatat. Pencatatan perkawinan ini berdasarkan peraturan yang berlaku. Adapun ketentuan lebih detail tentang pencatatan ini tersebut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Tujuan Perkawinan
Tentang tujuan pernikahan. Salah satunya yaitu sesuai dengan Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974. Yaitu untuk “membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal.” Jadi tujuan pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Jadi, harus menjadi pemahaman dari awal, bahwa salah satu tujuan pernikahan adalah untuk sebuah keluarga yang bahagia dan kekal.
Kemudian, KHI Pasal 3 menyebutkan bahwa, “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.” Jadi ada tujuan yang hendak dicapai. Yaitu mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Sakinah adalah ketenangan. Mawaddah itu rasa saling mencintai. Dan rahmah adalah kasih sayang antara keduanya. Jadi, tujuan pernikahan selain membentuk keluarga bahagia dan kekal adalah untuk mewujudkan konsep-konsep ini.
Asas Perkawinan
Asas perkawinan sebagaimana dalam UU No.1 Tahun 1974 adalah asas monogami. Pasal 3 UU No.1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa “(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. (2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”
Berdasarkan pasal tersebut di atas, ada yang memahami bahwa asas dalam undang-undang tersebut adalah asas monogami terbuka. Monogami terbuka artinya monogami yang membuka kemungkinan untuk poligami.
Ayat dua pasal ini menyebutkan bahwa “Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.” Ayat ini memang memungkinkan bagi seseorang untuk berpoligami dengan syarat telah mendapatkan izin dari pengadilan.
Dari sini, regulasi ini tidak kaku dengan asas monogami. Namun, moderat. Jika ingin, bisa berpoligami. Hanya saja ada ketentuan dan syarat-syaratnya.
Izin poligami diberikan oleh pengadilan berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan atas permohonan poligami yang diajukan oleh pihak yang hendak berpoligami. Dalam hal ini pengadilan bisa saja menolak atau mengabulkan permohonan izin poligami.
Dalam pemeriksaan izin poligami, hakim akan memeriksa dan mempertimbangkan apakah memenuhi syarat-syaratnya atau tidak. Karena untuk poligami harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Jika memang pihak telah memenuhi itu, hakim bisa mengabulkan izinnya. Jika tidak memenuhi, kemungkinan hakim akan menolak. Untuk poligami ini akan menjadi pembahasan dalam bab tersendiri. []
Civitas Universitas Siber Muhammadiyah (SIBERMU). Alumnus program studi Syariah dan HAM, Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tahun 2018. Juga alumnus Program studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tahun 2015. Juga sempat mengenyam pendidikan diploma II Program studi bahasa Arab dan Studi Islam pada Ma’had Abdurahman Ibn ‘Auf Universitas Muhmmadiyah Malang lulus tahun 2011.
Sepanjang tahun 2020 telah menulis beberapa buku. Yaitu: (1) Pengantar Singkat Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Penerbit Ruang Karya), (2) Pandemiologi: Catatan Kritis Tentang Parodi Kekuasaan di Hadapan Covid-19 (Penerbit Ruang Karya), (3) Agama dan Refleksi Filosofis: Dari Tabiat kebebasan ke Toleransi Pemikiran (Penerbit Ruang Karya), (4) Islam Progresif, Catatan Pemikiran yang Melampaui Zaman Untuk Kemajuan Peradaban (Penerbit Ruang Karya), (5) Indonesia Menuju Plutokrasi, Catatan Hitam Bagi Kekuasaan (Penerbit Literasi Nusantara), dan Ilmu Kepenulisan, Memahami Rahasia Menjadi Seorang Penulis (Penerbit Farha Pustaka).