f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
najwah

Pakaian Perempuan Menurut Pandangan Muhammad Syahrur

Terkait dengan pakaian perempuan (libas al-mar’ah), Syahrur telah menjelaskan panjang lebar dalam bukunya; al-Kitāb wa al-Qur’ān Qira’ah Mu’ashirah. Menurutnya, ayat-ayat tentang pakaian perempuan dapat dikategorikan sebagai ayat muhkamat (ayat-ayat hukum) sehingga harus ditafsirkan dengan menggunakan metode ijtihad dengan melalui pendekatan teori hudud.

Ketika membahas tentang pakaian perempuan, Syahrur menggunakan istilah libas (pakaian) yang menunjukan arti tsiyab (pakaian); jilbab (pakaian luar perempuan) dan khimar (tutup).

Ketiga istilah terebut untuk menggantikan istilah al-hijab atau al-hijab asy-Syar’i yang biasa dipakai secara popular oleh masyarakat. Karena menurut Syahrur istilah hijab dalam al-Qur’an tidak ada kaitannya dengan dengan persoalan pakaian perempuan.

Ketika perempuan hendak ke luar rumah atau sedang bersama laki-laki lain yang bukan mahramnya, Maka dalam hal ini, Syahrur membuat kategori batas minimal dan batas maksimal pada pakaian perempuan.

Menurutnya, batas minimal pakaian perempuan adalah apa yang dinyatakan dalam Q.S. al-Nur (24):31 yaitu pakaian yang bisa menutup aurat besar (al-juyūb) sedangkan Al-Juyūb pada perempuan memiliki dua lapisan atau dua lapisan beserta lubangnya; yaitu antara dua payudara, di bawah dua payudara, di bawah ketiak, kemaluan, dan dua pantat.

Batas Aurat Perempuan Menurut Muhammad Syahrur

Pertama adalah bagian tubuh yang terbuka secara alami (Qiam al-Zahirah bi al-Khalq). Allah berfirman; “Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak darinya.”

Dalam ayat ini menjelaskan bahwa dalam tubuh perempuan terdapat perhiasan yang tersembunyi (zinah makfiyyah). Perhiasan yang terbuka secara alami yaitu yang diperlihatkan Allah selama penciptaan tubuh perempuan seperti: kepala, perut, punggung, dua kaki dan dua tangan.

Kedua adalah bagian tubuh yang tidak tampak secara alami (qism ghayr al-Zahir bi al-Khalq). Yaitu yang disembunyikan oleh Allah dalam bentuk dan susunan tubuh perempuan. Yang merupakan bagian yang tersembunyi ini adalah al-Juyub.

QS. An-Nur (24) 31 Menurut Sahrur

Pada ayat tersebut tidak dikatakan yaghdudhna absharahunna,;melainkan yaghdudhna min absharihinna dengan memakai huruf min li at-tab’idh yakni min yang menunjukan makna sebagian, bukan keseluruhan.

Baca Juga  Perempuan Berpendidikan Tinggi dan Segala Dramanya

Oleh karena itu, menurut Syahrur dalam ayat sebelumnya QS.an-Nur (24): 30, kaum laki-laki tidak disuruh untuk menundukan seluruh pandangan matanya (memejamkan mata) ketika melihat perempuan lain; sebaliknya ketika laki-laki melihat perempuan lain yang bukan mahram terbuka aurat besarnya (farji) dia mestinya cukup melihatnya dengan pandangan “lembut”. Atau pura-pura tidak melihat. Sebab dalam konteks internal ayat itu, anjuran “memejamkan” atau menundukan pandangan mata dikaitkan dengan perintah menjaga farjinya.

Demikian halnya dengan kata khumur dalam QS an-Nur (24): 31 diartikan Syahrur dengan as-Satru (tutup). Tidak harus berkerudung (jilbab). Sedangkan al-juyub merupakan bentuk tunggal dari kata al-jayb, yang berarti kantong saku pada pakaian atau sesuatu yang memiliki katup.

Oleh karena itu, segala sesuatu yang memiliki katup dapat disebut dengan al-juyub. Jika hal tersebut dikaitkan dengan tubuh perempuan maka yang dimaksud dengan al-juyub adalah farji, dua pantat (dubur), bagian antara dua payudara dan bagian bawahnya, serta bagian bawah ketiak.

Q.S. Al-Ahzab: 59 Menurut Syahrur

Dalam masalah aurat perempuan ini, Syahrur memandang Q.S. al-Ahzab: 59 bukan sebagai ayat yang mengandung hudūd; melainkan ayat yang mengandung ajaran yang bersifat informatif.

Ayat tersebut diawali dengan yā ayyuhā an-nabī (hai Nabi) yang merupakan ciri ayat pengajaran (ta’lim), bukan ayat penetapan syari’at (tashri’).

Di sisi lain ayat ini diterapkan di Madinah dengan pemahaman yang bersifat lokal-temporal (maḥallī); yang terkait dengan tidak adanya gangguan dari orang-orang fasik terhadap para perempuan muslimah ketika mereka pergi untuk memenuhi kebutuhannya.

Namun menurut Syahrur pada masa sekarang ini kondisi dan faktor pendorong tersebut sudah tidak ada lagi, karena mekanisme pelaksanaan ayat ini tidak bersifat permanen. Ayat ini mengajarkan bagaimana perempuan muslimah mengenakan pakaian luar atau pakaian untuk melakukan aktivitas sosial yang disebut dengan jilbāb.

Baca Juga  Beauty Privilege, Bagaimana Standar Cantik Muslimah Sebenarnya?

Di dalamnya ayat tersebut ditetapkan dua sebab pemberlakuan ajaran tersebut. Yaitu pengenalan (al-ma’rifah) dan adanya gangguan (al-aża). Perempuan muslim diwajibkan untuk menutup bagian-bagian tertentu dari tubuhnya yang apabila ditampakkan akan menyebabkan adanya gangguan; tetapi hal ini diberlakukan dalam kerangka pengajaran, bukan sebagai penetapan hukum.

Oleh karena itu seorang perempuan muslimah hendaknya mengenakan pakaian luarnya dan beraktivitas di masyarakat sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya. Sehingga ia tidak menjadi sasaran celaan dan gangguan dari orang-orang. Jika ia tidak melakukan hal itu, maka ia akan mendapatkan gangguan sosial.

Menghindari Gangguan dengan Berpakaian

Gangguan sosial inilah satu satunya bentuk hukuman yang diterimanya. Dengan pengertian bahwa dalam kasus ini Allah tidak menetapkan pahala atau hukuman tertentu baginya. Kondisi inilah yang terjadi ketika ayat ini diterapkan di Madinah, yaitu ketika para pengacau ketenteraman sosial mengganggu perempuan muslim yang keluar pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Lebih lanjut lagi, menurut Syahrur agar manusia tidak berlebih-lebihan dalam berpakaian; maka nabi menetapkan batasan maksimal dalam berpakaian bagi perempuan melalui sabdanya (jika benar): “Seluruh tubuh perempuan adalah aurat selain wajah dan kedua telapak tangannya.” Di samping itu, sabda Nabi ini tidak bersifat abadi.

Dalam hadis ini nabi telah membolehkan bagi perempuan untuk menutup seluruh tubuhnya sebagai batas maksimal; tetapi nabi tidak membolehkan perempuan dalam kondisi bagaimanapun untuk menutup wajah dan kedua telapak tangannya karena wajah manusia adalah ciri khasnya.

Jika seorang perempuan pergi keluar dengan hanya berpakaian yang menutup daerah intim bagian bawahnya saja (aljuyub al-sufliyah); maka ia telah keluar dari batasan Allah dan jika ia keluar tanpa memperlihatkan sedikitpun dari anggota tubuhnya bahkan hingga wajah dan kedua telapak tangannya, maka ia telah keluar dari batasan yang ditetapkan oleh Rasulullah,Yang termasuk batas maksimal aurat perempuan.

Bagikan
Comments
  • Daniel Arief

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

    وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ   ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِينًا
    “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.”
    (QS. Al-Ahzab 33: Ayat 36)

    * Via Al-Qur’an Indonesia https://quran-id.com

    Maret 8, 2021
  • Wrenges

    Terimakasih, tulisan yang memberikan pengetahuan baru.

    April 10, 2021
Post a Comment