Site icon Inspirasi Muslimah

24 Tahun Reformasi: Tantangan dan Mindset Gerakan Kekinian

gerakan

Mu'min Boli

Era reformasi di Indonesia tidak bisa dipungkiri melahirkan sebuah era demokrasi baru yang ditandai dengan perubahan substansial dalam proses bernegara. Reformasi yang telah berjalan lebih kurang 24 tahun ini pun berhasil memunculkan pelbagai perubahan format berpolitik dengan varian metodologisnya di sektor ekonomi dan politik.

Pasca reformasi, format demokrasi mengalami penyesuaian dengan perkembangan teknlogi yang masif. Tak ayal, muncul suatu istilah yakni demokrasi digital. Model demokrasi ini didefenisikan sebagai pemanfaatan teknologi komunikasi guna memajukan partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi. Melalui internet, masyarakat sipil dimungkinkan untuk melakukan berbagai eksperimen dan inovasi desain komunikasi ketika dihadapkan dengan wakil-wakil politik mereka terkait kebijakan yang dijalankan.

Pada tataran nasional, momen pemilu presiden (Pilres) 2014 memperlihatkan pemanfaatan internet yang masif sebagai penanda inisiatif digital untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Proses demokrasi seperti kontestasi suara warga, konstruksi opini para tim sukses; dan konstruksi citra para kandidat mulai tidak saja berlangsung secara face to face dan offline; namun juga telah berlangsung virtual dan online.

Perkembangan demokrasi yang semakin transparan ini selanjutnya tentu punya implikasi yang positif terhadap dinamika gerakan sosial hari ini sebagai mitra kritis dari pemerintah. Tapi yang perlu kita ingat ialah bahwa kelangsungan masa depan suatu sistem politik yang tengah mengalami disrupsi demokrasi tentu sangat bergantung sekali pada keberhasilannya dalam melewati proses transisi ini menuju suatu demokrasi politik secara stabil; damai atau non kekerasan. Sebab dengan adanya transisi politik secara damai akan memberi penekanan bahwa lembaga-lembaga politik yang ada beserta elitenya; baik pada lapisan elite maupun pada lapisan masyarakat berada pada ketahanan yang tinggi dalam menghadapi perubahan-perubahan politik yang berlangsung; beserta konsekuensi-konsekuensinya.

Tantangan Saat Ini

Dalam sistem demokrasi digital hari ini, tantangan dan ancaman atas demokrasi dibagi ke dalam dua kelompok yaitu: Pertama, kelompok yang berasal dari regulasi atau peraturan negara itu sendiri (UU ITE Nomor 11 Tahun 2008, Policy Cyber, dst); dan yang kedua, kelompok yang berasal dari kekuatan anti demokrasi yang juga hidup dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi (Buzzer,dst).

Selanjutnya, jika melihat iklim demokrasi saat ini makan menglami regresi yang begitu hebat. Merujuk survey indikator politik Indonesia, 64,9% responden takut menyuarakan pendapat. Tentu ini sebuah ironi, sebab demokrasi yang harusnya memberikan keleluasaan bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi dan pandangan politiknya; malah membuat masyarakat takut dalam menyampaikan aspirasinya.

Di lain sisi, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI)  semakin menurun dalam beberapa tahun terakhir dalam aspek kebebasan berpendapat. Ancaman/penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berpendapat mengalami persentase yang makin menurun; tahun 2018 dengan 70,22 %, tahun 2019  dengan 65,69%, dan tahun 2020 dengan 58,82%. Ini adalah persentasi yang menunjukkan bahwa orang semakin takut dalam menyampaikan aspirasinya baik melalui kritik langsung maupun lewat sosial media.

Hal ini semakin diperparah dengan tingkah para stakeholder atau pejabat publik kita saat ini yang anti kritik dan suka mengkriminalisasikan kalangan aktivis sosial. Salah satu contoh, bisa kita lihat bagaimana Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti jadi tersangka kasus pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan; setelah melakukan diseminasi laporan riset dengan judul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya Jendaral BIN Juga Ada”.

Ini tentu sebuah demoralisasi dari pejabat publik kita saat ini yang krisis etika dan menutup ruang kritik yang berujung pada penggembosan demokrasi. Fenomena terbaru yang tak kalah kontroversi ialah bagaimana beberapa menteri di kabinet pemerintahan presiden Jokowi saat ini juga beberapa ketua partai politik ramai-ramai mengkampanyekan isu perpanjangan masa jabatan presiden dan/atau penundaan pemilu. Meskipun pada akhirnya setelah menjadi gaduh di publik dan presiden Jokowi secara tegas menyatakan tidak ada perpanjangan maupun penundaan pemilu. Melihat fenonemena ini, lagi-lagi membuktikan bahwa pejabat publik di republik ini kurang memprioritaskan rakyat sebagai subjek tertinggi dalam format demokrasi substansial maupun prosedural.

Mindset Gerakan Kekinian

Gerakan protes kini marak terjadi hampir di seluruh dunia. Kebanyakan gerakan protes itu muncul disebabkan oleh kelesuan ekonomi dan gagalnya pemerintah dalam memberikan jawaban kesejahteraan. Dalam kondisi seperti ini, pemburukan demokrasi pun terjadi. Bukan karena pemerintah tidak memahami dasar konstitusi pengelolaan negara melainkan pemerintah gagal membaca tantangan dan arah haluan dunia hari ini.

Pertanyaan selanjutnya ialah, dalam situasi yang serba tidak pasti dan mengalami disrupsi besar-besaran di segala sektor; maka upaya dan langkah apa yang harus kalangan gerakan sosial lakukan untuk menjaga stabilitas demokrasi dan mengontrol peran negara agar sesuai amanat konstitusi?

Di Indonesia sendiri, gerakan protes masal mulai marak terjadi dari periode 2019. Seluruh gerakan dari elemen sosial, baik mahasiswa, buruh, petani, dan lainnya, ramai-ramai menolak RUU KUHP, RUU KPK, RUU Minerba dan RUU Omnibus Law yang semua produk hukum itu sudah disahkan menjadi undang-undang saat ini. Gerakan protes yang terjadi dari periode itu cukup memiliki keunikan yang tak dimiliki gerakan protes sebelumnya. Gelombang protes ini muncul secara dahsyat setelah konten-konten propaganda menyebar secara masif memenuhi ruang-ruang sosial media. Hasilnya banyak orang yang turun melibatkan diri dalam aksi protes.

Gerakan protes hari ini adalah perlawanan yang digelorakan tarian smartphone dengan lecutan tagar sehingga menjadi trending di sosial media dengan niat isu yang dipropagandakan menjadi sorotan publik. Gerakan protes dengan metode ini bukan lagi dipandu oleh pemimpin partai atau organisasi. Tapi gerakan ini gelorakan oleh netizen yang punya empati terhadap masalah ketidakadilan sosial. Tentu semua fakta ini kontras dengan sejarah perlawanan gerakan protes itu sendiri yang di mana lazimnya; gerakan perlawanan dipimpin oleh tokoh-tokoh kharismatik yang didukung sejumlah murid. Sebut saja Lenin, Mao Zedong, Ayatollah Khomaeni bahkan Che Guevara.

Pesatnya perkembangan teknologi yang masif hari ini tentu harus menjadi PR besar yang harus dijawab oleh gerakan sosial. Pertanyaan yang bisa dilontarkan ialah bagaimana sehingga luapan keresahan di sosial media bisa menjadi luapan massa di jalanan? Sebab jika tidak maka ada disparitas isu dan menjadikan gerakan itu bias dalam menyemai kemenangan perlawanan. Penyatuan antara protes online dan offline ini perlu diupayakan, sebab jika tidak maka hal ini bisa dimanfaatkan oleh kekuatan anti demokrasi yang dipelihara negara seperti buzzer; untuk membelokkan atau mengkooptasi esensi gerakan yang dibangun.

Eksistensi media sosial kini bisa menjadi solusi dalam mengontrol jalannya stabilitas demokrasi. Media sosial memicu terjadinya transformasi kesadaran penggunanya dan menyebebakan ledakan kemarahan di jalanan. Seturut dengan itu, membangun perlawanan lewat sosial media adalah jalan menuju revolusi yang tidak gampang dipenggal dan diidentifikasi.

Media sosial juga menggerus kegelisahan diciduk aparat. Karena semua bekerja dari belakang layar. Juga fasilitas enkripsi ujung ke ujung yang sulit dimata-matai, seperti yang ditawarkan Telegram. Kurangnya gerak langkah di permukaan telah memperluas ruang dan waktu netizen bermanuver. Mereka juga bisa mendukung dan dihitung secara virtual, sekalipun tidak turun ke jalan. Pendek kata, setiap netizen memegang kendali. Tak ada perintah, tak ada hirarki. Setiap orang adalah pemimpin.

Bagikan
Exit mobile version