f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
narsisme

Mencintai Diri Sendiri Tanpa Terjebak Narsisme

Hubungan Internet dan Narsisme

Saya mau membuka esai mengenai narsisme ini dengan data. Membangun kepercayaan kepada pembaca bahwa apa yang saya sampaikan lewat tulisan ini bukan berasal dari hasil tirakat atau bisikan gaib. Masalah ini cukup kronis, faktual dan nyata di hadapan kita.

Narsisme. Terlebih ramainya dunia internet kita hari ini, membawa masalah-masalah yang cukup kompleks. Kejahatan ataupun caci maki di media sosial misalnya, sudah berada di tingkat wajar. Maksudnya, hal itu sudah menjadi anggapan wajar, biasa saja saking maraknya. Dan ini membuat kita miris. Walaupun pelakunya pun sebenarnya adalah kita sendiri.

Jika pembaca masih menganggap masalah ini sepele, maka jangan heran jika adik-adik kita, bahkan cucu-cuku kita kelak (jangankan bicara cucu, menikah saja belum) kehilangan pijakan akhlak. Kok bisa? Di masa depan, dunia mereka adalah dunia maya yang penuh dengan kebohongan, namanya juga maya, semu. Mungkin saat ini kita punya adik seumuran SD atau SMP yang kerjanya di depan gawai setiap harinya.

***

Eh jangankan orang lain, bisa jadi kita sendiri begitu?

Mungkin saja ada yang merasakan kalau dunia maya lebih relate dengan kehidupannya. Dunia nyata itu kejam bro, sis. Mending hidup di dunia maya, kita bisa menjadi apa saja, bicara apa saja. Bahkan orang bisa saja tiba-tiba berprofesi menjadi advokat hukum menyerang presiden yang merugikan masyarakat lewat kritik pada kolom komentar akunnya. Dan itu biasa saja di Indonesia, gak ada yang luar biasa.

Ini bukan soal benar atau salah. Hanya mau menunjukkan bahwa kedekatan kita dengan internet itu sudah seperti urat nadi kita sendiri. Betul-betul dekat dan tidak terpisahkan. Begitu pula dampak positif-negatifnya yang mengitari kita di setiap harinya. Dalam dunia maya, benar dan palsu, hitam dan putih, kopi dan susu, aku dan kamu, tak punya hijab yang jelas. Meminjam istilah Jean Baudrillard, Hiperrealitas.

Lantas masalahnya di mana? Sekali lagi, ada pada narsisme. Lah, bukannya istilah narsisme itu sudah ada sebelum internet booming ya? Ya, betul. Sigmund Freud memperkenalkan istilah narsisme untuk pertama kalinya. Orang dengan gejala cinta berlebihan terhadap diri sendiri sehingga melupakan, tidak memedulikan, dan merendahkan orang lain. Dalam Islam, istilah paling mendekati ialah ujub, takabbur, dan riya’. 

Baca Juga  Kadangkala Tak Mengapa Untuk Tak Baik-Baik Saja

Hadirnya platform media sosial membuat potensi seorang individu lebih tinggi terjangkit narsisme.

***

Baik, mari bicara data. Biar lebih ilmiah sedikit. Padahal di atas saya sudah bilang mau mengawali dengan data. Yang ada malah curhatan pribadi. Tapi jujur, masalah ini tidak bisa kita bilang sepele.

Januari 2021, angka pengguna internet meningkat sebanyak 27 juta atau 16% dari tahun sebelumnya. Jadi, hingga Januari kemarin ada 73,7% manusia online di Indonesia.

Dengan angka yang sedemikian besar itu, dan tentu saja akan naik terus, pemerintah dan para pegiat media optimis menjadikannya sebagai peluang untuk meningkatkan perekonomian di Indonesia. Misalnya lewat ekonomi digital yang lebih mudah dan praktis. Atau sebagai indikator negara maju yaitu melek teknologi.

Hari ini adalah era disrupsi, di mana peran digitalisasi begitu penting. Nah, orang Indonesia diharapkan mampu menyesuaikan dengan perubahan zaman yang serba cepat itu.

Kalau pakai logika ushul fiqh bahwa internet itu layaknya alat, tergantung siapa yang memakai, apa tujuannya, berikut dampaknya; Okelah. Tetapi nyatanya tidak sesederhana itu. Dalam dunia maya, batas antara kebenaran dengan kepalsuan tidak jelas, meminjam istilah Baudrillard, kita saat ini hidup di abad simulacra.

Tetapi, tentu saja dampak negatif internet lebih berbahaya daripada dampak positifnya. Kita tidak berniat memberikan pesimisme, tetapi saya kira dengan pesimisme bisa membuat kita lebih melek dengan masalah ini.

Narsisme?

Narsisme Ialah penyakit mental akut yang seringkali tidak dirasakan oleh penderitanya sendiri.

Konon, narsisme terinspirasi dari nama seorang pemuda di Yunani dahulu, Narcissus. Ia mendapat kutukan dari dewi pembalas dendam, Nemessis. Mengapa mendapat kutukan? Banyak orang kagum kepadanya dan meminta perhatiannya, namun si Narcissus malah tidak menghiraukannya dan hanya memuja-muja diri sendiri.

Baca Juga  Hati-Hati, Perasaan Kalau Dimanja Menyesatkan

Sampailah ia di pinggir kolam. Air di kolam itu memantulkan bayangan diri layaknya sedang bercermin. Akhirnya ia duduk di sana memandangi diri sendiri sepanjang waktu. Sampai ajal pun, ia masih terpaku akan keindahan diri sendiri.

Mungkin cerita ini terkesan melebih-lebihkan. Tapi penggambaran tokoh Narcissus terhadap orang mencintai diri secara berlebihan sangatlah tepat. Dan semakin menunjukkan kebenarannya seiring berkembangnya zaman. Ada pemuda meninggal karena jatuh di jurang, berniat ingin foto selfie. Ada pula rela merelakan harga diri untuk sebuah like, comment, and subrek. Eh subscribe.

***

Dalam ilmu psikologi, indikasi narsisme pada seseorang bisa kita lihat dari beberapa hal berikut;

Merasa diri paling hebat dan unggul, meyakini diri istimewa dan unik sehingga hanya bergaul dengan orang status tinggi. Seringkali berfantasi akan kesuksesan alias ingin perfeksionis dalam segala hal. Kurang empati dan cenderung mementingkan kepentingan pribadi. Iri terhadap pencapaian orang lain dan menganggap orang lain juga iri terhadap pencapaiannya. Merasa layak mendapat perlakuan istimewa, dan sombong.

Pribadi narsistik sangat bahagia jika konten dan postingannya memperoleh apresiasi banyak orang. Pribadi ini tidak akan pernah berhenti dan akan selalu merasa haus akan pujian. Di sinilah letak masalahnya, apapun dilakukan supaya mata tertuju kepadanya. Haus perhatian menjadi sifat yang tidak bisa dihilangkan dari pribadi yang narsistik.

Sepintas terlihat wajar bukan? Bukankah bangga atas pencapaian diri sendiri adalah hal yang memang sudah menjadi tabiat kita sebagai manusia? Namun permasalahannya adalah akibat yang ditimbulkan sebab mencintai diri sendiri yang terlalu berlebihan;

Mudah tersinggung jika dikritik, seringkali memanfaatkan orang demi kepentingan pribadi, jika gagal pasti menyalahkan orang lain dan menyalahkan situasi, kepercayaan diri yang terlampau tinggi mengakibatkan overclaiming atau kepercayaan palsu, keras kepala dan sulit menerima masukan dari orang lain, senang mempertahankan pendapat yang salah selama sesuai dengan apa yang diyakininya, dan senang mengelabui orang lain.

Baca Juga  Ramadan: Momentum Melatih Regulasi Emosi
***

Beberapa akibatnya mungkin sulit dibedakan dengan gejala pada orang normalnya. Cara membedakannya cukup sederhana. Pribadi narsistik itu anti sosial dan individualistik, sedangkan pribadi normal itu peduli terhadap orang lain. Sikap altruistik adalah lawan dari sikap narsistik. Tetapi yang perlu diingat, narsisme tidak ada kaitannya dengan kepribadian introvert atau ekstrovert. Sebab narsisme adalah patologi sosial berakibat gangguan mental yang diakibatkan oleh penyimpangan cara pandang dan gaya hidup.

Bedanya, orang yang percaya diri mudah menjadikan masukan dan kritik sebagai motivasi untuk melangkah maju. Pribadi narsistik justru sebaliknya, menganggap kritik dan masukan adalah ancaman. Karena mereka membangun kepercayaan diri dengan motivasi negatif, takut terlihat lemah, tidak bisa menerima kekurangan diri sendiri, dan jatuh pada ketidaknyamanan dan rasa gelisah yang berlebihan. Sederhananya, orang narsistik itu punya tujuan satu, bagaimana ia menjadi pusat perhatian, entah bagaimanapun caranya.

Penyebabnya; kepercayaan diri yang rapuh, mental hedonistik, dan yang paling besar adalah kesepian. Kalau mencintai diri sendiri ya sewajarnya saja. Karena jomblo sangat rentan sepertinya terkena narsisme ini. Mungkin penyebab tidak mendapatkan jodoh karena terlalu mencintai diri secara berlebihan, wahai para jomblo.

Kembali ke hakikat hidup, jalankan secara proporsional saja. Berlebih-lebihan hanya membawa kehancuran, cepat atau lambat, dekat atau jauh. Mari mencintai diri sendiri tanpa harus menjadi narsis. Kalaupun kita ingin dipuji, sesungguhnya Allah tidak pernah tidur melihat hambanya yang berjuang. Pujian di atas segala pujian hanyalah milik Allah semata. Simpan saja pujian itu untuk akhirat kelak. Berusaha maupun tidak, orang lain tetaplah orang lain. Diri sendiri tetaplah diri sendiri. Keputusan ada di tangan kita sendiri.

Bagikan
Post a Comment